Jika saat ini dunia berjalan normal dan pandemi belum menyerang, mungkin sudah banyak acara yang dihelat sebagai bagian dari kampanye kehumasan. Tetapi, pandemi mendesak kita semua untuk berhenti sejenak dan memikirkan jalan-jalan baru. Brand Activation Agency, sebagai cabang industri pemasaran tercatat sebagai segmen industri yang terdampak pandemi paling besar (Wiranatakusumah, 2020). Bagaimana tidak? Aktivasi merek berkaitan erat dengan penghimpunan massa dan pemanfaatan venue, yang mana dilarang selama pandemi. Namun, semua itu ternyata tidak menghalangi pelaku industri pemasaran dan pekerja pemasaran untuk tetap terhubung dengan konsumen. Pemanfaatan media daring menjadi opsi nomor satu dalam meningkatkan engagement dengan pasar.
Adaptasi di Tengah Pandemi
Banyak jenama yang sudah beradaptasi dengan cepat dengan memanfaatkan platfotm daring untuk menjaga brand awareness. Berbagai kegiatan diadakan seperti gelar wicara, webinar, maupun Kulwap (Kuliah Whatsapp). Contohnya seperti yang dilakukan oleh Dancow yang mengadakan rangkaian acara “Festival Dongeng Aku dan Kau” melalui berbagai platform daring. Selain itu, ada Shopee yang menghadirkan “BincangShopee 9.9 Super Beauty Day: Kreativitas Industri Kecantikan di tengah Pandemi” (Sihombing, 2020) yang juga diadakan secara daring melalui fitur ShopeeLive miliknya.
Baru-baru ini, Facebook telah mempublikasikan hasil risetnya yang memperhatikan tren penggunaan media digital yang berevolusi di tengah masa pandemi. Hasil riset tersebut didasarkan pada kombinasi wawasan data internal dari Facebook, wawasan survei yang ditugaskan, dan penelitian pihak ketiga. Secara total, menggabungkan respon dari lebih dari 34.000 konsumen. Ada lima poin yang mereka sorot dan cukup relevan untuk para pemasar digital di seluruh dunia (Hutchinson, 2020):
- Safer Shopping – Berkaitan dengan peraturan-peraturan berbelanja yang baru untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan pergeseran ke arah
- Mindful Wellness – Banyak orang mulai sadar akan pentingnya aktivitas rekreasi untuk meredakan tekanan dari situasi yang ada.
- Glocal Community – Pandemi telah merekatkan silaturahmi antar warga, yang mana akan berujung pada meningkatnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
- Gen Z’s Regeneration – Pandemi telah memperkuat dukungan Gen Z dalam melawan penyebab-penyebab isu sosial dan lingkungan.
- Connected Convenience – Banyak pesan agar tetap terhubung satu sama lain, termasuk dengan jenama.
Kelima poin tersebut dapat kita rasakan sekarang. Kini berbelanja seakan membutuhkan proposal pengajuan dana matriks karena banyak hal yang perlu dipertimbangkan, entah sanitasi, datang langsung atau pesan antar, dan banyak hal subjektif lainnya. Tetapi banyak jenama yang sudah tanggap dengan keadaan ini dan menjaga pelayanan pelanggan dengan memperhatikan kesehatan, contohnya seperti Gojek dengan strategi contactless delivery-nya. Selain itu, banyak jenama di sekitar kita juga telah mencanangkan strategi berdasarkan hasil riset di atas. Berbagai korporat teknologi digital mengupayakan untuk mendukung bisnis-bisnis lokal, misalnya dengan pengeluaran stiker “Support Small Business” pada fitur Story di Instagram. Dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa walaupun dunia ekonomi mendapat banyak perubahan, selalu ada banyak cara agar dapat bertahan. Seperti peribahasa dari Perancis, plus ça change, plus c’est la même chose, yang artinya semakin banyak hal berubah, semakin banyak hal yang tetap sama. Perubahan memberikan kita sebuah tahap untuk berevolusi. Sebagaimana Public Relations berevolusi dari 1.0 ke 4.0.
Sejarah singkat PR dari 1.0 menuju 4.0 dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang
Public Relations modern lahir pada awal tahun 1900an, meski sejarah praktiknya sudah ada sejak abad ke-17. Penggunaan brosur dan pamflet sebagai alat publisitas kemungkinan tercatat pertama kali digunakan pada tahun 1641 untuk menarik penggalangan dana. Istilah Public Relations sendiri didokumentasikan pertama oleh presiden Amerika Thomas Jefferson pada Kongres tahun 1807. Sebelum PD I, industri PR baru mulai terlihat dan menunjukkan evolusi PR sebagai profesi resmi. Sejak saat itu PR mulai berevolusi dimulai sebagai badan publisitas, kemudian bergerak sinergis dengan badan pemasaran.
Fase PR 2.0 ditandai dengan keterbukaan akses bagi praktisi PR untuk berkomunikasi langsung dengan audiens atau pembelinya, yang mana sebelumnya harus melalui media. PR 2.0 ditandai dengan meningkatnya kesadaran untuk membangun relasi dan mengelola citra positif serta paparan merek, salah satunya melalui media daring. Hal ini sudah dapat kita lihat dengan diletakkannya divisi Humas atau Pemasaran di setiap organisasi. Tujuannya adalah agar perusahaan/organisasi dapat berkomunikasi langsung dengan audiensnya.
PR terus berkembang beradaptasi dengan zaman. Di fase 3.0, PR memusatkan objektif pada social customer relationship management (SCRM). Untuk menerapkannya, perusahaan/organisasi harus bergeser dari yang mulanya hanya transaksional menjadi maksimalisasi hubungan jangka panjang dengan konsumen. Daripada memperlakukan konsumen sebagai target pemasaran produk, perlakukan konsumen sebagai manusia seutuhnya dengan seperangkat naluri, opini, dan jiwa. Oleh karena itu, di fase 3.0, PR perusahaan/organisasi berupaya memberikan nilai tambah (added value) ke dalam praktiknya untuk membedakan karakternya dengan perusahaan lain. Maka, mereka tidak hanya menargetkan pemenuhan fungsional dan emosional, tetapi juga pemenuhan kepuasan jiwa manusia ke dalam produk dan layanannya. Sebagai tambahan, fase ini juga menciptakan strategi baru, yakni brand activism.
Fase terakhir merupakan evolusi yang sedang marak berkembang dan erat kaitannya dengan teknologi kecerdasan buatan. PR 4.0 mengembangkan konektivitas machine-to-machine dan artificial intelligence dalam rangka mendongkrak produktivitas perusahaan. Strategi ini kemungkinan akan banyak sekali kita lihat ke depannya. Kini, teknologi ini dapat kita lihat contohnya pada fitur customer service di berbagai aplikasi di telepon genggam kita. Walaupun demikian, campur tangan manusia tetap dibutuhkan untuk meningkatkan customer engagement.
Melalui berbagai fase tersebut, PR selalu dapat berevolusi dan menciptakan dobrakan ide yang baru. Jika rajin mengulik, fenomenanya pun banyak dapat kita temui di sekitar kita dan di dunia maya. Misalnya dengan brand activism yang banyak kita saksikan pada masa maraknya gerakan Black Lives Matter. Banyak jenama menunjukkan dukungannya dengan memaparkan image bertemakan selaras dengan gerakannya. Dari perspektif pemasaran, strategi ini disebut sebagai positioning. Kini, merek atau jenama didorong agar menjadi lebih sensitif terhadap isu sosial dan lingkungan—yang menjadi concern para millenial dan Gen Z saat ini. Hal ini diamplifikasi oleh hasil riset Facebook yang menyatakan bahwa pandemi membuat Gen Z menjadi lebih tertarik pada aktivisme dan kegiatan sosial.
Jadi, banyak nilai yang harus diperhatikan oleh PR atau Marketing Communication agar dapat beradaptasi dengan pandemi. Pengelolaan citra positif, pemberian nilai tambah, pemenuhan kepuasan jiwa manusia, dan pemanfaatan teknologi digital adalah fondasi yang penting. Sejarah juga dapat banyak memberi pelajaran bagi praktisi PR. Ada banyak fenomena yang dikaji dari perspektif PR dan pemasaran yang dapat dijadikan batu loncatan untuk membuat terobosan baru. Dengan kata lain riset menjadi tahap terpenting dalam perencanaan strategis kehumasan, sebagaimana ketika datang ke negara baru, perlu kita mencari tahu bahasa dan budayanya dahulu.
Referensi
Hutchinson, A. (2020, 24 Agustus). Facebook Evolving Trends Research: Glocal Community. Social Media Today. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://www.socialmediatoday.com/news/facebook-evolving-trends-research-glocal-community-infographic/583977/
Sihombing, I. (2020, 20 Mei). Industri Kecantikan Butuh Kreativitas di Tengah Pandemi Covid-19. Media Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/314825-industri-kecantikan-butuh-kreativitas-di-tengah-pandemi-covid-19
Wiranatakusumah, M. R. (2020, 24 Juli). Pandemi, Pilih Vacuum atau “Stay Connected”?. MIX Interactive. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mix.co.id/mix-interactive/column/pandemi-pilih-vacuum-atau-stay-connected/.
Penulis: Rizqy Kartini Mayasari (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)