• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • 2020
  • hal. 3
Arsip:

2020

Woke Hollywood: Membaca Fenomena “Woke Culture” di Dunia Film Amerika Serikat

Perspektif Rabu, 30 September 2020

zz

Sumber: IndieWire.com

Jika anda merupakan seorang penggemar franchise Star Wars, pasti tak asing dengan kontroversi film Star Wars: The Last Jedi (2017) dan Star Wars: The Rise of Skywalker (2019) yang dianggap memiliki agenda politik terselubung terutama untuk menyebarkan propaganda feminis radikal (Sammons, 2018). Tidak hanya masalah feminis, Disney sebagai perusahaan yang turut terlibat dalam penulisan dan produksi 3 film terakhir Star Wars, juga mengedepankan inklusivitas dalam film ini, dengan misalnya menghadirkan karakter Rose Tico sebagai representasi masyarakat Asia, atau Finn sebagai representasi Afrika-Amerika. Walaupun di sisi lain plot dan penggambaran karakter dari masing-masing tokoh ini justru dianggap “melecehkan” bagi beberapa pihak (Daubney, 2017).  

Tragedi yang menimpa film franchise terlaris di dunia ini, diyakini oleh penggemar sebagai dampak dari budaya the woke (Firdaus, 2020) yang sedang tren di industri hiburan Hollywood. Tidak hanya Star Wars, beberapa film Hollywood terutama film-film yang merupakan remake, spin-off, atau sequel dari film klasik juga tak ketinggalan ikut ‘mencoba’ woke culture dengan gaya masing-masing.

Misalnya, Ocean’s 8 (2019) yang merupakan “spin-off” dari Ocean’s Eleven (2001), memilih untuk membentuk kelompok penjahat perempuan sebagai generasi penerus Ocean’s Eleven yang sebelumnya hanya beranggotakan laki-laki (Kozak, 2019).

Tidak hanya film klasik, seri orisinil Netflix The Kissing Booth 2 (2020) juga tak ketinggalan mencoba tren ini. Setelah sebelumnya mendapat banyak kritikan karena dianggap “kurang inklusif”, The Kissing Booth 2 (2020) menambahkan plot cerita romantis siswa gay yang sayangnya tak berdampak apapun pada plot utama (McLaughlin, 2020) selain digunakan untuk menunjukkan bahwa kini sutradara dan penulis The Kissing Booth 2 (2020) menyadari bahwa heteroseksual bukan satu-satunya orientasi seksual yang ada di bumi.

Istilah the woke atau woke culture ini kemudian menjadi popular setelah Todd Philips (sutradara film Joker (2019)) menyindir para social-justice warrior sebagai penghalang terbesar bagi sutradara film komedi untuk membuat film bertema komedi di era saat ini (Erbland, 2019). The woke atau yang sering disebut sebagai woke culture sendiri merupakan istilah slang yang diambil dari bahasa Afrika untuk term the awaken progresif. Istilah ini juga biasa ditujukkan untuk mengidentifikasi salah satu ciri khas dari kelompok Social Justice Warior (SJW) atau pejuang keadilan sosial (Firdaus, 2020). 

Selama lebih dari 200 tahun, eksistensi film dalam industri media hiburan, tak lagi sekedar dianggap sebagai media komunikasi yang mewadahi imajinasi penulis dan sutradara semata. Di era kemudahan akses informasi seiring dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia, film dapat menjadi alat yang berguna bagi pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan political stand, ideologi, dan propaganda tertentu. Misalnya seperti yang dilakukan oleh sutradara film BlacKkKlansman (2018) dan Do the Right Thing (1989), Spike Lee. Melalui film-film buatannya ia memainkan peran ganda sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan keadilan masyarakat ras kulit hitam dan juga sutradara yang memiliki integritas sehingga menyadari betul betapa pentingnya menyelaraskan kepentingan politik dan kekuatan storytelling sebagai penyampaian pesan aktivisme yang sesungguhnya (Urbain, 2018).

Kemunculan isu agenda politik dan tindakan aktivisme berkembang menjadi isu sensitif dan kemudian diangkat ke diskusi publik sejalan dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan forum daring para pecinta film. Di YouTube sendiri, saat ini tren video esai kritik film pun mulai menjamur bahkan sampai menyentuh ranah ilmu pengetahuan spesifik seperti fenomena kritik sosial film Parasite (2019) yang banyak dianalisis melalui perspektif ilmu sosiologi. 

Tujuan untuk membangkitkan kesadaran akan inklusivitas dan melawan streotip kemudian menimbulkan rasa jengkel ketika film seolah “hanya” dibuat untuk kepentingan agenda semata. Alih-alih membentuk cerita yang mampu membawa pesan untuk membangkitkan kesadaran dan melawan ketidakadilan, woke culture dunia film era sekarang justru membawa “bumbu” inklusivitas dan agenda politik atau political correctness sebagai strategi pemasaran.

John Semley (2017) dalam artikelnya menyebutkan, bahwa masalah film-film yang sarat akan woke culture saat ini adalah rasa bangga mereka dalam menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran tentang isu-isu sosial tertentu seperti minoritas dan feminisme. Karakter yang dibuat untuk kepentingan alur cerita pun tak lagi menjadi prioritas, selama bentuk fisik dari aktor atau aktris yang memerankan suatu tokoh dirasa cukup untuk merepresentasikan suatu kelompok masyarakat yang relevan dengan isu sosial yang berkembang, maka kualitas cerita tak lagi menjadi masalah (Semley, 2017).

Semley juga menjelaskan bahwa film di era woke culture saat ini justru mengurangi nilai dari aktivisme dan tujuan representasi sebenarnya dalam film:

“Kita menjadi begitu puas diri dalam menghargai tanda-tanda seni yang baik, terjaga, mulia, dan liberal sehingga kita berisiko membutakan diri kita sendiri terhadap realitas ketidakadilan sosial dan politik yang terus berubah. Alih-alih terlibat, kita bisa menonton film seperti The Shape of Water, merasa cukup sadar, dan salah mengira perasaan itu sebenarnya sedang bertunangan. Alih-alih gelisah, bangun dengan ketakutan, kita kembali tidur nyenyak, dan memimpikan mimpi terbangun.” (Semley, 2017)

Sebagai media komunikasi massa, film memikul tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Di era arus informasi saat ini, media massa membuat pikiran masyarakat jauh lebih ideologis. Mereka tidak membiarkan orang memiliki persepsi mereka sendiri tentang dunia, melainkan membuat publik memahami apa yang mereka pikirkan (Jowett & Linton, 2010). Dibandingkan media massa lainnya, film dapat dikatakan sebagai media penyampaian pesan yang paling kuat dan memiliki pengaruh baik kepada masyarakat sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial (Symeou, Bantimaroudis, dan Zyglidopoulos, 2013). Pembentukan persepsi publik ini, sejalan dengan salah satu misi dari film sebagai media massa seperti yang disebutkan dalam teori agenda setting media (McCombs, 2004). 

Namun alih-alih menjalankan misi agenda setting, woke culture atau “wokeness” dalam film masa kini, lebih enak dipandang dari sudut pandang komunikasi pemasaran. Sebagai fenomena yang muncul di era media sosial, kesadaran akan inklusivitas dan isu-isu sosial kini menjadi nilai jual yang mumpuni (Shaw, 2020). 

Film-film dengan esensi “woke culture” tidak terlalu menggunakan alur cerita sebagai “senjata” promosi. Cukup dengan mengunggah poster film ke media sosial atau platform online lainnya dan menyebutkan ada representasi kelompok atau isu sosial apa yang diangkat dalam film tersebut, calon penonton diharapkan untuk merespon karya mereka dengan positif tanpa harus menghiraukan kualitas cerita (Clair, Fox, dan Bezek, 2009). Kritik yang ditujukkan untuk film tersebut pun sekarang bisa dianggap sebagai pendapat yang menyerang kelompok tertentu, tanpa pula harus memikirkan apakah kritik tersebut bisa diterima logika atau tidak.

 

Referensi

Clair, R. P., Fox, R., & Bezek, J. L. (2009). Viewing Film from a Communication Perspective: Film as Public Relations, Product Placement, and Rhetorical Advocacy in the College Classroom. Communication and Theater Association of Minnesota Journal, 70-87.

Daimond, J. (2020, February 10). The Failure of the Woke Movie Remake Industry. Retrieved August 27, 2020, from The Burkean: https://www.theburkean.co.uk/the-failure-of-the-woke-movie-remake-industry/

Daubney, M. (2017, December 27). Liberal identity politics has ruined Star Wars for the fanboys. Retrieved August 27, 2020, from Telegraph: telegraph.co.uk/men/thinking-man/liberal-identity-politics-has-ruined-star-wars-fanboys/

Erbland, K. (2019, October 1). Todd Phillips Left Comedy to Make ‘Joker’ Because ‘Woke Culture’ Ruined the Genre. Retrieved August 27, 2020, from IndieWire: https://www.indiewire.com/2019/10/todd-phillips-left-comedy-joker-woke-culture-1202177886/

Firdaus, A. (2020). SJW, Horseshoe Theory dan the Woke Culture. Retrieved August 27, 2020, from AMF Life: https://ahmadmfirdaus.com/2019/10/15/sjw-horseshoe-theory-dan-the-woke-culture/

Francis, N. (2020, January 10). WHY IS VIDEO SUCH A POWERFUL COMMUNICATIONS TOOL? Retrieved August 27, 2020, from Casual Films: https://www.casualfilms.com/blog/emotional-power-of-video#:~:text=One%20hundred%20years%20on%2C%20film,emotion%20in%20a%20dispersed%20audience.&text=It’s%20when%20it’s%20combined%20with,communication%20tool%20available%20to%20humanity.

Jowett, G., & Linton, J. M. (2010). Movies as Mass Communication. Michigan: SAGE Publication.

Kozak, O. E. (2019, May 22). Hollywood’s Gender-Swapped Remakes/Reboots of the Late 2010s. Retrieved August 27, 2020, from Paste: https://www.pastemagazine.com/movies/gender-swap/hollywoods-gender-swapped-remakesreboots-of-the-20/

McCombs, M. (2004). Setting the agenda: The mass media and public. Cambridge, UK: Blackwell Pub.

McCombs, M. E. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. The Public Opinion Quarterly, Vol. 36, No. 2, 176-187.

McLaughlin, K. (2020, July 28). The Kissing Booth 2’s Gay Subplot Is a Frustrating Example of Performative Activism. Retrieved from Pop Sugar: https://www.popsugar.com/entertainment/why-kissing-booth-2-gay-subplot-is-problematic-47643859

Salmon, C. (2020, January 16). Does anyone outside of Twitter really care about films being woke? Retrieved August 27, 2020, from Dazed: https://www.dazeddigital.com/film-tv/article/47484/1/does-anyone-outside-of-twitter-really-care-about-films-being-woke

Sammons, T. (2018, March 11). Kathleen Kennedy Is Ruining Star Wars With Her Feminist Agenda. Retrieved August 27, 2020, from Odyssey: theodysseyonline.com/kathleen-kennedy-ruining-star-wars-feminist-agenda

Semley, J. (2017, December 5). The problem with ‘The Shape of Water’ and other ‘woke’ films. Retrieved August 27, 2020, from Maclean’s: https://www.macleans.ca/opinion/the-problem-with-woke-cinema/

Shaw, L. (2020, July 13). Hollywood Decides Being Woke Is Good for Business. For Now. Retrieved August 27, 2020, from Bloomberg: https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2020-07-12/hollywood-decides-being-woke-is-good-for-business-for-now

Symeou, P., Bantimaroudis, P., & Zyglidopoulos, S. (2013). Cultural Agenda Setting and the Role of Critics: An Empirical Examination in the Market for Art-house Films. In S. Zyglidopoulos, Cambridge Judge Business School Working Papers (pp. 3-7). Cambridge: Cambridge Judge Business School, University of Cambridge.

Urbain, T. (2018, May 14). Spike Lee’s signature: Entertainment, activism, rage. Retrieved August 27, 2020, from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/life/2018/05/14/spike-lees-signature-entertainment-activism-rage.html

 

Penulis: Nadia Utama (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2016)

Masa Pandemi Jadi Momentum Pembuktian Kreativitas Pelaku Industri Periklanan (Studi Kasus pada Iklan IM3 Ooredoo)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama tahun 2020 ini telah mengubah tatanan kehidupan manusia di semua bidang, termasuk dalam hal pemasaran dan periklanan. Para pelaku industri tersebut dituntut untuk dapat beradaptasi dengan cepat dan harus bisa lebih kreatif dalam menentukan langkah-langkah ketika akan melakukan pemasaran suatu produk atau brand. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana kemampuan mayoritas brand multinasional dan perusahaan besar di Indonesia yang dapat cepat dan tanggap dalam beradaptasi dengan keadaan. Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh kasus pada brand IM3 Ooredoo yang dapat dikatakan aktif melakukan pemasaran selama pandemi ini.

Pembahasan tentang pemasaran yang telah dilakukan IM3 Ooredoo akan dikerucutkan pada satu waktu saja, yaitu pada bulan Ramadan. Bulan Ramadan tahun ini terasa berbeda, adanya himbauan #dirumahaja, social distancing, hingga larangan mudik. Akan tetapi, kita tau bahwa pada saat yang sama, iklan bertebara dimana-mana, ada di TV, Youtube, billboard, dan berbagai media lainnya. Menyikapi momen bulan Ramadan dan lebaran, IM3 Ooredoo ingin mengambil momen ini dengan berusaha untuk menginspirasi dan memberi semangat kepada para pengguna produk mereka karena saat ini, banyak orang yang sedang “jatuh” secara finansial, fisik, dan juga mental (IM3 Ooredoo, 2020).

Alhasil, mereka pun memproduksi sebuah iklan berjudul “Silaturahmi Setiap Hari” dan diunggah pada lama Youtube IM3 Ooredoo. Sejak 17 April 2020, video tersebut telah dinikmati dan disaksikan oleh 92,5 juta orang (IM3 Ooredoo, 2020). Dari sini, kita perlu mempertanyakan perihal sebab mengapa iklan yang ditayangkan pada masa pandemi ini bisa mencapai jumlah views sebanyak itu. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, berbagai brand lain juga melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang membuat IM3 Ooredoo dapat mendapatkan jumlah views tersebut di masa yang penuh keterbatasan dan tak tentu ini.

Dalam hal ini, kemampuan konsep dan kreativitas adalah salah satu solusi menghadapi keterbatasan yang disebabkan oleh pandemi dan kondisi dimana semua hal harus dilaksanakan secara “online”. IM3 Ooredoo sebagai salah satu brand provider yang sangat dibutuhkan pada masa pandemi ini kaitannya dalam penyediaan jaringan internet berusaha untuk salah satunya yaitu menguatkan brand awareness mereka. Menurut Durianto (2001) brand awareness merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen brand lainnya. Jadi apabila kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa kepercayaan terhadap mereknya juga rendah (Durianto, 2001). Lalu apa yang mereka lakukan? 

Dalam Behind the Scene-nya dikatakan bahwa mereka berusaha untuk menghadirkan salah satu esensi dari bulan Ramadan yaitu silaturahmi. Akan tetapi, adanya pandemi membuat semuanya harus dijalani dengan cara yang berbeda. Menggandeng beberapa musisi untuk mengisi lagu pengiring, iklan yang menceritakan tentang bagaimana kondisi silaturahmi pada masa pandemi ini dapat mengena di hati para penonton. Mengutip beberapa komentar di unggahan video klip lirik salah satu musisinya, dikatakan bahwa,

“Tumben dengerin lagu iklan sampai segini gininya.. ❤️”

“Lagu ini Bakal mengingatkan kita kalo kita pernah ada di masa2 ngga nyaman”

“Gatau lagi harus nangis atau gimana.. semenjak karantina udah gak bisa ketemu ibu.. cuma bisa vcall, telpon sambil nangis.. aku gak takut bu meski di karantina disini.. aku cuma takut saat terakhir ku ga ketemu kalian.. kaka sayang ibu sama adek”, (Hindia, 2020).

Dari beberapa komentar ini terdapat semacam pola yang sama, yaitu bahwa iklan ini memiliki kedekatan emosional yang kuat. Dalam iklan, penggunaan kedekatan emosional termasuk ke dalam salah satu daya tarik iklan. Menurut (Clow & Baack, 2001) penggunaan kedekatan emosional dalam iklan dan pemasaran didasarkan atas tiga pemikiran. Diantaranya adalah konsumen memiliki kecenderungan mengabaikan hampir semua iklan, pemasaran secara langsung biasanya cenderung kurang diperhatikan kecuali jika memang sedang dibutuhkan konsumen, dan iklan dengan daya tarik emosional dapat lebih menarik perhatian audiens serta dapat membangun kedekatan antara konsumen dan brand (Clow & Baack, 2001).

Tidak hanya pada konsepnya saja, kreativitas mereka pun diuji pada hal proses produksi. Dengan kondisi yang tidak biasa, mereka dituntut untuk mencoba hal baru. Bagaimana? yaitu dengan proses perekaman bergilir dengan set kamera yang sama. Dengan talent yang merupakan kru mereka sendiri, proses produksi dilakukan di rumah masing-masing. Secara bergantian, mereka dipinjamkan satu set kamera untuk melakukan rekaman sendiri di rumah, begitupula dengan proses pembuatan lagu pengiring yang juga dilakukan individu di rumah masing-masing. Seluruh koordinasi yang dilakukan dalam proses produksi pun juga dilakukan secara online (IM3 Ooredoo, 2020).

Melihat contoh kasus yang dialami IM3 Ooredoo, masa pandemi sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghambat dan jadi “kambing hitam”. Hal ini juga dapat dikuatkan dengan banyaknya iklan suatu brand yang mendapatkan jumlah views puluhan juta saat masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah iklan Go-Pay “Pevita Ditembak, JoTa Bertindak” (37 juta views), Telkomsel “Terus Jalankan Kebaikan” (19 juta views), hingga iklan terbaru IM3 Ooredoo berjudul “#TeruskanPerjuanganmu untuk Tetap Merdeka” yang sudah mendapatkan 67 juta views hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Kondisi seperti ini malah seakan menjadi ajang kompetisi bagi semua brand untuk menunjukkan segala kemampuan konsep dan kreativitas mereka sehingga juga bisa menjadi pembuktian bahwa mereka akan selalu siap untuk memberikan solusi yang tepat dan dapat beradaptasi dalam kondisi apapun.

 

Referensi

Clow, K.E., & Baack, D. (2001). Integrated Advertising, Promotion, and Marketing Communications. Upper Saddle River, N.J: Pearson Education, Inc.

Durianto. (2001). Strategi Menaklukan Pasar melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hindia. (2020, April). Hindia – Ramai Sepi Bersama (Official Lyric Video) [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=tVj5jUW4LvI

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk

IM3 Ooredoo. (2020, April). Silaturahmi Setiap Hari [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=dxDkK2nr2k4

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk 

 

Penulis: Khairi Muhammad Zuhdi (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2018) 

Media dan Budaya pada Film Pendek Tilik (Ravacana Films)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Sumber: Instagram Sutradara “Tilik” @whyagungprasetyo

Pada masa pandemi Covid-19 tren menonton film menjadi kegiatan yang digemari oleh berbagai kalangan masyarakat terutama bagi remaja, bahkan hingga menjadikannya hiburan bagi keluarga di rumah. Namun, pandemi Covid-19 ini menjadi dampak buruk bagi pelaku usaha hiburan Bioskop dan industri perfilman, pemerintah menerbitkan berbagai aturan dan larangan kegiatan hiburan yang dapat menyebabkan meningkatnya penyebaran kasus Covid-19. Tidak mau tinggal diam, industri perfilman mau tidak mau harus memutar otak bagaimana masyarakat dapat menonton film secara legal tanpa keluar rumah, menurut Kementerian Kominfo terdapat peningkatan pengunduhan film secara illegal saat pandemi walaupun pemerintah sudah menutup berbagai situs film illegal tetapi masih banyak situs serupa yang masih dapat di akses masyarakat (CNN Indonesia, 2020), dengan cara bekerjasama dengan televisi dan penyedia aplikasi layanan menonton film daring gratis ataupun berbayar (Gunawan, 2020). Di Indonesia terdapat berbagai pilihan film yang fenomenal di masyarakat, tentunya ciri khas dari film yang fenomenal di Indonesia tersebut akan menjadi tren dan menarik di masyarakat karena memperlihatkan kejadian-kejadian yang relevan dengan sosial dan budaya di masyarakat. Film pendek berjudul Tilik di pertengahan masa pandemi Covid-19 jadi buah bibir dan tren di media sosial masyarakat, film yang diperankan oleh seorang ibu-ibu desa memperlihatkan kemajuan era digital dengan adanya media sosial, dan ciri khas budaya ibu-ibu yang selalu gosip menjadi kolaborasi yang pas di kehidupan masyarakat sehari-hari. Pemanfaatan Media menjadi peran aktif terhadap penggunaan media di kehidupan sosial yang menjadikan proses komunikasi di dalamnya, menurut Blumler,  Gurevitch  dan Katz menyatakan pengguna  media  memainkan  peran  yang  aktif  dalam  memilih  dan  menggunakan  media.

 

Tilik dalam Bahasa Jawa memiliki arti Jenguk (Menjenguk/melihat orang sakit, red), film ini dibuat pada tahun 2018 oleh Ravacana Films dan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan

diproduseri oleh Elena Rosmeisara. Film Tilik merupakan film pendek lokal dari daerah Yogyakarta yang telah memperoleh berbagai penghargaan film pendek, salah satunya penghargaan pertama diperolehnya dari Piala Maya tahun 2018, dari situlah Tilik mulai diputar di berbagai acara dan festival pada tahun 2019. Tilik merupakan tradisi ibu-ibu pedesaan di Yogyakarta yang selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk salah seorang tetangganya yang sedang sakit. Dalam filmnya terlihat ciri khas budaya masyarakat desa yang selalu rombongan, rombongan tersebut menggunakan kendaraan truk colt diesel yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Mayoritas adegan film ini memperlihatkan komunikasi yang terjadi di atas truk, komunikasi antar ibu-ibu sebagai budaya sehari-hari di Indonesia terutama di daerah pedesaan yang masih kental interaksi antar warga. Tokoh Bu Tejo menjadi peran yang paling dibahas oleh warganet di media sosial karena sifat dan prilakunya yang suka membicarakan orang, Bu Tejo selalu membicarakan keburukan Dian yang merupakan seorang anak dari Bu Lurah yang ingin dijenguk, juga peran Yu Ning disini selalu disinggung tentang Dian. Namun hal itu selalu disanggah oleh Yu Ning karena informasi yang diperoleh Bu Tejo ini berasal dari media sosial seperti Facebook dan Whatsapp yang belum tentu kebenarannya, tetapi Bu Tejo tetap bertahan dengan argumennya karena menurutnya informasi dari internet (media sosial, red) tersebut sudah terdapat bukti kongkrit yaitu berupa foto.

Dalam film pendek Tilik memberikan pandangan terhadap berbagai macam budaya masyarakat di desa dengan kemajuan teknologi di era digital terhadap efek media. Rasa empati diperlihatkan saat ibu-ibu mengikuti ajakan dari pesan singkat di media sosial bahwa Bu Lurah sakit, lalu obrolan ibu-ibu yang biasanya hanya sebatas saat pergi ke pasar dan belanja kebutuhan dengan melihat langsung kejadian dan menceritakannya kembali. Namun tidak demikian, di era digital saat ini, ibu-ibu desa dapat melihat informasi darimanapun yang berasal dari media sosial, seperti Bu Tejo yang menyinggung Dian berfoto dengan pria-pria di media sosialnya. Pemanfaatan teknologi harus diimbangi dengan literasi digital, dimana masyarakat harus paham akan dampak dan pengaruhnya terhadap unggahan yang dikirimkan ataupun diterima. Menurut Little John dalam Uses and Gratification Theory menyatakan “Compared with classical effect studies, the uses and gratifications  approach takes the media consumer rather than the messages as its starting point, and explores his communication behavior in terms of his direct experience with the media. It views the member of the audience as actively utilizing media content, rather than being passively acted upon by the media. Thus, it does not assume a direct relationship between messages and  effects, but postulated instead that members of the audience put messages to use, and that such ussages act as intervening variables in the process effects.” Oleh karena itu, dalam film pendek Tilik terdapat efek yang ditimbulkan dari media terhadap budaya masyarakat desa yang tadinya hanya mengetahui informasi dari sudut pandang yang sempit, namun dengan adanya media menjadikan sudut pandang menjadi luas yang dapat memberikan efek pesan.

 

Referensi

CNN Indonesia. (2020, 23 Maret). Warga RI Dilarang Akses Situs Nonton Bioskop Ilegal Saat WFH, CNNIndonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200323172155-185-486171/warga-ri-dilarang-akses-situs-nonton-bioskop-ilegal-saat-wfh

Griffin, EM. 2003. Hal 101. A First Look At Communication Theory. London : Mcgraw-Hill.

Gunawan, A. (2020, 24 Juli). 7 Aplikasi Nonton Film Gratis Legal Terbaik, IDN Times. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://www.idntimes.com/tech/trend/arifgunawan/daftar-aplikasi-nonton-film-secara-legal-terbaik/5

Littlejohn SW. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

 

 

Penulis: Fa’iq Naufal Farras (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM) | faiq.naufal.f@mail.ugm.ac.id

 

 

 

Esports dan Ambiguitas Regulasi Komunikasi yang Melingkupi: Bagaimana Kita Harus Menyikapi?

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Suasana perhelatan Piala Presiden Esports 2019 di Istora Senayan (31/3/2019). Foto oleh Rahmad Fauzan / Bisnis. Sumber: https://teknologi.bisnis.com/read/20200828/564/1284532/akhirnya-esport-bisa-dipertandingkan-di-pon

Esports atau olahraga elektronik baru saja diakui sebagai salah satu cabang olahraga prestasi oleh KONI dan Kemenpora dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KONI 2020 yang diadakan secara virtual pada 25 s/d 27 Agustus 2020 (Ilyas, 2020). Menurut UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, olahraga prestasi adalah olahraga yang membina dan mengembangkan olahragawan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan melalui kompetisi untuk mencapai prestasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Dengan demikian, diakuinya esports sebagai salah satu cabang olahraga prestasi merupakan pertanda bahwa esports lebih besar daripada sekadar aktivitas hura-hura dengan bermain gim. Esports seakan telah lengkap untuk menjadi sebuah sistem tersendiri.

Sebelumnya, perlu para pembaca ketahui bahwa sebelum diakui sebagai cabang olahraga, esports sendiri sudah menjadi sebuah skena yang teramat luas, kompleks nan dinamis. Di dalam skena esports, para pelaku tidak hanya berjibaku dan terjebak di dalam peran tunggal sebagai pemain gim, tetapi juga peran-peran mayor lain yang tidak kalah penting, seperti halnya caster, broadcaster, event organizer, brand ambassador, sponsor, coach, team manager, dan masih banyak lagi. Atas dasar inilah, penulis – yang juga selaku aktor dalam skena esports kampus, mengatakan bahwa diakuinya esports sebagai cabang olahraga resmi pun telah menggenapi eksistensi skena ini, untuk kemudian menjadi sesuatu yang sistemik, institusional, dan formal. 

Walau esports diakui sebagai bidang olahraga, nyatanya hakikat esports lebih dekat kepada bidang komunikasi, utamanya dalam bidang komunikasi digital. Hal ini merujuk kepada penggunaan istilah esports sendiri yang merupakan akronim dari electronic sports, yakni istilah untuk gim dengan elemen kompetitif sebagai sajian utamanya (Restika, 2018). Itulah sebabnya, maka seluruh transformasi esports yang sedemikian pesat dan masif ini, sudah saatnya benar-benar menjadi perhatian tersendiri bagi kita para pembelajar komunikasi, tak terkecuali dengan penulis sendiri.

Dari pernyataan di atas pun penulis memunculkan satu pertanyaan: Mengapa esports harus mendapat perhatian tersendiri? Jawabannya sederhana, karena esports sudah bukan lagi sebatas aktivitas memainkan gim, yang mana di dalam aktivitas ini, terjadi satu proses konsumsi konten media secara “sederhana” yang dapat dipetakan dengan mudah oleh tiap-tiap pembelajar komunikasi. Perlu kita ketahui bahwa transformasi esports – apalagi dengan sudah diakuinya sebagai cabang olahraga oleh pemerintah, akan menyebabkan proses konsumsi media dan pertukaran informasi lain yang ada di dalam skena ini menjadi lebih kompleks dan dinamis. 

Secara garis besar, menurut pengalaman pribadi penulis selaku salah satu praktisi dalam bidang esports kampus, anatomi dari skena industri esports, yakni lebih tepatnya pertandingan esports, adalah sebagai berikut.

  1. Bidang teknis esports, yakni segala hal yang berkaitan langsung dengan proses berjalannya pertandingan sekaligus menjadi elemen mayor dalam berjalannya pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan pemain, pelatih, dan wasit atau pengatur pertandingan, serta pembuat gim itu sendiri.
  2. Bidang manajerial atau non teknis, yakni segala hal yang berkaitan tidak langsung dengan proses berjalannya pertandingan, tetapi tetap berperan amat krusial terhadap keberlangsungan pertandingan esports. Bidang ini erat bersinggungan dengan aktor seperti pihak manajemen tim dan sponsor.
  3. Bidang media dan publikasi, yakni segala hal yang berkaitan dengan upaya penginformasian dari keberadaan pertandingan yang sedang dilangsungkan, terutama terkait eksistensi esports itu sendiri. Bidang ini erat bersinggungan dengan wartawan, broadcaster atau tim penyiar, caster atau komentator, dan brand ambassador.

Dengan melihat anatomi bidang esports di atas yang kemudian kita korelasikan dengan diakuinya esports sebagai cabang olahraga prestasi, maka kita dapat mendapatkan satu proyeksi bahwa esports adalah raksasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajar komunikasi sangat perlu untuk mengawal proses berjalannya aktivitas pertandingan esports, kaitannya dengan pertandingan esports sebagai sebuah media (tontonan) yang dikonsumsi publik secara masif. 

Bila menyandarkan pandangan kepada tiga anatomi bidang di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan lebih jauh bahwa segala regulasi yang sudah ada dan langgeng di bidang komunikasi di Indonesia, seperti halnya P3SPS, kode etik jurnalistik, kode etik humas, UU Penyiaran, dan regulasi serupa lain, agaknya belum terlalu aplikatif terhadap bidang esports yang begitu kaya dan besar ini. Dengan kata lain, esports merupakan satu kesatuan sistem yang berjalan di atas tiga bidang anatomi tersebut dan tak terpisahkan. Dengan demikian, sudah pasti bahwa tiap-tiap regulasi komunikasi yang sudah ada juga akan sulit bila diterapkan secara satu persatu dan terpisah, yakni tiap regulasi diterapkan untuk masing-masing bidang anatomi yang ada.

Pada akhirnya, perlu sekali diadakan adanya satu pengkajian khusus untuk membahas regulasi yang mengatur dan mengawal proses berjalannya esports. Hal ini mengingat bahwa selama penulis berkecimpung di dunia esports, pihak regulator esports – yang notabene merupakan komite dan pengurus besar, hanya berjibaku di seputaran aturan main bagi pemain. Para “regulator” ini masih bertindak layaknya supervisor atlet sehingga kode etik profesi yang formal dan holistik belum diterapkan kepada peran-peran lain yang tersebar di dalam tiga bidang anatomi tersebut. Bahkan, aturan main yang disematkan kepada para pemain tersebut lebih kepada aturan etis yang dikeluarkan oleh para pengembang gim terkait, dengan tujuan untuk memelihara ekosistem permainan yang kondusif. Benar-benar hanya sebatas itu, belum menyentuh ranah untuk mewujudkan satu iklim tontonan yang kondusif dan benar-benar layak untuk dikonsumsi oleh publik dengan latar belakang yang beragam.

 

Referensi

Ilyas, A. (2020, 26 Agustus). Esports Resmi Jadi Cabang Olahraga Prestasi di Indonesia. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://akurat.co/iptek/id-1204265-read-esports-resmi-jadi-cabang-olahraga-prestasi-di-indonesia

Restika, R. (2018, 29 Mei). Apa Itu Esports? Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://esportsnesia.com/penting/apa-itu-esports/.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.

 

Penulis: Abyzan Syahadin Bagja Dahana (Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi UGM dan Inisiator UGM Esports Community) | abyzan.syahadin.b.d@mail.ugm.ac.id

Ngopi #5 – Opini Masyarakat dan Komunikasi Krisis dalam Pandemi Corona

Agenda Kamis, 10 September 2020

Apa kabar, #SobatDikom?

Yuk, Ngopi lagi! ☕

Kali ini, kita bakal ngobrolin tentang “Opini Masyarakat dan Komunikasi Krisis dalam Pandemi Corona” bareng narasumber kita:
• R. Kristiawan (Advisor International Media Support, Denmark)
• Nur Imroatus S. (Indonesia Indicator)
• Wisnu Martha Adipura (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM)

dan dimoderatori oleh:
• Wisnu Prasetyo Utomo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM)

Catat tanggal dan waktunya ya:
🗓️ Jumat, 17 Juli 2020
⏰ 15.00-17.00

Kita bakal Ngopi via:
• Zoom
Registrasi dulu di ugm.id/NGOPI5

• Live YouTube di channel Departemen Ilmu Komunikasi UGM

Sampai ketemu besok Jumat, Sobat Dikom! 👋👋👋

#DikomUGM
#FisipolUGM
#UGM

SERIAL DISKUSI FISIPOL UGM – Penanganan Krisis Covid-19: Komunikasi Publik Masa Krisis Covid-19

Agenda Kamis, 10 September 2020

Halo, sobat Dikom!

 

Dalam Serial Diskusi Penanganan Covid-19 yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, dosen Dikom turut hadir dalam sesi bertajuk “Komunikasi Publik Masa Krisis Covid-19”, yang menghadirkan sebagai pembicara:

  • Dr. Hermin Indah W.
  • Kuskridho Ambardi

 

dengan moderator:

  • Azifah R. Astrina, M.A/Dr. Randy Nandyatama/Gilang Desti Parahita, M.A

 

Diskusi ini akan diselenggarakan pada hari Selasa, 7 April 2020 jam 10.00 – 11.30 WIB.

Link diskusi Zoom: ugm.id/serialdiskusi3

Meeting number: 580 504 435

Password: serialdiskusi3

 

Jangan lewatkan ya, sobat Dikom. Sampai jumpa!

Ngopi #4 – Pandemi, Penguatan Kelembagaan, dan Pengembangan Inovasi Daring Pasar Rakyat

Agenda Kamis, 10 September 2020

Apa kabar, Sobat Dikom?

Yuk, kita Ngopi bersama lagi dengan Program Studi Sarjana Ilmu Komunikasi UGM dalam topik “Pandemi, Penguatan Kelembagaan, dan Pengembangan Inovasi Daring Rakyat.”

Topik akan dibawakan oleh:
• Dr. Hempri Suyatna, S.Sos, M.Si. (Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM))
• Rindu Sanubari Mashita Firdaus, S.I.P., M.Sc. (Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)
• Acniah Damayanti, S.I.P., M.Sc. (Dosen Ilmu Komunikasi UGM)

dan dimoderatori oleh:
• Dr. Rajiyem, S.I.P., M.Sc. (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM)

Acara dapat diikuti pada Minggu, 5 Juli 2020 pukul 09.00-11.00 WIB melalui:

~ Webex
Dengan registrasi terlebih dahulu melalui http://ugm.id/NGOPI4 (tersedia di Bio), lalu link akan dikirimkan melalui email.

~Facebook Live
Melalui kanal Departemen Ilmu Komunikasi UGM

Sampai jumpa, sobat Dikom!

Ngopi #3 – Perempuan, Pilkada 2020, dan Hoaks

Agenda Kamis, 10 September 2020

Halo sobat Dikom,

 

Yuk, kita Ngopi bersama lagi! Kali ini bersama Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM dalam topik “Perempuan, Pilkada 2020, dan Hoaks.”

 

Dalam diskusi ini akan dipetakan berbagai potensi dan tantangan yang dimiliki perempuan menjelang Pilkada 2020, dalam konteks kualitas informasi, khususnya misinformasi dan ujaran kebencian.

 

Topik akan dibawakan oleh:

  • Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. (Anggota Ombudsman RI)
  • Anita Wahid (Presidium Mafindo)
  • Novi Kurnia, Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi UGM)

 

dan dimoderatori oleh:

  • Engelbertus Wendratama, M.A. (Peneliti PR2Media)

 

Acara secara langsung dapat diikuti pada Minggu, 28 Juni 2020 pukul 09.00-11.00 WIB melalui:

~ Zoom

http://ugm.id/Ngopi3UGM

Password: Ngopi#3

 

~YouTube

http://ugm.id/NgopiDikomUGM

 

Sampai jumpa, sobat Dikom!

Ngopi #2 – Publik dalam Pusaran Epidemi Covid-19 Refleksi Komunikasi Publik dalam Kelindan Politik

Agenda Kamis, 10 September 2020

Halo sobat Dikom,

 

Ngopi lagi yuk di minggu pagi ini,

 

Kali ini kita ngobrolin “Publik dalam Pusaran Epidemi Covid-19: Refleksi Komunikasi Publik dalam Kelindan Politik” dengan prof Sutaryo (guru besar dr FKKMK UGM), mas Heroe Poerwadi (wawali Yogya), mas Sulhan (Ketua Aspikom/Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UGM), juga mbak Hermin (Sekprodi Prodi S3 Komunikasi UGM).

 

Pagi ini Ngopi spesial karena kami juga akan me-launching Program Doktoral Ilmu Komunikasi UGM yang dibuka oleh Dekan Fisipol UGM, mas Prof Erwan Agus Purwanto. Selain itu ada tamu spesial, loh, yaitu bapak Heroe Purwadi, Wakil Walikota Yogyakarta.

 

Jangan lupa ya Minggu, 21 Juni jam 9 pagi ini via Zoom

  • Meeting ID: 890 9959 9727
  • Password: 393271

 

Acara ini juga berlangsung secara live di Youtube http://ugm.id/NgopiDikomUGM yang juga sudah mengunggah acara Ngopi 1 dengan tema ‘Disrupsi Informasi dan Pandemi Jelang Pilkada 2020” yang dilangsungkan minggu lalu oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM.

 

Sampai jumpa, sobat Dikom!

 

Ngopi #1 – Disrupsi Informasi dan Pandemi Jelang Pilkada 2020

Agenda Kamis, 10 September 2020

Halo, sobat Dikom!

 

Dalam rangka mengisi masa karantina kita dengan kegiatan yang berfaedah, Departemen Ilmu Komunikasi mempersembahkan program Ngobrol Pagi alias Ngopi.

 

Ngopi pertama ini mengangkat topik “Disrupsi Informasi dan Pandemi Jelang Pilkada 2020” dan akan menampilkan sebagai pembicara:

  • Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni (Dosen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM)
  • Dr. Sri Nuryanti, M.A. (Peneliti LIPI, Pengurus Pusat AIPI)

 

serta akan dipandu oleh moderator:

  • Novi Kurnia, Ph.D (Kaprodi S2 Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM)

 

Catat tanggalnya ya, 14 Juni 2020 jam 09.00 – 11.00 WIB

 

Live via Zoom

Meeting ID: 891 3624 9200

Password: 993091

atau melalui tautan ugm.id/ngopiugm

 

Sobat Dikom bisa langsung bergabung tanpa melakukan registrasi terlebih dahulu.

 

Sampai jumpa!

1234

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Mei 2025
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  
« Apr    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY