• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • 2020
  • September
  • 30
Arsip 2020:

30 September

Meninjau Ulang Kebiasaan Bermedia Sosial Melalui Serial Black Mirror: “Nosedive”

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Dunia ini panggung sandiwara — paling tidak, begitu kata Shakespeare dan Nicky Astria. Terlebih di zaman serba instan dan digital seperti sekarang ini. Apa-apa yang tampak di layar gawai kita, semua terlihat indah dan berbahagia. Tapi, apa benar begitu adanya?

 

Pertanyaan tersebut dijawab secara satir oleh serial Black Mirror dari Netflix, dalam salah satu episodenya yang berjudul Nosedive. Serial Black Mirror, secara keseluruhan, memang mengangkat isu tentang kejamnya dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat modern. Dalam episode Nosedive, isu tersebut kemudian mengerucut pada “betapa dunia ini penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan” – yang semakin terfasilitasi dengan hadirnya media sosial.

 

Sang tokoh utama, Lacie Pound, tampak selalu menyunggingkan senyum dan tawa manisnya yang palsu, serta berbasa-basi dan memberi skor sosial tinggi pada orang lain, hanya supaya orang tersebut juga melakukan hal yang sama padanya. “Skor sosial” di sini, menurut saya, adalah penggambaran impresi, strata, dan citra seseorang di dunia maya maupun nyata – semacam personal branding dan jumlah followers di media sosial, serta bagaimana kesan orang lain terhadap seseorang tersebut ketika mereka saling bertemu di kenyataan.

 

Lacie semakin gencar mengejar skor setelah mengetahui banyaknya “kenikmatan” yang bisa ia dapatkan jika memiliki skor di atas rata-rata. Diskon untuk membeli rumah di komplek mewah, akses ke bandara dan persewaan taksi, serta yang paling penting adalah akses untuk hadir ke pernikahan teman kecilnya yang berisikan tamu-tamu undangan dari kalangan atas – mereka-mereka yang memiliki skor tinggi dan nyaris sempurna.

 

Segala tuntutan untuk menjadi impresif dan manis telah Lacie lakukan. Namun, apa daya, pada akhirnya dia menyerah pada kefanaan dunia dan memilih untuk menjadi dirinya sendiri meski dengan skor rendah.

 

Apa yang dikisahkan dalam Nosedive tentu sangat lekat dengan keseharian kita. Sebagian dari kita mungkin melakukan, mengorbankan, dan bahkan menutup-nutupi banyak hal hanya demi terlihat manis dan bahagia di mata dunia. Sebagai insan Komunikasi, relevansi kisah dalam film Nosedive dengan kehidupan sehari-hari ini tentu sangat menarik untuk di-ulik.

 

Hasil survei dari Hootsuite melaporkan bahwa ada 3.800 milyar pengguna aktif media sosial di dunia. Indonesia menyumbang 160 juta pengguna, dengan akses ke media sosial rata-rata 3 jam 26 menit, setiap harinya. Begitu banyak orang yang langsung terjun untuk menggunakan media sosial dengan alasan yang beragam. Bersosial, jelas. Namun tak jarang, haluannya berubah menjadi ajang pamer status sosial, yang ujung-ujungnya malah menciptakan segregasi dan konflik sosial.

 

Tak hanya itu, konflik pun dapat terjadi pada batin diri sendiri. Tujuan awal bersosial dengan mencari tahu keberadaan dan menanyakan kabar pada kawan lama, kadang justru membawa seseorang pada kompetisi yang tercipta oleh pikirannya sendiri. “Wah, dia cakep banget ya. Skincare-nya pasti mahal”, “Wah, keren banget deh, seumuran tapi dia udah S2”, “Wah, promosi jabatan di usia 25?!”, dan masih banyak “wah-wah” lainnya. Kompetisi membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, merupakan salah satu dampak psikologis yang muncul karena adanya media sosial.

 

Jan, Soomro, dan Ahmad (2017) dalam penelitian mereka yang berjudul Impact of Social Media on Self-Esteem menyebutkan bahwa media sosial memiliki dampak yang sangat penting terhadap harga atau kepercayaan diri seseorang (self-esteem). Meski utamanya media sosial digunakan untuk mencari informasi serta menjalin komunikasi dan hubungan, namun sebagian besar penggunanya akan – secara tidak langsung – membandingkan dirinya terhadap orang lain, baik “ke atas” maupun “ke bawah”. Perbandingan ke atas berarti melihat orang yang dirasa “lebih baik” dan “lebih berhasil” dibanding dirinya, sementara perbandingan ke bawah berarti melihat mereka yang dianggap “kurang” atau “tidak selevel” dengan dirinya.

 

Hal serupa juga dikemukakan oleh Julia T. Wood dalam bukunya, Communication Mosaics, pada bab yang mengulas tentang Controversies about Personal and Social Media. Bahkan, tak hanya soal membanding-bandingkan diri Beberapa hal lain yang diulas dalam buku ini sangat relevan dengan kejadian dalam film Nosedive dan keseharian kita.

 

Pertama, dinyatakan bahwa kehadiran teknologi telah mengubah cara seseorang berpikir. Salah satunya, dengan membuat kita terbiasa bereaksi terhadap sesuatu dari eksternal atau visualnya – alias dari luarnya saja, bahkan sebelum mengerti atau paham tentang apa yang kita lihat. Jelas, karena semua serba instan dan dapat dengan cepat muncul di hadapan kita, sehingga “judging a book by its cover” menjadi sesuatu yang biasa.

 

Kedua, media sosial dan hubungan yang kita jalin di dalamnya mampu menimbulkan krisis identitas dan kepercayaan diri. Banyaknya figur yang kita lihat, serta banyaknya fitur yang bisa kita gunakan, tentu telah memberi kita kebebasan untuk menjadi persona yang berbeda dari siapa kita sebenarnya – entah sebagai bentuk personal branding atau eskapisme dari dunia nyata. Namun, apabila kemudian kita justru menampilkan dua kepribadian yang bertolak belakang, justru akan berbahaya bagi diri sendiri dan orang sekitar.

 

Melihat betapa dekatnya fenomena dalam film Nosedive dengan kehidupan, ada baiknya kita melakukan refleksi dan “menata ulang” perilaku kita di media sosial, supaya fananya dunia maya tidak membuat kita terlena. Beberapa cara seperti mematikan notifikasi, mengunci aplikasi, membatasi waktu penggunaan, serta mencari distraksi baru, dianggap efektif untuk mengurangi – bahkan menghilangkan – adiksi terhadap media sosial.

Cara lain adalah dengan melakukan Dopamine Detox, yakni melatih otak kita supaya “terprogram ulang” untuk menyukai hal-hal yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi intensitas konsumsi hiburan – terutama bermain ponsel dan media sosial. Saya pun masih berusaha untuk bisa terlepas dari adiksi media sosial. Tentunya tanpa perlu melewati pengalaman pahit seperti Lacie. Kalau Sobat Dikom mengalami hal yang sama, yuk kita bangun ulang kebiasaan yang lebih baik, selagi masih bisa.

 

Daftar Pustaka

https://today.line.me/id/article/Daya+Pikat+Black+Mirror+Kisah+Satire+tentang+Manusia+dan+Teknologi-r09Lr8

https://www.businessinsider.com/psychology-black-mirror-nosedive-social-media-2016-10?r=US&IR=T

‘Black Mirror’s Nosedive’: Media Sosial dan Tuntutan Hidup Masa Kini

https://medium.com/@galihkenyoasti/review-series-nosedive-black-mirror-13e3c6f5729b

https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-42679432

Jan, M., Soomro, S. A., & Ahmad, N. (2017). Impact of Social Media on Self-Esteem. European Scientific Journal , 13 (23), 329-341.

Wood, J. T. (2010). Communication Mosaics : An Introduction to the Field of Communication, Sixth Edition. Boston, USA: Wadsworth Publishing.

https://www.bustle.com/articles/144893-7-ways-to-stop-your-social-media-addiction

https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2018/05/02/five-steps-to-break-your-social-media-addiction/#2d051faa38be

How I Tricked My Brain To Like Doing Hard Things (dopamine detox) by Better Than Yesterday: https://www.youtube.com/watch?v=9QiE-M1LrZk

DOPAMINE DETOX – RESET OTAK – HALAU MALAS by Rianto Astono: https://www.youtube.com/watch?v=kO622GyHa28

Puasa Hiburan, Reset Otak Agar Produktif (Mengenal Dopamine Detox) by Satu Persen – Indonesian Life School: https://www.youtube.com/watch?v=nydaG-kL-w0

 

Penulis: Rosehasna Wirastomo (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

Bagaimana PR atau Marketing Communication di Berbagai Perusahaan Beradaptasi di Masa Pandemi dan Sejarah di Baliknya

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Jika saat ini dunia berjalan normal dan pandemi belum menyerang, mungkin sudah banyak acara yang dihelat sebagai bagian dari kampanye kehumasan. Tetapi, pandemi mendesak kita semua untuk berhenti sejenak dan memikirkan jalan-jalan baru. Brand Activation Agency, sebagai cabang industri pemasaran tercatat sebagai segmen industri yang terdampak pandemi paling besar (Wiranatakusumah, 2020). Bagaimana tidak? Aktivasi merek berkaitan erat dengan penghimpunan massa dan pemanfaatan venue, yang mana dilarang selama pandemi. Namun, semua itu ternyata tidak menghalangi pelaku industri pemasaran dan pekerja pemasaran untuk tetap terhubung dengan konsumen. Pemanfaatan media daring menjadi opsi nomor satu dalam meningkatkan engagement dengan pasar.

Adaptasi di Tengah Pandemi

Banyak jenama yang sudah beradaptasi dengan cepat dengan memanfaatkan platfotm daring untuk menjaga brand awareness. Berbagai kegiatan diadakan seperti  gelar wicara, webinar, maupun Kulwap (Kuliah Whatsapp). Contohnya seperti yang dilakukan oleh Dancow yang mengadakan rangkaian acara “Festival Dongeng Aku dan Kau” melalui berbagai platform daring. Selain itu, ada Shopee yang menghadirkan “BincangShopee 9.9 Super Beauty Day: Kreativitas Industri Kecantikan di tengah Pandemi” (Sihombing, 2020) yang juga diadakan secara daring melalui fitur ShopeeLive miliknya.

Baru-baru ini, Facebook telah mempublikasikan hasil risetnya yang memperhatikan tren penggunaan media digital yang berevolusi di tengah masa pandemi. Hasil riset tersebut didasarkan pada kombinasi wawasan data internal dari Facebook, wawasan survei yang ditugaskan, dan penelitian pihak ketiga. Secara total, menggabungkan respon dari lebih dari 34.000 konsumen. Ada lima poin yang mereka sorot dan cukup relevan untuk para pemasar digital di seluruh dunia (Hutchinson, 2020):

  • Safer Shopping – Berkaitan dengan peraturan-peraturan berbelanja yang baru untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan pergeseran ke arah
  • Mindful Wellness – Banyak orang mulai sadar akan pentingnya aktivitas rekreasi untuk meredakan tekanan dari situasi yang ada.
  • Glocal Community – Pandemi telah merekatkan silaturahmi antar warga, yang mana akan berujung pada meningkatnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
  • Gen Z’s Regeneration – Pandemi telah memperkuat dukungan Gen Z dalam melawan penyebab-penyebab isu sosial dan lingkungan.
  • Connected Convenience – Banyak pesan agar tetap terhubung satu sama lain, termasuk dengan jenama.

Kelima poin tersebut dapat kita rasakan sekarang. Kini berbelanja seakan membutuhkan proposal pengajuan dana matriks karena banyak hal yang perlu dipertimbangkan, entah sanitasi, datang langsung atau pesan antar, dan banyak hal subjektif lainnya. Tetapi banyak jenama yang sudah tanggap dengan keadaan ini dan menjaga pelayanan pelanggan dengan memperhatikan kesehatan, contohnya seperti Gojek dengan strategi contactless delivery-nya. Selain itu, banyak jenama di sekitar kita juga telah mencanangkan strategi berdasarkan hasil riset di atas. Berbagai korporat teknologi digital mengupayakan untuk mendukung bisnis-bisnis lokal, misalnya dengan pengeluaran stiker “Support Small Business” pada fitur Story di Instagram. Dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa walaupun dunia ekonomi mendapat banyak perubahan, selalu ada banyak cara agar dapat bertahan. Seperti peribahasa dari Perancis, plus ça change, plus c’est la même chose, yang artinya semakin banyak hal berubah, semakin banyak hal yang tetap sama. Perubahan memberikan kita sebuah tahap untuk berevolusi. Sebagaimana Public Relations berevolusi dari 1.0 ke 4.0.

Sejarah singkat PR dari 1.0 menuju 4.0 dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang

Public Relations modern lahir pada awal tahun 1900an, meski sejarah praktiknya sudah ada sejak abad ke-17. Penggunaan brosur dan pamflet sebagai alat publisitas kemungkinan tercatat pertama kali digunakan pada tahun 1641 untuk menarik penggalangan dana. Istilah Public Relations sendiri didokumentasikan pertama oleh presiden Amerika Thomas Jefferson pada Kongres tahun 1807. Sebelum PD I, industri PR baru mulai terlihat dan menunjukkan evolusi PR sebagai profesi resmi. Sejak saat itu PR mulai berevolusi dimulai sebagai badan publisitas, kemudian bergerak sinergis dengan badan pemasaran.

Fase PR 2.0 ditandai dengan keterbukaan akses bagi praktisi PR untuk berkomunikasi langsung dengan audiens atau pembelinya, yang mana sebelumnya harus melalui media. PR 2.0 ditandai dengan meningkatnya kesadaran untuk membangun relasi dan mengelola citra positif serta paparan merek, salah satunya melalui media daring. Hal ini sudah dapat kita lihat dengan diletakkannya divisi Humas atau Pemasaran di setiap organisasi. Tujuannya adalah agar perusahaan/organisasi dapat berkomunikasi langsung dengan audiensnya.

PR terus berkembang beradaptasi dengan zaman. Di fase 3.0, PR memusatkan objektif pada social customer relationship management (SCRM). Untuk menerapkannya, perusahaan/organisasi harus bergeser dari yang mulanya hanya transaksional menjadi maksimalisasi hubungan jangka panjang dengan konsumen. Daripada memperlakukan konsumen sebagai target pemasaran produk, perlakukan konsumen sebagai manusia seutuhnya dengan seperangkat naluri, opini, dan jiwa. Oleh karena itu, di fase 3.0, PR perusahaan/organisasi berupaya memberikan nilai tambah (added value) ke dalam praktiknya untuk membedakan karakternya dengan perusahaan lain. Maka, mereka tidak hanya menargetkan pemenuhan fungsional dan emosional, tetapi juga pemenuhan kepuasan jiwa manusia ke dalam produk dan layanannya. Sebagai tambahan, fase ini juga menciptakan strategi baru, yakni brand activism.

Fase terakhir merupakan evolusi yang sedang marak berkembang dan erat kaitannya dengan teknologi kecerdasan buatan. PR 4.0 mengembangkan konektivitas machine-to-machine dan artificial intelligence dalam rangka mendongkrak produktivitas perusahaan. Strategi ini kemungkinan akan banyak sekali kita lihat ke depannya. Kini, teknologi ini dapat kita lihat contohnya pada fitur customer service di berbagai aplikasi di telepon genggam kita. Walaupun demikian, campur tangan manusia tetap dibutuhkan untuk meningkatkan customer engagement.

Melalui berbagai fase tersebut, PR selalu dapat berevolusi dan menciptakan dobrakan ide yang baru. Jika rajin mengulik, fenomenanya pun banyak dapat kita temui di sekitar kita dan di dunia maya. Misalnya dengan brand activism yang banyak kita saksikan pada masa maraknya gerakan Black Lives Matter. Banyak jenama menunjukkan dukungannya dengan memaparkan image bertemakan selaras dengan gerakannya. Dari perspektif pemasaran, strategi ini disebut sebagai positioning. Kini, merek atau jenama didorong agar menjadi lebih sensitif terhadap isu sosial dan lingkungan—yang menjadi concern para millenial dan Gen Z saat ini. Hal ini diamplifikasi oleh hasil riset Facebook yang menyatakan bahwa pandemi membuat Gen Z menjadi lebih tertarik pada aktivisme dan kegiatan sosial.

Jadi, banyak nilai yang harus diperhatikan oleh PR atau Marketing Communication agar dapat beradaptasi dengan pandemi. Pengelolaan citra positif, pemberian nilai tambah, pemenuhan kepuasan jiwa manusia, dan pemanfaatan teknologi digital adalah fondasi yang penting. Sejarah juga dapat banyak memberi pelajaran bagi praktisi PR. Ada banyak fenomena yang dikaji dari perspektif PR dan pemasaran yang dapat dijadikan batu loncatan untuk membuat terobosan baru. Dengan kata lain riset menjadi tahap terpenting dalam perencanaan strategis kehumasan, sebagaimana ketika datang ke negara baru, perlu kita mencari tahu bahasa dan budayanya dahulu.

 

Referensi

Hutchinson, A. (2020, 24 Agustus). Facebook Evolving Trends Research: Glocal Community. Social Media Today. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://www.socialmediatoday.com/news/facebook-evolving-trends-research-glocal-community-infographic/583977/

Sihombing, I. (2020, 20 Mei). Industri Kecantikan Butuh Kreativitas di Tengah Pandemi Covid-19. Media Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/314825-industri-kecantikan-butuh-kreativitas-di-tengah-pandemi-covid-19

Wiranatakusumah, M. R. (2020, 24 Juli). Pandemi, Pilih Vacuum atau “Stay Connected”?. MIX Interactive. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mix.co.id/mix-interactive/column/pandemi-pilih-vacuum-atau-stay-connected/.

 

Penulis: Rizqy Kartini Mayasari (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

 

CECR dan Media Selection: Strategi Menghadapi Krisis

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Ketika menghadapi krisis, praktisi humas baik di pemerintahan maupun lembaga dituntut untuk dapat mengatasinya melalui komunikasi yang efektif dan pemanfaatan media yang tepat. Begitupun dengan Covid-19 yang terjadi saat ini menjelma menjadi krisis kesehatan publik. Komunikasi yang efektif dapat mengurangi kompleksitas informasi yang beredar di masyarakat dan dapat menyelamatkan hidup banyak orang. Artikel ini akan membahas mengenai CECR yang dapat menjadi pedoman komunikasi krisis oleh praktisi humas dan pemilihan medianya.  

Apa Itu CECR?

Crisis and Emergency Risk Communication  atau CECR merupakan kerangka komunikasi yang dibuat oleh CDC (Centers for Disease Control) yang bertujuan untuk membantu organisasi dalam merespons krisis yang berkaitan dengan darurat kesehatan yang mengancam nyawa banyak orang. Barbara R, Penasihat Komunikasi Krisis CDC mengatakan bahwa CERC menjadi sangat penting karena penyampaian pesan pada waktu yang tepat oleh orang yang tepat dapat menyelamatkan nyawa banyak orang (CERC Introduction, 2018). Kerangka CERC dan enam prinsipnya dapat membantu organisasi ketika menyampaikan informasi kepada publik dalam mempersiapkan, merespons, dan pemulihan pasca tanggap darurat kesehatan. Keenam prinsip CERC adalah:

  1. Be first: menjadi sumber utama dan pertama mengenai informasi
  2. Be right: informasi yang diberikan akurat
  3. Be credible: memberikan informasi yang jujur tanpa menutupi fakta
  4. Express empathy: mengekspresikan empati kepada stakeholders terdampak
  5. Promote action: memberikan informasi instruksi untuk stakeholders
  6. Show respect: Menghargai stakeholders yang terdampak

Integrasi dari keenam prinsip CERC membantu memastikan bahwa sumber daya yang terbatas dapat dikelola dengan baik dan organisasi dapat melakukan yang terbaik pada setiap fase tanggap darurat. 

Media Selection

Proses pemilihan media dalam komunikasi strategis bersifat multidimensional dan bergantung pada beberapa faktor. Proses multidimensi dalam pemilihan media berarti terjadi saat Humas ingin memilih saluran komunikasi maka ia perlu berpikir secara bersamaan mengenai tingkat efisiensi yang diinginkan dalam komunikasi dan pengalaman sebelumnya dengan kanal komunikasi, mitra, dan juga topik (Klyueva, 2009).  

Terdapat tiga teori utama dalam pemilihan media yaitu rich media, channel expansion theory, dan integrated model. Daft dan Lengel (1984) berteori bahwa rich media dibutuhkan untuk memproses informasi mengenai topik yang kompleks atau samar-samar. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan penafsiran pesan,  humas akan memilih media yang “kaya”. Karakteristik dari rich media yaitu: dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan. Carlson dan Zmud (1999) mencetuskan channel expansion theory mengatakan bahwa “kaya” atau tidaknya suatu media tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik media tersebut. Pengalaman individu terhadap kanal, orang yang diajak berkomunikasi, dan topik yang justru akan mempengaruhi persepsi individu atas media tersebut. Integrated model datang menjadi penengah bagi keduanya, Klyueva (2009) mengatakan bahwa jikas seorang humas ingin menghindari ambiguitas dan menciptakan komunikasi yang efektif maka pemilihan media harus didasarkan pada seberapa baik ia mengenal media tersebut, pihak yang diajak berkomunikasi, dan topik yang dibicarakan. 

Lalu bagaimana implementasinya? 

Memasuki era digital dengan banyaknya pilihan platform, sangat membantu praktisi humas dalam menyampaikan pesan. Implementasi CECR dapat dilakukan melalui media konvensional maupun media baru. Namun, salah satu prinsip CECR yaitu be first yang mengharuskan praktisi humas untuk menjadi sumber yang pertama dan utama mendorong perpindahan dari media konvensional ke media baru karena kecepatannya. Selain itu, tingginya tingkat penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 64,8% menjadi faktor praktisi humas untuk menggabungkan media konvensional dengan media baru (Annur, 2019). Apalagi kehadiran media baru seperti media sosial dan website dengan fiturnya yang dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan mampu mengurangi kompleksitas informasi yang ada. Media konvensional tetap dibutuhkan oleh praktisi humas karena tidak semua audiensnya memiliki akses internet. Meskipun kita telah memasuki era digital, perpaduan antara media konvensional dan media baru atau integrated model masih relevan hingga saat ini. Integrated model memungkinkan praktisi humas untuk menjangkau lebih luas audiensnya dan mengurangi kompleksitas informasi sehingga tepat diterapkan dalam menghadapi krisis seperti pandemi Covid-19 ini. 

 

Referensi

Annur, C.M. (2019, 16 Mei). Survei APJII: Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Capai 64,8%. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://katadata.co.id/sortatobing/digital/5e9a51915cd3b/survei-apjii-penetrasi-pengguna-internet-di-indonesia-capai-648.

Carlson, J.R., & Zmud, R.W. 1999. Channel expansion theory and the experiental nature of media richness perceptions. Academy of Management Journal, 42, 153-170

CERC Introduction. 2018. U.S Department of Health and Human Services Center fror Disease Control and Prevention

Daft, R.L., Lengel,R.H. 1984. Information richness: A new approach to managerial behavior and organization design. Research in Organizational Behavior, 6, 191-233

Klyueva, Anna V. 2009. An Integrated Model of Media Selection in Strategic Communication Campaigns. Oklahoma University

 

 

Penulis: Rizky Wibawa (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

 

Woke Hollywood: Membaca Fenomena “Woke Culture” di Dunia Film Amerika Serikat

Perspektif Rabu, 30 September 2020

zz

Sumber: IndieWire.com

Jika anda merupakan seorang penggemar franchise Star Wars, pasti tak asing dengan kontroversi film Star Wars: The Last Jedi (2017) dan Star Wars: The Rise of Skywalker (2019) yang dianggap memiliki agenda politik terselubung terutama untuk menyebarkan propaganda feminis radikal (Sammons, 2018). Tidak hanya masalah feminis, Disney sebagai perusahaan yang turut terlibat dalam penulisan dan produksi 3 film terakhir Star Wars, juga mengedepankan inklusivitas dalam film ini, dengan misalnya menghadirkan karakter Rose Tico sebagai representasi masyarakat Asia, atau Finn sebagai representasi Afrika-Amerika. Walaupun di sisi lain plot dan penggambaran karakter dari masing-masing tokoh ini justru dianggap “melecehkan” bagi beberapa pihak (Daubney, 2017).  

Tragedi yang menimpa film franchise terlaris di dunia ini, diyakini oleh penggemar sebagai dampak dari budaya the woke (Firdaus, 2020) yang sedang tren di industri hiburan Hollywood. Tidak hanya Star Wars, beberapa film Hollywood terutama film-film yang merupakan remake, spin-off, atau sequel dari film klasik juga tak ketinggalan ikut ‘mencoba’ woke culture dengan gaya masing-masing.

Misalnya, Ocean’s 8 (2019) yang merupakan “spin-off” dari Ocean’s Eleven (2001), memilih untuk membentuk kelompok penjahat perempuan sebagai generasi penerus Ocean’s Eleven yang sebelumnya hanya beranggotakan laki-laki (Kozak, 2019).

Tidak hanya film klasik, seri orisinil Netflix The Kissing Booth 2 (2020) juga tak ketinggalan mencoba tren ini. Setelah sebelumnya mendapat banyak kritikan karena dianggap “kurang inklusif”, The Kissing Booth 2 (2020) menambahkan plot cerita romantis siswa gay yang sayangnya tak berdampak apapun pada plot utama (McLaughlin, 2020) selain digunakan untuk menunjukkan bahwa kini sutradara dan penulis The Kissing Booth 2 (2020) menyadari bahwa heteroseksual bukan satu-satunya orientasi seksual yang ada di bumi.

Istilah the woke atau woke culture ini kemudian menjadi popular setelah Todd Philips (sutradara film Joker (2019)) menyindir para social-justice warrior sebagai penghalang terbesar bagi sutradara film komedi untuk membuat film bertema komedi di era saat ini (Erbland, 2019). The woke atau yang sering disebut sebagai woke culture sendiri merupakan istilah slang yang diambil dari bahasa Afrika untuk term the awaken progresif. Istilah ini juga biasa ditujukkan untuk mengidentifikasi salah satu ciri khas dari kelompok Social Justice Warior (SJW) atau pejuang keadilan sosial (Firdaus, 2020). 

Selama lebih dari 200 tahun, eksistensi film dalam industri media hiburan, tak lagi sekedar dianggap sebagai media komunikasi yang mewadahi imajinasi penulis dan sutradara semata. Di era kemudahan akses informasi seiring dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia, film dapat menjadi alat yang berguna bagi pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan political stand, ideologi, dan propaganda tertentu. Misalnya seperti yang dilakukan oleh sutradara film BlacKkKlansman (2018) dan Do the Right Thing (1989), Spike Lee. Melalui film-film buatannya ia memainkan peran ganda sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan keadilan masyarakat ras kulit hitam dan juga sutradara yang memiliki integritas sehingga menyadari betul betapa pentingnya menyelaraskan kepentingan politik dan kekuatan storytelling sebagai penyampaian pesan aktivisme yang sesungguhnya (Urbain, 2018).

Kemunculan isu agenda politik dan tindakan aktivisme berkembang menjadi isu sensitif dan kemudian diangkat ke diskusi publik sejalan dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan forum daring para pecinta film. Di YouTube sendiri, saat ini tren video esai kritik film pun mulai menjamur bahkan sampai menyentuh ranah ilmu pengetahuan spesifik seperti fenomena kritik sosial film Parasite (2019) yang banyak dianalisis melalui perspektif ilmu sosiologi. 

Tujuan untuk membangkitkan kesadaran akan inklusivitas dan melawan streotip kemudian menimbulkan rasa jengkel ketika film seolah “hanya” dibuat untuk kepentingan agenda semata. Alih-alih membentuk cerita yang mampu membawa pesan untuk membangkitkan kesadaran dan melawan ketidakadilan, woke culture dunia film era sekarang justru membawa “bumbu” inklusivitas dan agenda politik atau political correctness sebagai strategi pemasaran.

John Semley (2017) dalam artikelnya menyebutkan, bahwa masalah film-film yang sarat akan woke culture saat ini adalah rasa bangga mereka dalam menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran tentang isu-isu sosial tertentu seperti minoritas dan feminisme. Karakter yang dibuat untuk kepentingan alur cerita pun tak lagi menjadi prioritas, selama bentuk fisik dari aktor atau aktris yang memerankan suatu tokoh dirasa cukup untuk merepresentasikan suatu kelompok masyarakat yang relevan dengan isu sosial yang berkembang, maka kualitas cerita tak lagi menjadi masalah (Semley, 2017).

Semley juga menjelaskan bahwa film di era woke culture saat ini justru mengurangi nilai dari aktivisme dan tujuan representasi sebenarnya dalam film:

“Kita menjadi begitu puas diri dalam menghargai tanda-tanda seni yang baik, terjaga, mulia, dan liberal sehingga kita berisiko membutakan diri kita sendiri terhadap realitas ketidakadilan sosial dan politik yang terus berubah. Alih-alih terlibat, kita bisa menonton film seperti The Shape of Water, merasa cukup sadar, dan salah mengira perasaan itu sebenarnya sedang bertunangan. Alih-alih gelisah, bangun dengan ketakutan, kita kembali tidur nyenyak, dan memimpikan mimpi terbangun.” (Semley, 2017)

Sebagai media komunikasi massa, film memikul tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Di era arus informasi saat ini, media massa membuat pikiran masyarakat jauh lebih ideologis. Mereka tidak membiarkan orang memiliki persepsi mereka sendiri tentang dunia, melainkan membuat publik memahami apa yang mereka pikirkan (Jowett & Linton, 2010). Dibandingkan media massa lainnya, film dapat dikatakan sebagai media penyampaian pesan yang paling kuat dan memiliki pengaruh baik kepada masyarakat sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial (Symeou, Bantimaroudis, dan Zyglidopoulos, 2013). Pembentukan persepsi publik ini, sejalan dengan salah satu misi dari film sebagai media massa seperti yang disebutkan dalam teori agenda setting media (McCombs, 2004). 

Namun alih-alih menjalankan misi agenda setting, woke culture atau “wokeness” dalam film masa kini, lebih enak dipandang dari sudut pandang komunikasi pemasaran. Sebagai fenomena yang muncul di era media sosial, kesadaran akan inklusivitas dan isu-isu sosial kini menjadi nilai jual yang mumpuni (Shaw, 2020). 

Film-film dengan esensi “woke culture” tidak terlalu menggunakan alur cerita sebagai “senjata” promosi. Cukup dengan mengunggah poster film ke media sosial atau platform online lainnya dan menyebutkan ada representasi kelompok atau isu sosial apa yang diangkat dalam film tersebut, calon penonton diharapkan untuk merespon karya mereka dengan positif tanpa harus menghiraukan kualitas cerita (Clair, Fox, dan Bezek, 2009). Kritik yang ditujukkan untuk film tersebut pun sekarang bisa dianggap sebagai pendapat yang menyerang kelompok tertentu, tanpa pula harus memikirkan apakah kritik tersebut bisa diterima logika atau tidak.

 

Referensi

Clair, R. P., Fox, R., & Bezek, J. L. (2009). Viewing Film from a Communication Perspective: Film as Public Relations, Product Placement, and Rhetorical Advocacy in the College Classroom. Communication and Theater Association of Minnesota Journal, 70-87.

Daimond, J. (2020, February 10). The Failure of the Woke Movie Remake Industry. Retrieved August 27, 2020, from The Burkean: https://www.theburkean.co.uk/the-failure-of-the-woke-movie-remake-industry/

Daubney, M. (2017, December 27). Liberal identity politics has ruined Star Wars for the fanboys. Retrieved August 27, 2020, from Telegraph: telegraph.co.uk/men/thinking-man/liberal-identity-politics-has-ruined-star-wars-fanboys/

Erbland, K. (2019, October 1). Todd Phillips Left Comedy to Make ‘Joker’ Because ‘Woke Culture’ Ruined the Genre. Retrieved August 27, 2020, from IndieWire: https://www.indiewire.com/2019/10/todd-phillips-left-comedy-joker-woke-culture-1202177886/

Firdaus, A. (2020). SJW, Horseshoe Theory dan the Woke Culture. Retrieved August 27, 2020, from AMF Life: https://ahmadmfirdaus.com/2019/10/15/sjw-horseshoe-theory-dan-the-woke-culture/

Francis, N. (2020, January 10). WHY IS VIDEO SUCH A POWERFUL COMMUNICATIONS TOOL? Retrieved August 27, 2020, from Casual Films: https://www.casualfilms.com/blog/emotional-power-of-video#:~:text=One%20hundred%20years%20on%2C%20film,emotion%20in%20a%20dispersed%20audience.&text=It’s%20when%20it’s%20combined%20with,communication%20tool%20available%20to%20humanity.

Jowett, G., & Linton, J. M. (2010). Movies as Mass Communication. Michigan: SAGE Publication.

Kozak, O. E. (2019, May 22). Hollywood’s Gender-Swapped Remakes/Reboots of the Late 2010s. Retrieved August 27, 2020, from Paste: https://www.pastemagazine.com/movies/gender-swap/hollywoods-gender-swapped-remakesreboots-of-the-20/

McCombs, M. (2004). Setting the agenda: The mass media and public. Cambridge, UK: Blackwell Pub.

McCombs, M. E. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. The Public Opinion Quarterly, Vol. 36, No. 2, 176-187.

McLaughlin, K. (2020, July 28). The Kissing Booth 2’s Gay Subplot Is a Frustrating Example of Performative Activism. Retrieved from Pop Sugar: https://www.popsugar.com/entertainment/why-kissing-booth-2-gay-subplot-is-problematic-47643859

Salmon, C. (2020, January 16). Does anyone outside of Twitter really care about films being woke? Retrieved August 27, 2020, from Dazed: https://www.dazeddigital.com/film-tv/article/47484/1/does-anyone-outside-of-twitter-really-care-about-films-being-woke

Sammons, T. (2018, March 11). Kathleen Kennedy Is Ruining Star Wars With Her Feminist Agenda. Retrieved August 27, 2020, from Odyssey: theodysseyonline.com/kathleen-kennedy-ruining-star-wars-feminist-agenda

Semley, J. (2017, December 5). The problem with ‘The Shape of Water’ and other ‘woke’ films. Retrieved August 27, 2020, from Maclean’s: https://www.macleans.ca/opinion/the-problem-with-woke-cinema/

Shaw, L. (2020, July 13). Hollywood Decides Being Woke Is Good for Business. For Now. Retrieved August 27, 2020, from Bloomberg: https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2020-07-12/hollywood-decides-being-woke-is-good-for-business-for-now

Symeou, P., Bantimaroudis, P., & Zyglidopoulos, S. (2013). Cultural Agenda Setting and the Role of Critics: An Empirical Examination in the Market for Art-house Films. In S. Zyglidopoulos, Cambridge Judge Business School Working Papers (pp. 3-7). Cambridge: Cambridge Judge Business School, University of Cambridge.

Urbain, T. (2018, May 14). Spike Lee’s signature: Entertainment, activism, rage. Retrieved August 27, 2020, from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/life/2018/05/14/spike-lees-signature-entertainment-activism-rage.html

 

Penulis: Nadia Utama (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2016)

Masa Pandemi Jadi Momentum Pembuktian Kreativitas Pelaku Industri Periklanan (Studi Kasus pada Iklan IM3 Ooredoo)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama tahun 2020 ini telah mengubah tatanan kehidupan manusia di semua bidang, termasuk dalam hal pemasaran dan periklanan. Para pelaku industri tersebut dituntut untuk dapat beradaptasi dengan cepat dan harus bisa lebih kreatif dalam menentukan langkah-langkah ketika akan melakukan pemasaran suatu produk atau brand. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana kemampuan mayoritas brand multinasional dan perusahaan besar di Indonesia yang dapat cepat dan tanggap dalam beradaptasi dengan keadaan. Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh kasus pada brand IM3 Ooredoo yang dapat dikatakan aktif melakukan pemasaran selama pandemi ini.

Pembahasan tentang pemasaran yang telah dilakukan IM3 Ooredoo akan dikerucutkan pada satu waktu saja, yaitu pada bulan Ramadan. Bulan Ramadan tahun ini terasa berbeda, adanya himbauan #dirumahaja, social distancing, hingga larangan mudik. Akan tetapi, kita tau bahwa pada saat yang sama, iklan bertebara dimana-mana, ada di TV, Youtube, billboard, dan berbagai media lainnya. Menyikapi momen bulan Ramadan dan lebaran, IM3 Ooredoo ingin mengambil momen ini dengan berusaha untuk menginspirasi dan memberi semangat kepada para pengguna produk mereka karena saat ini, banyak orang yang sedang “jatuh” secara finansial, fisik, dan juga mental (IM3 Ooredoo, 2020).

Alhasil, mereka pun memproduksi sebuah iklan berjudul “Silaturahmi Setiap Hari” dan diunggah pada lama Youtube IM3 Ooredoo. Sejak 17 April 2020, video tersebut telah dinikmati dan disaksikan oleh 92,5 juta orang (IM3 Ooredoo, 2020). Dari sini, kita perlu mempertanyakan perihal sebab mengapa iklan yang ditayangkan pada masa pandemi ini bisa mencapai jumlah views sebanyak itu. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, berbagai brand lain juga melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang membuat IM3 Ooredoo dapat mendapatkan jumlah views tersebut di masa yang penuh keterbatasan dan tak tentu ini.

Dalam hal ini, kemampuan konsep dan kreativitas adalah salah satu solusi menghadapi keterbatasan yang disebabkan oleh pandemi dan kondisi dimana semua hal harus dilaksanakan secara “online”. IM3 Ooredoo sebagai salah satu brand provider yang sangat dibutuhkan pada masa pandemi ini kaitannya dalam penyediaan jaringan internet berusaha untuk salah satunya yaitu menguatkan brand awareness mereka. Menurut Durianto (2001) brand awareness merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen brand lainnya. Jadi apabila kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa kepercayaan terhadap mereknya juga rendah (Durianto, 2001). Lalu apa yang mereka lakukan? 

Dalam Behind the Scene-nya dikatakan bahwa mereka berusaha untuk menghadirkan salah satu esensi dari bulan Ramadan yaitu silaturahmi. Akan tetapi, adanya pandemi membuat semuanya harus dijalani dengan cara yang berbeda. Menggandeng beberapa musisi untuk mengisi lagu pengiring, iklan yang menceritakan tentang bagaimana kondisi silaturahmi pada masa pandemi ini dapat mengena di hati para penonton. Mengutip beberapa komentar di unggahan video klip lirik salah satu musisinya, dikatakan bahwa,

“Tumben dengerin lagu iklan sampai segini gininya.. ❤️”

“Lagu ini Bakal mengingatkan kita kalo kita pernah ada di masa2 ngga nyaman”

“Gatau lagi harus nangis atau gimana.. semenjak karantina udah gak bisa ketemu ibu.. cuma bisa vcall, telpon sambil nangis.. aku gak takut bu meski di karantina disini.. aku cuma takut saat terakhir ku ga ketemu kalian.. kaka sayang ibu sama adek”, (Hindia, 2020).

Dari beberapa komentar ini terdapat semacam pola yang sama, yaitu bahwa iklan ini memiliki kedekatan emosional yang kuat. Dalam iklan, penggunaan kedekatan emosional termasuk ke dalam salah satu daya tarik iklan. Menurut (Clow & Baack, 2001) penggunaan kedekatan emosional dalam iklan dan pemasaran didasarkan atas tiga pemikiran. Diantaranya adalah konsumen memiliki kecenderungan mengabaikan hampir semua iklan, pemasaran secara langsung biasanya cenderung kurang diperhatikan kecuali jika memang sedang dibutuhkan konsumen, dan iklan dengan daya tarik emosional dapat lebih menarik perhatian audiens serta dapat membangun kedekatan antara konsumen dan brand (Clow & Baack, 2001).

Tidak hanya pada konsepnya saja, kreativitas mereka pun diuji pada hal proses produksi. Dengan kondisi yang tidak biasa, mereka dituntut untuk mencoba hal baru. Bagaimana? yaitu dengan proses perekaman bergilir dengan set kamera yang sama. Dengan talent yang merupakan kru mereka sendiri, proses produksi dilakukan di rumah masing-masing. Secara bergantian, mereka dipinjamkan satu set kamera untuk melakukan rekaman sendiri di rumah, begitupula dengan proses pembuatan lagu pengiring yang juga dilakukan individu di rumah masing-masing. Seluruh koordinasi yang dilakukan dalam proses produksi pun juga dilakukan secara online (IM3 Ooredoo, 2020).

Melihat contoh kasus yang dialami IM3 Ooredoo, masa pandemi sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghambat dan jadi “kambing hitam”. Hal ini juga dapat dikuatkan dengan banyaknya iklan suatu brand yang mendapatkan jumlah views puluhan juta saat masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah iklan Go-Pay “Pevita Ditembak, JoTa Bertindak” (37 juta views), Telkomsel “Terus Jalankan Kebaikan” (19 juta views), hingga iklan terbaru IM3 Ooredoo berjudul “#TeruskanPerjuanganmu untuk Tetap Merdeka” yang sudah mendapatkan 67 juta views hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Kondisi seperti ini malah seakan menjadi ajang kompetisi bagi semua brand untuk menunjukkan segala kemampuan konsep dan kreativitas mereka sehingga juga bisa menjadi pembuktian bahwa mereka akan selalu siap untuk memberikan solusi yang tepat dan dapat beradaptasi dalam kondisi apapun.

 

Referensi

Clow, K.E., & Baack, D. (2001). Integrated Advertising, Promotion, and Marketing Communications. Upper Saddle River, N.J: Pearson Education, Inc.

Durianto. (2001). Strategi Menaklukan Pasar melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hindia. (2020, April). Hindia – Ramai Sepi Bersama (Official Lyric Video) [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=tVj5jUW4LvI

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk

IM3 Ooredoo. (2020, April). Silaturahmi Setiap Hari [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=dxDkK2nr2k4

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk 

 

Penulis: Khairi Muhammad Zuhdi (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2018) 

Media dan Budaya pada Film Pendek Tilik (Ravacana Films)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Sumber: Instagram Sutradara “Tilik” @whyagungprasetyo

Pada masa pandemi Covid-19 tren menonton film menjadi kegiatan yang digemari oleh berbagai kalangan masyarakat terutama bagi remaja, bahkan hingga menjadikannya hiburan bagi keluarga di rumah. Namun, pandemi Covid-19 ini menjadi dampak buruk bagi pelaku usaha hiburan Bioskop dan industri perfilman, pemerintah menerbitkan berbagai aturan dan larangan kegiatan hiburan yang dapat menyebabkan meningkatnya penyebaran kasus Covid-19. Tidak mau tinggal diam, industri perfilman mau tidak mau harus memutar otak bagaimana masyarakat dapat menonton film secara legal tanpa keluar rumah, menurut Kementerian Kominfo terdapat peningkatan pengunduhan film secara illegal saat pandemi walaupun pemerintah sudah menutup berbagai situs film illegal tetapi masih banyak situs serupa yang masih dapat di akses masyarakat (CNN Indonesia, 2020), dengan cara bekerjasama dengan televisi dan penyedia aplikasi layanan menonton film daring gratis ataupun berbayar (Gunawan, 2020). Di Indonesia terdapat berbagai pilihan film yang fenomenal di masyarakat, tentunya ciri khas dari film yang fenomenal di Indonesia tersebut akan menjadi tren dan menarik di masyarakat karena memperlihatkan kejadian-kejadian yang relevan dengan sosial dan budaya di masyarakat. Film pendek berjudul Tilik di pertengahan masa pandemi Covid-19 jadi buah bibir dan tren di media sosial masyarakat, film yang diperankan oleh seorang ibu-ibu desa memperlihatkan kemajuan era digital dengan adanya media sosial, dan ciri khas budaya ibu-ibu yang selalu gosip menjadi kolaborasi yang pas di kehidupan masyarakat sehari-hari. Pemanfaatan Media menjadi peran aktif terhadap penggunaan media di kehidupan sosial yang menjadikan proses komunikasi di dalamnya, menurut Blumler,  Gurevitch  dan Katz menyatakan pengguna  media  memainkan  peran  yang  aktif  dalam  memilih  dan  menggunakan  media.

 

Tilik dalam Bahasa Jawa memiliki arti Jenguk (Menjenguk/melihat orang sakit, red), film ini dibuat pada tahun 2018 oleh Ravacana Films dan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan

diproduseri oleh Elena Rosmeisara. Film Tilik merupakan film pendek lokal dari daerah Yogyakarta yang telah memperoleh berbagai penghargaan film pendek, salah satunya penghargaan pertama diperolehnya dari Piala Maya tahun 2018, dari situlah Tilik mulai diputar di berbagai acara dan festival pada tahun 2019. Tilik merupakan tradisi ibu-ibu pedesaan di Yogyakarta yang selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk salah seorang tetangganya yang sedang sakit. Dalam filmnya terlihat ciri khas budaya masyarakat desa yang selalu rombongan, rombongan tersebut menggunakan kendaraan truk colt diesel yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Mayoritas adegan film ini memperlihatkan komunikasi yang terjadi di atas truk, komunikasi antar ibu-ibu sebagai budaya sehari-hari di Indonesia terutama di daerah pedesaan yang masih kental interaksi antar warga. Tokoh Bu Tejo menjadi peran yang paling dibahas oleh warganet di media sosial karena sifat dan prilakunya yang suka membicarakan orang, Bu Tejo selalu membicarakan keburukan Dian yang merupakan seorang anak dari Bu Lurah yang ingin dijenguk, juga peran Yu Ning disini selalu disinggung tentang Dian. Namun hal itu selalu disanggah oleh Yu Ning karena informasi yang diperoleh Bu Tejo ini berasal dari media sosial seperti Facebook dan Whatsapp yang belum tentu kebenarannya, tetapi Bu Tejo tetap bertahan dengan argumennya karena menurutnya informasi dari internet (media sosial, red) tersebut sudah terdapat bukti kongkrit yaitu berupa foto.

Dalam film pendek Tilik memberikan pandangan terhadap berbagai macam budaya masyarakat di desa dengan kemajuan teknologi di era digital terhadap efek media. Rasa empati diperlihatkan saat ibu-ibu mengikuti ajakan dari pesan singkat di media sosial bahwa Bu Lurah sakit, lalu obrolan ibu-ibu yang biasanya hanya sebatas saat pergi ke pasar dan belanja kebutuhan dengan melihat langsung kejadian dan menceritakannya kembali. Namun tidak demikian, di era digital saat ini, ibu-ibu desa dapat melihat informasi darimanapun yang berasal dari media sosial, seperti Bu Tejo yang menyinggung Dian berfoto dengan pria-pria di media sosialnya. Pemanfaatan teknologi harus diimbangi dengan literasi digital, dimana masyarakat harus paham akan dampak dan pengaruhnya terhadap unggahan yang dikirimkan ataupun diterima. Menurut Little John dalam Uses and Gratification Theory menyatakan “Compared with classical effect studies, the uses and gratifications  approach takes the media consumer rather than the messages as its starting point, and explores his communication behavior in terms of his direct experience with the media. It views the member of the audience as actively utilizing media content, rather than being passively acted upon by the media. Thus, it does not assume a direct relationship between messages and  effects, but postulated instead that members of the audience put messages to use, and that such ussages act as intervening variables in the process effects.” Oleh karena itu, dalam film pendek Tilik terdapat efek yang ditimbulkan dari media terhadap budaya masyarakat desa yang tadinya hanya mengetahui informasi dari sudut pandang yang sempit, namun dengan adanya media menjadikan sudut pandang menjadi luas yang dapat memberikan efek pesan.

 

Referensi

CNN Indonesia. (2020, 23 Maret). Warga RI Dilarang Akses Situs Nonton Bioskop Ilegal Saat WFH, CNNIndonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200323172155-185-486171/warga-ri-dilarang-akses-situs-nonton-bioskop-ilegal-saat-wfh

Griffin, EM. 2003. Hal 101. A First Look At Communication Theory. London : Mcgraw-Hill.

Gunawan, A. (2020, 24 Juli). 7 Aplikasi Nonton Film Gratis Legal Terbaik, IDN Times. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.idntimes.com/tech/trend/arifgunawan/daftar-aplikasi-nonton-film-secara-legal-terbaik/5

Littlejohn SW. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

 

 

Penulis: Fa’iq Naufal Farras (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM) | faiq.naufal.f@mail.ugm.ac.id

 

 

 

Esports dan Ambiguitas Regulasi Komunikasi yang Melingkupi: Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Suasana perhelatan Piala Presiden Esports 2019 di Istora Senayan (31/3/2019). Foto oleh Rahmad Fauzan / Bisnis. Sumber: https://teknologi.bisnis.com/read/20200828/564/1284532/akhirnya-esport-bisa-dipertandingkan-di-pon

Esports atau olahraga elektronik baru saja diakui sebagai salah satu cabang olahraga prestasi oleh KONI dan Kemenpora dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KONI 2020 yang diadakan secara virtual pada 25 s/d 27 Agustus 2020 (Ilyas, 2020). Menurut UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Dengan demikian, diakuinya esports sebagai salah satu cabang olahraga prestasi merupakan pertanda bahwa esports lebih besar daripada sekadar aktivitas hura-hura dengan bermain gim. Esports seakan telah lengkap untuk menjadi sebuah sistem tersendiri.

Sebelumnya, perlu para pembaca ketahui bahwa sebelum diakui sebagai cabang olahraga, esports sendiri sudah menjadi sebuah skena yang teramat luas, kompleks nan dinamis. Di dalam skena esports, para pelaku tidak hanya berjibaku dan terjebak di dalam peran tunggal sebagai pemain gim, tetapi juga peran-peran mayor lain yang tidak kalah penting, seperti halnya caster, broadcaster, event organizer, brand ambassador, sponsor, coach, team manager, dan masih banyak lagi. Atas dasar inilah, penulis – yang juga selaku aktor dalam skena esports kampus, mengatakan bahwa diakuinya esports sebagai cabang olahraga resmi pun telah menggenapi eksistensi skena ini, untuk kemudian menjadi sesuatu yang sistemik, institusional, dan formal. 

Walau esports diakui sebagai bidang olahraga, nyatanya hakikat esports lebih dekat kepada bidang komunikasi, utamanya dalam bidang komunikasi digital. Hal ini merujuk kepada penggunaan istilah esports sendiri yang merupakan akronim dari electronic sports, yakni istilah untuk gim dengan elemen kompetitif sebagai sajian utamanya (Restika, 2018). Itulah sebabnya, maka seluruh transformasi esports yang sedemikian pesat dan masif ini, sudah saatnya benar-benar menjadi perhatian tersendiri bagi kita para pembelajar komunikasi, tak terkecuali dengan penulis sendiri.

Dari pernyataan di atas pun penulis memunculkan satu pertanyaan: Mengapa esports harus mendapat perhatian tersendiri? Jawabannya sederhana, karena esports sudah bukan lagi sebatas aktivitas memainkan gim, yang mana di dalam aktivitas ini, terjadi satu proses konsumsi konten media secara “sederhana” yang dapat dipetakan dengan mudah oleh tiap-tiap pembelajar komunikasi. Perlu kita ketahui bahwa transformasi esports – apalagi dengan sudah diakuinya sebagai cabang olahraga oleh pemerintah, akan menyebabkan proses konsumsi media dan pertukaran informasi lain yang ada di dalam skena ini menjadi lebih kompleks dan dinamis. 

Secara garis besar, menurut pengalaman pribadi penulis selaku salah satu praktisi dalam bidang esports kampus, anatomi dari skena industri esports, yakni lebih tepatnya pertandingan esports, adalah sebagai berikut.

  1. Bidang teknis esports, yakni segala hal yang berkaitan langsung dengan proses berjalannya pertandingan sekaligus menjadi elemen mayor dalam berjalannya pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan pemain, pelatih, dan wasit atau pengatur pertandingan, serta pembuat gim itu sendiri.
  2. Bidang manajerial atau non teknis, yakni segala hal yang berkaitan tidak langsung dengan proses berjalannya pertandingan, tetapi tetap berperan amat krusial terhadap keberlangsungan pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan aktor seperti pihak manajemen tim dan sponsor.
  3. Bidang media dan publikasi, yakni segala hal yang berkaitan dengan upaya penginformasian dari keberadaan pertandingan yang sedang dilangsungkan, terutama terkait eksistensi esports itu sendiri. Bidang ini erat bersinggungan dengan wartawan, broadcaster atau tim penyiar, caster atau komentator, dan brand ambassador.

Dengan melihat anatomi bidang esports di atas yang kemudian kita korelasikan dengan diakuinya esports sebagai cabang olahraga prestasi, maka kita dapat mendapatkan satu proyeksi bahwa esports adalah raksasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajar komunikasi sangat perlu untuk mengawal proses berjalannya aktivitas pertandingan esports, kaitannya dengan pertandingan esports sebagai sebuah media (tontonan) yang dikonsumsi publik secara masif. 

Bila menyandarkan pandangan kepada tiga anatomi bidang di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan lebih jauh bahwa segala regulasi yang sudah ada dan langgeng di bidang komunikasi di Indonesia, seperti halnya P3SPS, kode etik jurnalistik, kode etik humas, UU Penyiaran, dan regulasi serupa lain, agaknya belum terlalu aplikatif terhadap bidang esports yang begitu kaya dan besar ini. Dengan kata lain, esports merupakan satu kesatuan sistem yang berjalan di atas tiga bidang anatomi tersebut dan tak terpisahkan. Dengan demikian, sudah pasti bahwa tiap-tiap regulasi komunikasi yang sudah ada juga akan sulit bila diterapkan secara satu persatu dan terpisah, yakni tiap regulasi diterapkan untuk masing-masing bidang anatomi yang ada.

Pada akhirnya, perlu sekali diadakan adanya satu pengkajian khusus untuk membahas regulasi yang mengatur dan mengawal proses berjalannya esports. Hal ini mengingat bahwa selama penulis berkecimpung di dunia esports, pihak regulator esports – yang notabene merupakan komite dan pengurus besar, hanya berjibaku di seputaran aturan main bagi pemain. Para “regulator” ini masih bertindak layaknya supervisor atlet sehingga kode etik profesi yang formal dan holistik belum diterapkan kepada peran-peran lain yang tersebar di dalam tiga bidang anatomi tersebut. Bahkan, aturan main yang disematkan kepada para pemain tersebut lebih kepada aturan etis yang dikeluarkan oleh para pengembang gim terkait, dengan tujuan untuk memelihara ekosistem permainan yang kondusif. Benar-benar hanya sebatas itu, belum menyentuh ranah untuk mewujudkan satu iklim tontonan yang kondusif dan benar-benar layak untuk dikonsumsi oleh publik dengan latar belakang yang beragam.

 

Referensi

Ilyas, A. (2020, 26 Agustus). Esports Resmi Jadi Cabang Olahraga Prestasi di Indonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://akurat.co/iptek/id-1204265-read-esports-resmi-jadi-cabang-olahraga-prestasi-di-indonesia

Restika, R. (2018, 29 Mei). Apa Itu Esports? Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://esportsnesia.com/penting/apa-itu-esports/.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

 

Penulis: Abyzan Syahadin Bagja Dahana (Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi UGM dan Inisiator UGM Esports Community) | abyzan.syahadin.b.d@mail.ugm.ac.id

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

September 2020
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  
« Agu   Nov »
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY