• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • Perspektif
  • hal. 3
Arsip:

Perspektif

Media dan Budaya pada Film Pendek Tilik (Ravacana Films)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Sumber: Instagram Sutradara “Tilik” @whyagungprasetyo

Pada masa pandemi Covid-19 tren menonton film menjadi kegiatan yang digemari oleh berbagai kalangan masyarakat terutama bagi remaja, bahkan hingga menjadikannya hiburan bagi keluarga di rumah. Namun, pandemi Covid-19 ini menjadi dampak buruk bagi pelaku usaha hiburan Bioskop dan industri perfilman, pemerintah menerbitkan berbagai aturan dan larangan kegiatan hiburan yang dapat menyebabkan meningkatnya penyebaran kasus Covid-19. Tidak mau tinggal diam, industri perfilman mau tidak mau harus memutar otak bagaimana masyarakat dapat menonton film secara legal tanpa keluar rumah, menurut Kementerian Kominfo terdapat peningkatan pengunduhan film secara illegal saat pandemi walaupun pemerintah sudah menutup berbagai situs film illegal tetapi masih banyak situs serupa yang masih dapat di akses masyarakat (CNN Indonesia, 2020), dengan cara bekerjasama dengan televisi dan penyedia aplikasi layanan menonton film daring gratis ataupun berbayar (Gunawan, 2020). Di Indonesia terdapat berbagai pilihan film yang fenomenal di masyarakat, tentunya ciri khas dari film yang fenomenal di Indonesia tersebut akan menjadi tren dan menarik di masyarakat karena memperlihatkan kejadian-kejadian yang relevan dengan sosial dan budaya di masyarakat. Film pendek berjudul Tilik di pertengahan masa pandemi Covid-19 jadi buah bibir dan tren di media sosial masyarakat, film yang diperankan oleh seorang ibu-ibu desa memperlihatkan kemajuan era digital dengan adanya media sosial, dan ciri khas budaya ibu-ibu yang selalu gosip menjadi kolaborasi yang pas di kehidupan masyarakat sehari-hari. Pemanfaatan Media menjadi peran aktif terhadap penggunaan media di kehidupan sosial yang menjadikan proses komunikasi di dalamnya, menurut Blumler,  Gurevitch  dan Katz menyatakan pengguna  media  memainkan  peran  yang  aktif  dalam  memilih  dan  menggunakan  media.

 

Tilik dalam Bahasa Jawa memiliki arti Jenguk (Menjenguk/melihat orang sakit, red), film ini dibuat pada tahun 2018 oleh Ravacana Films dan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan

diproduseri oleh Elena Rosmeisara. Film Tilik merupakan film pendek lokal dari daerah Yogyakarta yang telah memperoleh berbagai penghargaan film pendek, salah satunya penghargaan pertama diperolehnya dari Piala Maya tahun 2018, dari situlah Tilik mulai diputar di berbagai acara dan festival pada tahun 2019. Tilik merupakan tradisi ibu-ibu pedesaan di Yogyakarta yang selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk salah seorang tetangganya yang sedang sakit. Dalam filmnya terlihat ciri khas budaya masyarakat desa yang selalu rombongan, rombongan tersebut menggunakan kendaraan truk colt diesel yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Mayoritas adegan film ini memperlihatkan komunikasi yang terjadi di atas truk, komunikasi antar ibu-ibu sebagai budaya sehari-hari di Indonesia terutama di daerah pedesaan yang masih kental interaksi antar warga. Tokoh Bu Tejo menjadi peran yang paling dibahas oleh warganet di media sosial karena sifat dan prilakunya yang suka membicarakan orang, Bu Tejo selalu membicarakan keburukan Dian yang merupakan seorang anak dari Bu Lurah yang ingin dijenguk, juga peran Yu Ning disini selalu disinggung tentang Dian. Namun hal itu selalu disanggah oleh Yu Ning karena informasi yang diperoleh Bu Tejo ini berasal dari media sosial seperti Facebook dan Whatsapp yang belum tentu kebenarannya, tetapi Bu Tejo tetap bertahan dengan argumennya karena menurutnya informasi dari internet (media sosial, red) tersebut sudah terdapat bukti kongkrit yaitu berupa foto.

Dalam film pendek Tilik memberikan pandangan terhadap berbagai macam budaya masyarakat di desa dengan kemajuan teknologi di era digital terhadap efek media. Rasa empati diperlihatkan saat ibu-ibu mengikuti ajakan dari pesan singkat di media sosial bahwa Bu Lurah sakit, lalu obrolan ibu-ibu yang biasanya hanya sebatas saat pergi ke pasar dan belanja kebutuhan dengan melihat langsung kejadian dan menceritakannya kembali. Namun tidak demikian, di era digital saat ini, ibu-ibu desa dapat melihat informasi darimanapun yang berasal dari media sosial, seperti Bu Tejo yang menyinggung Dian berfoto dengan pria-pria di media sosialnya. Pemanfaatan teknologi harus diimbangi dengan literasi digital, dimana masyarakat harus paham akan dampak dan pengaruhnya terhadap unggahan yang dikirimkan ataupun diterima. Menurut Little John dalam Uses and Gratification Theory menyatakan “Compared with classical effect studies, the uses and gratifications  approach takes the media consumer rather than the messages as its starting point, and explores his communication behavior in terms of his direct experience with the media. It views the member of the audience as actively utilizing media content, rather than being passively acted upon by the media. Thus, it does not assume a direct relationship between messages and  effects, but postulated instead that members of the audience put messages to use, and that such ussages act as intervening variables in the process effects.” Oleh karena itu, dalam film pendek Tilik terdapat efek yang ditimbulkan dari media terhadap budaya masyarakat desa yang tadinya hanya mengetahui informasi dari sudut pandang yang sempit, namun dengan adanya media menjadikan sudut pandang menjadi luas yang dapat memberikan efek pesan.

 

Referensi

CNN Indonesia. (2020, 23 Maret). Warga RI Dilarang Akses Situs Nonton Bioskop Ilegal Saat WFH, CNNIndonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200323172155-185-486171/warga-ri-dilarang-akses-situs-nonton-bioskop-ilegal-saat-wfh

Griffin, EM. 2003. Hal 101. A First Look At Communication Theory. London : Mcgraw-Hill.

Gunawan, A. (2020, 24 Juli). 7 Aplikasi Nonton Film Gratis Legal Terbaik, IDN Times. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.idntimes.com/tech/trend/arifgunawan/daftar-aplikasi-nonton-film-secara-legal-terbaik/5

Littlejohn SW. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

 

 

Penulis: Fa’iq Naufal Farras (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM) | faiq.naufal.f@mail.ugm.ac.id

 

 

 

Esports dan Ambiguitas Regulasi Komunikasi yang Melingkupi: Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Suasana perhelatan Piala Presiden Esports 2019 di Istora Senayan (31/3/2019). Foto oleh Rahmad Fauzan / Bisnis. Sumber: https://teknologi.bisnis.com/read/20200828/564/1284532/akhirnya-esport-bisa-dipertandingkan-di-pon

Esports atau olahraga elektronik baru saja diakui sebagai salah satu cabang olahraga prestasi oleh KONI dan Kemenpora dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KONI 2020 yang diadakan secara virtual pada 25 s/d 27 Agustus 2020 (Ilyas, 2020). Menurut UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Dengan demikian, diakuinya esports sebagai salah satu cabang olahraga prestasi merupakan pertanda bahwa esports lebih besar daripada sekadar aktivitas hura-hura dengan bermain gim. Esports seakan telah lengkap untuk menjadi sebuah sistem tersendiri.

Sebelumnya, perlu para pembaca ketahui bahwa sebelum diakui sebagai cabang olahraga, esports sendiri sudah menjadi sebuah skena yang teramat luas, kompleks nan dinamis. Di dalam skena esports, para pelaku tidak hanya berjibaku dan terjebak di dalam peran tunggal sebagai pemain gim, tetapi juga peran-peran mayor lain yang tidak kalah penting, seperti halnya caster, broadcaster, event organizer, brand ambassador, sponsor, coach, team manager, dan masih banyak lagi. Atas dasar inilah, penulis – yang juga selaku aktor dalam skena esports kampus, mengatakan bahwa diakuinya esports sebagai cabang olahraga resmi pun telah menggenapi eksistensi skena ini, untuk kemudian menjadi sesuatu yang sistemik, institusional, dan formal. 

Walau esports diakui sebagai bidang olahraga, nyatanya hakikat esports lebih dekat kepada bidang komunikasi, utamanya dalam bidang komunikasi digital. Hal ini merujuk kepada penggunaan istilah esports sendiri yang merupakan akronim dari electronic sports, yakni istilah untuk gim dengan elemen kompetitif sebagai sajian utamanya (Restika, 2018). Itulah sebabnya, maka seluruh transformasi esports yang sedemikian pesat dan masif ini, sudah saatnya benar-benar menjadi perhatian tersendiri bagi kita para pembelajar komunikasi, tak terkecuali dengan penulis sendiri.

Dari pernyataan di atas pun penulis memunculkan satu pertanyaan: Mengapa esports harus mendapat perhatian tersendiri? Jawabannya sederhana, karena esports sudah bukan lagi sebatas aktivitas memainkan gim, yang mana di dalam aktivitas ini, terjadi satu proses konsumsi konten media secara “sederhana” yang dapat dipetakan dengan mudah oleh tiap-tiap pembelajar komunikasi. Perlu kita ketahui bahwa transformasi esports – apalagi dengan sudah diakuinya sebagai cabang olahraga oleh pemerintah, akan menyebabkan proses konsumsi media dan pertukaran informasi lain yang ada di dalam skena ini menjadi lebih kompleks dan dinamis. 

Secara garis besar, menurut pengalaman pribadi penulis selaku salah satu praktisi dalam bidang esports kampus, anatomi dari skena industri esports, yakni lebih tepatnya pertandingan esports, adalah sebagai berikut.

  1. Bidang teknis esports, yakni segala hal yang berkaitan langsung dengan proses berjalannya pertandingan sekaligus menjadi elemen mayor dalam berjalannya pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan pemain, pelatih, dan wasit atau pengatur pertandingan, serta pembuat gim itu sendiri.
  2. Bidang manajerial atau non teknis, yakni segala hal yang berkaitan tidak langsung dengan proses berjalannya pertandingan, tetapi tetap berperan amat krusial terhadap keberlangsungan pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan aktor seperti pihak manajemen tim dan sponsor.
  3. Bidang media dan publikasi, yakni segala hal yang berkaitan dengan upaya penginformasian dari keberadaan pertandingan yang sedang dilangsungkan, terutama terkait eksistensi esports itu sendiri. Bidang ini erat bersinggungan dengan wartawan, broadcaster atau tim penyiar, caster atau komentator, dan brand ambassador.

Dengan melihat anatomi bidang esports di atas yang kemudian kita korelasikan dengan diakuinya esports sebagai cabang olahraga prestasi, maka kita dapat mendapatkan satu proyeksi bahwa esports adalah raksasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajar komunikasi sangat perlu untuk mengawal proses berjalannya aktivitas pertandingan esports, kaitannya dengan pertandingan esports sebagai sebuah media (tontonan) yang dikonsumsi publik secara masif. 

Bila menyandarkan pandangan kepada tiga anatomi bidang di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan lebih jauh bahwa segala regulasi yang sudah ada dan langgeng di bidang komunikasi di Indonesia, seperti halnya P3SPS, kode etik jurnalistik, kode etik humas, UU Penyiaran, dan regulasi serupa lain, agaknya belum terlalu aplikatif terhadap bidang esports yang begitu kaya dan besar ini. Dengan kata lain, esports merupakan satu kesatuan sistem yang berjalan di atas tiga bidang anatomi tersebut dan tak terpisahkan. Dengan demikian, sudah pasti bahwa tiap-tiap regulasi komunikasi yang sudah ada juga akan sulit bila diterapkan secara satu persatu dan terpisah, yakni tiap regulasi diterapkan untuk masing-masing bidang anatomi yang ada.

Pada akhirnya, perlu sekali diadakan adanya satu pengkajian khusus untuk membahas regulasi yang mengatur dan mengawal proses berjalannya esports. Hal ini mengingat bahwa selama penulis berkecimpung di dunia esports, pihak regulator esports – yang notabene merupakan komite dan pengurus besar, hanya berjibaku di seputaran aturan main bagi pemain. Para “regulator” ini masih bertindak layaknya supervisor atlet sehingga kode etik profesi yang formal dan holistik belum diterapkan kepada peran-peran lain yang tersebar di dalam tiga bidang anatomi tersebut. Bahkan, aturan main yang disematkan kepada para pemain tersebut lebih kepada aturan etis yang dikeluarkan oleh para pengembang gim terkait, dengan tujuan untuk memelihara ekosistem permainan yang kondusif. Benar-benar hanya sebatas itu, belum menyentuh ranah untuk mewujudkan satu iklim tontonan yang kondusif dan benar-benar layak untuk dikonsumsi oleh publik dengan latar belakang yang beragam.

 

Referensi

Ilyas, A. (2020, 26 Agustus). Esports Resmi Jadi Cabang Olahraga Prestasi di Indonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://akurat.co/iptek/id-1204265-read-esports-resmi-jadi-cabang-olahraga-prestasi-di-indonesia

Restika, R. (2018, 29 Mei). Apa Itu Esports? Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://esportsnesia.com/penting/apa-itu-esports/.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

 

Penulis: Abyzan Syahadin Bagja Dahana (Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi UGM dan Inisiator UGM Esports Community) | abyzan.syahadin.b.d@mail.ugm.ac.id

123

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Juni 2025
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  
« Mei    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY