Dari Indonesia untuk Dunia: Dr. Novi Kurnia Tegaskan Peran Literasi Digital Hadapi Disinformasi Iklim

Yogyakarta, 30 Juni 2025 –Dalam pidatonya the 9th Climate Energy Summit Seouldi Seoul, 26 Juni 2025, Dr. Novi Kurnia, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dan peneliti utama Centre for Digital Society UGM. menyoroti persoalan mendesak terkait misinformasi dan disinformasi iklim, khususnya dari perspektif Global South (Negara Selatan Global). Ia menekankan bahwa meskipun kesadaran masyarakat dunia terhadap perubahan iklim terus meningkat, penyebaran informasi palsu masih sangat memengaruhi pemahaman publik dan memperlambat aksi nyata. Disinformasi ini sering mengulang narasi yang serupa—menyangkal adanya perubahan iklim, meremehkan peran manusia, atau mempertanyakan efektivitas solusi—dan kian diperkuat oleh platform digital. Menghadapi ini tak cukup hanya dengan data ilmiah, tetapi perlu membangun kepercayaan, komunikasi yang inklusif, dan ekosistem informasi yang sehat.

Dr. Kurnia membagikan temuan dari riset terbarunya di Indonesia, yang menunjukkan bahwa 98% responden menganggap media sosial sebagai sumber utama misinformasi iklim, dan sebagian besar masih mempercayai teori konspirasi terkait perubahan iklim. Walaupun banyak responden merasa yakin dapat mengenali informasi palsu, hanya sedikit yang benar-benar terlibat dalam membuat konten tandingan. Kesenjangan antara kesadaran dan aksi ini menunjukkan pentingnya literasi digital, penyampaian informasi yang relevan secara lokal, dan dukungan kelembagaan seperti platform cek fakta dan program edukasi publik.

Ia juga menekankan bahwa tanggung jawab platform digital dan kepentingan publik harus berjalan seiring. Platform perlu lebih transparan terhadap algoritma yang mereka gunakan dan aktif dalam moderasi konten, pendanaan cek fakta, serta pengembangan alat literasi media. Yang tak kalah penting adalah memastikan bahwa komunitas yang kurang terlayani memiliki akses ke informasi iklim yang kredibel, dan bahwa suara dari Global South dilibatkan dalam pengambilan keputusan informasi global. Pendekatan inklusif ini memperkuat ketahanan digital sekaligus keadilan iklim.

Dalam penutupnya, Dr. Kurnia menyoroti potensi ganda dari kecerdasan buatan (AI): AI dapat membantu mendeteksi dan menangani misinformasi secara luas, tetapi juga membawa tantangan seperti bias dan persoalan etika. Menurutnya, peran manusia—terutama dari perspektif lokal yang beragam—tetap tak tergantikan. Ia mendorong kolaborasi multi-pihak antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan platform teknologi, serta memperkenalkan berbagai inisiatif di Indonesia yang membangun kapasitas akar rumput untuk melawan disinformasi iklim. Seruannya yang terakhir menekankan bahwa literasi digital harus menjadi fondasi utama dalam membangun respons iklim yang inklusif, berkelanjutan, dan adil.

Selain menampilkan Dr Novi Kurnia sebagai pembicara, the 9th Climate Energy Summit Seoul yang dihadiri sekitar 400-500 peserta online maupun offline juga menghadirkan pembicara lain yakni: Somya Joshi , Head of Division Global Agendas, Climate & Systems· Chair of AI Taskforce, Stockholm Environment Institute (SEI); Daniel Castro, Vice President·Director, Information Technology and Innovation Foundation (ITIF)·Center for Data Innovation, Minjung Jin, Principal Researcher, Media Research Center, Korea Press Foundation;YongNyuo Shin | National Tech Officer (NTO), Public Center, Microsoft Korea; dan AI and Power Infrastructure Strategies for Climate Crisis and Disaster Response Jaegul Lee, Team Leader, Power System Analysis Team, Korea Electric Power Corporation Research Institute (KEPRI).