Menonton film merupakan kegiatan yang menyenangkan untuk anak-anak. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sebuah film dapat memberikan gejolak emosi bagi mereka. Tak jarang kemudian anak-anak dibuat terpukau dan terinspirasi oleh perilaku tokoh di dalam film tersebut. Ada yang berimajinasi menjadi tokoh pahlawan super, peri dan kurcaci, atau seorang kesatria dan putri kerajaan.
Berbicara mengenai film anak-anak tentu tidak bisa lepas dari eksistensi Disney. Perusahaan konglomerat asal Amerika ini menghasilkan banyak film untuk anak-anak sejak didirikan pada 16 Oktober 1923. Namun dalam perkembangannya, film-film garapan Disney sering mendapat kritik karena adanya stereotip terhadap gender dan budaya di dalamnya.
Manstead dan Hewstone (dikutip oleh Murdianto, 2018) dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology, mendefinisikan stereotip sebagai: …societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups and their members. Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial.
Karakter Disney biasanya dikutip dalam literatur psikologi sosial sebagai bukti stereotip yang dikenal sebagai “apa yang indah itu baik” (Dion, Berscheid, & Walster, 1972). Sebagai contoh, Eagly, Ashmore, Makhijani, dan Longo (1991) mengusulkan bahwa contoh stereotip tercermin dalam buku anak-anak dan televisi di mana pangeran heroik dan putri berbudi luhur itu menarik, tetapi penyihir jahat dan raksasa jahat itu jelek. Lebih khusus lagi, Myers (2002) menegaskan, “Anak-anak mempelajari stereotip cukup dini. Putri Salju dan Cinderella itu cantik dan baik hati. Penyihir dan saudara tirinya jelek dan jahat.” (Bazzini D. dkk, 2010)
Penggambaran yang begitu jelas mengenai perbedaan sifat ini menjadi salah satu stereotip yang meresahkan. Anak-anak akan terbiasa mengaitkan orang jahat dengan buruk rupa dan orang baik dengan kecantikan. Padahal sebenarnya rupa seseorang tidak dapat dijadikan tolak ukur sifat asli orang tersebut. Untuk mengetahui sifat orang lain, tentu seseorang harus memulai interaksi antara satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang anak membuka diri jika mereka sudah terlebih dahulu memberikan stereotip tertentu terhadap orang lain?
Selain stereotip terhadap penampilan, stereotip lain yang juga dominan dalam industri perfilman Disney adalah stereotip terhadap karakter perempuan. Dilansir dari bbc.com, Gray (2019) mengatakan bahwa karakter wanita seperti Snow White, Sleeping Beauty dan Cinderella digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya beres-beres dan butuh diselamatkan oleh laki-laki. Hal ini menjadi salah satu bentuk penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam mengatasi permasalahannya sendiri.
Stereotip ini sempat dipatahkan dengan diluncurkannya film Brave pada tahun 2012 yang menjadi hasil kerjasama Walt Disney dan Pixar Animation Studios. Dalam film tersebut tokoh utama diceritakan sebagai seorang putri yang memiliki karakter bebas dan kuat. Sayangnya, ketidakberdayaan perempuan muncul kembali di saat Merida—sang tokoh utama—terpaksa menjalani perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya.
Hal ini terjadi pula pada karakter Ariel di The Little Mermaid, Putri Jasmine di Aladdin, dan Pocahontas. Ketiganya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk bebas dan melepaskan diri dari tradisi yang menjerat mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya tetap saja tokoh laki-laki dalam film tersebut berperan jauh lebih dominan. Bahkan para putri ini dibuat rela melakukan apapun untuk sang tokoh lelaki.
Berbeda dengan serial Disney Princess lainnya, kisah Mulan digambarkan dengan lebih sedikit porsi stereotip di dalamnya. Walaupun begitu, tetap ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa stereotip tersebut tidak benar-benar hilang. Jaber dalam artikelnya Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan, mengatakan pendapatnya tentang film Mulan: …the film makes great strides in the corporation’s portrayal of the typical Disney princess and sends a message of female empowerment, individuality, and independence to its audience. Film ini membuat langkah besar dalam penggambaran perusahaan tentang putri Disney yang khas dan mengirimkan pesan tentang pemberdayaan, individualitas, dan kemandirian wanita kepada pemirsanya.
Kisah tentang Mulan berasal dari sebuah puisi berjudul The Ballad of Mulan (Ode of Mulan). Asia for Educators (n.d.) menjelaskan bahwa puisi ini disusun pada abad kelima atau keenam M. Dalam kisah Disney, Mulan diceritakan sebagai seorang perempuan yang pergi ke kemah pelatihan untuk bertarung menggantikan ayahnya yang sakit. Mulan terpaksa menyembunyikan identitas aslinya sebagai perempuan dan menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Ping (Hua Jun dalam versi live action 2020). Ia pergi secara diam-diam dari rumah dengan kuda, pedang, serta baju zirah milik ayahnya.
Selama berada di kemah pelatihan, Mulan diceritakan mengalami banyak kesulitan. Fisiknya yang digambarkan lebih kecil dibanding rekan-rekannya membuat ia harus berusaha lebih keras dalam berlatih bela diri. Ia juga diceritakan sering terjatuh saat angkat beban karena ia tidak sekuat rekannya yang lain. Penggambaran kelemahan Mulan ini kembali menunjukkan stereotip terhadap ketidakberdayaan perempuan dalam serial Disney.
Namun, di sisi lain, keberhasilan Mulan dalam menghadapi rintangan-rintangan ini justru menjadi salah satu perombak stereotip tersebut. Keberhasilannya menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya memiliki peluang yang sama selama mereka berusaha. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa Mulan adalah sosok yang membuat pasukannya memenangkan pertarungan dengan kaum Hun.
Dibanding versi kartunnya di tahun 1998, versi live action yang dirilis pada Maret 2020 ini lebih berfokus untuk menunjukkan kekuatan perempuan. Sosok Mulan dalam versi baru diceritakan memiliki kemampuan chi yang luar biasa yang memudahkannya selama pelatihan. Mulan tidak lagi diceritakan kesulitan dalam latihan bela diri ataupun sering terjatuh saat angkat beban. Bahkan terdapat salah satu adegan bertarung antara Mulan dan Honghui yang semakin menunjukkan kekuatan chi yang Mulan miliki. Dalam versi ini juga tidak terdapat adegan ketika penyamaran Mulan terungkap, justru Mulan sendirilah yang mengakui dirinya perempuan di hadapan komandan dan rekan-rekannya.
Walaupun stereotip terhadap perempuan dalam film Mulan belum sepenuhnya hilang, cerita ini membawa gebrakan baru bagi industri perfilman. Penghapusan stereotip terhadap suatu kelompok dalam cerita, terutama cerita yang dibuat untuk anak-anak, akan menguatkan karakter para penontonnya. Terlebih lagi, karakter yang dibentuk saat anak-anak akan menjadi karakter yang dominan ketika dewasa nanti. Dengan adanya penghapusan ini, mereka tidak akan lagi menilai orang dari tampilan luarnya saja melainkan mulai mencoba mengenali orang tersebut. Selain itu, kesetaraan gender di dalam masyarakat juga akan semakin dihormati karena karakter kuat yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Referensi
Asia for Educators. n.d. “THE BALLAD OF MULAN (ODE OF MULAN)”. http://afe.easia.columbia.edu/ps/china/mulan.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 10.08 WIB.
Bazzini, D., Curtin, L., Joslin, S., Regan, S., & Martz, D. (2010). Do Animated Disney Characters Portray and Promote the Beauty-Goodness Stereotype? Journal of Applied Social Psychology, 40(10), 2687–2709. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2010.00676.x
Gray, R. 2019. Bagaimana Film-Film Disney Membentuk Cara Pandang Penontonnya. Diunggah pada 3 Oktober 2019. Terarsip pada https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-49908186
Jaber, H. Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan. Terarsip pada https://heatherjay.wordpress.com/ml-4-dissecting-stereotypes-disneys-mulan/. Diakses 15 Oktober 2020 pukul 08.38 WIB.
Murdianto. 2018. Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia), Vol. 10, No. 2, halaman 141.
Penulis: Charisma | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020