Yogyakarta, 13 Agustus 2024 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) melalui Program Studi S1 Departemen Ilmu Komunikasi telah menyelenggarakan acara “Ramah Tamah Mahasiswa Baru dan Pemaparan Kurikulum” pada hari Rabu, 7 Agustus 2024, pukul 15.30 hingga 17.00 WIB. Acara yang diadakan di Seminar Timur, FISIPOL UGM ini merupakan rangkaian kegiatan dalam menyambut dimulainya perkuliahan Semester Gasal Tahun Akademik 2024/2025.
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman terkait kurikulum yang akan ditempuh oleh mahasiswa baru Program Studi Ilmu Komunikasi selama menjalani pendidikan S1, serta sebagai wadah bagi mahasiswa baru untuk berinteraksi dan berkenalan dengan dosen, tenaga kependidikan, serta sesama mahasiswa. Sebanyak 26 dosen, 16 tenaga kependidikan, dan 126 mahasiswa baru juga diundang untuk hadir dalam acara tersebut.
Rangkaian acara dimulai dengan perkenalan dari seluruh dosen yang hadir, di mana masing-masing dosen membagikan kutipan inspiratif. Dr. Widodo Agus Setianto, M.Si., yang lebih dikenal sebagai Mas Wid, menyampaikan bahwa untuk meninggalkan kesan yang mendalam, seseorang perlu menjadi pendengar yang baik, bersikap ramah dan autentik, memberikan dukungan kepada sesama, konsisten dalam membangun jaringan pertemanan, serta mempertahankan sikap positif.
Selanjutnya, mahasiswa reguler S1 Departemen Ilmu Komunikasi diperkenalkan dengan fasilitas laboratorium yang ada. Fasilitas laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi meliputi ruang DECODE, ruang green screen, dan ruang komputer. Adapun peta kurikulum 2024 terbagi menjadi empat tahap, yakni tahun pertama yang fokus pada pondasi ilmu komunikasi, tahun kedua yang mencakup berbagai arena dan spesialisasi bidang komunikasi, tahun ketiga yang menitikberatkan pada praktik komunikasi di tengah masyarakat, serta tahun keempat yang didedikasikan untuk tugas akhir.
Struktur kurikulum mencakup total 144 SKS, dengan semester 1 dan 2 masing-masing berisi 20 SKS, sementara semester 3 hingga 7 memuat 24 SKS per semesternya. Mata kuliah yang ditawarkan meliputi mata kuliah yang diselenggarakan oleh fakultas dan mata kuliah khusus departemen. Pada semester 4, mahasiswa S1 Departemen Ilmu Komunikasi dapat memilih mata kuliah pilihan, dan pada semester 5, mereka memiliki opsi untuk mengambil mata kuliah lintas departemen maupun fakultas. Selain itu, pada semester 6, mahasiswa dapat memilih program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) baik internal maupun eksternal. Terakhir, pada semester 7, mahasiswa diarahkan untuk fokus pada skripsi, Kuliah Kerja Nyata (KKN), seminar proposal, serta MBKM eksternal.
Selain pemaparan kurikulum, sosialisasi kali ini juga mencakup penjelasan mengenai penilaian hasil belajar yang disampaikan oleh dosen. Penilaian ini meliputi akumulasi nilai ujian, partisipasi aktif di kelas, tugas, serta aspek kedisiplinan dan integritas akademik. Penentuan bobot untuk setiap komponen penilaian diserahkan kepada dosen pengampu mata kuliah masing-masing. Hasil akhir mahasiswa akan dinyatakan dalam bentuk nilai huruf dan angka. Wisnu Martha Adiputra, yang dikenal dengan sapaan Mas Wisnu, menutup sosialisasi dengan menyampaikan ajakan, “Mari belajar dan bertualang bersama di DIKOM.”
Penulis: Anathalia Meyskina Pangestu
Berita
Yogyakarta, 12 Agustus 2024 – PIONIR Society 2024 merupakan kegiatan resmi orientasi tingkat fakultas bagi mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada. Kata “Society” dalam PIONIR Society 2024 adalah akronim dari “Social Politics in Epic Community”, yang mencerminkan lingkungan FISIPOL. Selain itu, penggunaan kata “Society” didasarkan pada istilah bahasa Inggris yang berarti “masyarakat”. Melalui penamaan ini, mahasiswa baru diharapkan dapat memahami nilai-nilai FISIPOL sebagai bagian dari masyarakat dan memiliki tanggung jawab untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Tujuan utama dari program PIONIR Society 2024 adalah untuk memperkenalkan kondisi lingkungan sosial dan politik kontemporer kepada mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada. Melalui serangkaian kegiatan yang telah dirancang, para mahasiswa baru akan dihadapkan pada simulasi sederhana terkait esensi peran mahasiswa dalam konteks sosial kemasyarakatan.
PIONIR Society 2024 mengusung tema besar “Lentera Aurora: Kolaborasi Rona Melukis Karsa”. Tema ini merupakan interpretasi dari sinergi antara Gamada dan PIONIR Society 2024. Kata “lentera” mencerminkan bagaimana PIONIR Society 2024 berperan sebagai media yang bertujuan untuk memberikan penyambutan secara hangat dan antusias kepada Gamada. Sementara itu, Gamada sendiri digambarkan sebagai “aurora” yang membawa cahaya dan keindahan melalui interaksi serta kesatuan mereka di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada.
Selain itu, tagline “Kolaborasi Rona, Melukis Karsa” dalam tema PIONIR Society 2024 menggambarkan Gamada sebagai warna-warna yang saling berkolaborasi untuk terus mengembangkan karya dan potensi diri selama menjalani dunia perkuliahan, serta untuk menciptakan daya dorong bagi Gamada untuk terus berkarya dan mengeksplorasi berbagai hal yang dapat mengembangkan potensi diri mereka selama menjalani dunia perkuliahan. Hal ini sejalan dengan nilai adaptif yang diharapkan, yaitu agar Gamada mampu beradaptasi dengan lingkungan baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada melalui PIONIR Society 2024.
Pada hari pertama pelaksanaan PIONIR Society 2024, dihadiri pula Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., M.P.A., serta Koordinator Umum PIONIR Society 2024, Hazel Haikal, bersama jajaran dekanat, pengurus departemen, dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mereka telah menemani lebih dari 500 Gamada dalam menjalani rangkaian acara PIONIR Society 2024.
Setelah serangkaian kegiatan dilaksanakan pada hari pertama dan kedua, para Gamada juga telah dibekali dengan berbagai wawasan melalui beragam kegiatan. Pihak penyelenggara mengapresiasi antusiasme Gamada yang telah mengikuti sesi pembukaan, Gelar Wicara, dan berbagai kegiatan lainnya hingga Aksi. Rangkaian acara PIONIR Society 2024 akan dilanjutkan dengan agenda penutup, yaitu Inaugurasi, yang merupakan kegiatan puncak dalam menyambut secara resmi Gamada sebagai bagian dari keluarga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada.
Penulis: Anathalia Meyskina Pangestu
Yogyakarta 29 November 2023
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan kembali “2nd Graduate Student Symposium on Communication” (GSSC) 2023. Acara yang diselenggarakan di University Club (UC) Hotel UGM ini mengusung tema, yaitu “Building Sustainable Trust in Disruptive Communication Sphere”.
Disrupsi teknologi, perkembangan media digital, ditambah dengan situasi pasca pandemi Covid-19 membawa perubahan signifikan di ruang publik kita. Tidak hanya pada ruang berinteraksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, namun juga pada bagaimana kepercayaan antar berbagai entitas di dalam ruang komunikasi yang terdisrupsi. Melalui latar belakang tersebut, GSSC 2023 bermaksud menjadi ruang yang mempertemukan banyak pemikiran dan diseminasi ilmu pengetahuan mengenai “trust” dan keberlanjutannya pada ruang komunikasi yang bertransformasi.
Prof. Jack Qiu Linchan dari Wee Kim Wee School of Communication and Information, Nanyang Technological University, sebagai pembicara kunci dalam simposium ini menguraikan tentang bagaimana membangun kepercayaan melalui dekolonialisasi yang bergerak di pasar teknologi serta refleksi pada transisi tersebut. Jack Qiu menyampaikan, “Teknologi memberikan tantangan baru, tetapi juga peluang untuk membangun kepercayaan dalam era komunikasi yang penuh dengan dinamika. Sustainable trust harus selaras dengan bisnis yang berkelanjutan dan lingkungan yang berkelanjutan.
Komunikasi, Dr. Rajiyem, M.Si.
Sementara itu, Indri D. Saptaningrum, PhD, Staf Ahli Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, membahas peran penting kebijakan dan regulasi media dalam membentuk kepercayaan yang berkelanjutan di Indonesia. Melalui sudut pandang pengambil kebijakan, ia menyampaikan dinamika yang terjadi dalam kerangka regulasi untuk mengatasi kompleksitas ranah komunikasi digital di Indonesia yang telah bertransformasi karena perkembangan teknologi dan bagaimana regulasi menjadi jembatan untuk membangun kepercayaan di antara berbagai pemangku kepentingan.
Tantangan atas lingkungan komunikasi digital yang telah terdisrupsi juga menjadi perhatian Dr. Dian Arymami, staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Menggunakan judul “Reassembling Trust in The Digital Era”, Dr. Dian Arymami menjelaskan bagaimana membangun kembali kepercayaan di era digital di tengah perubahan di sisi teknologi maupun masyarakat.Ia juga menyinggung bahwa masalah kepercayaan tidak terletak pada teknologinya, melainkan pada budayanya.
Perubahan lanskap komunikasi dan kondisi paradoksal atas kepercayaan ini turut pula disinggung oleh Janoe Arijanto, Ketua Asosiasi Periklanan Indonesia sekaligus Vice President Dentsu Indonesia. Melalui pemaparannya, Janoe Arianto menguraikan bahwa, “Di dunia piksel dan data, kepercayaan yang tulus adalah hubungan yang paling manusiawi.” Oleh karenanya, ia merekomendasikan lima poin yang perlu dilakukan oleh ekosistem dan korporasi yaitu membangun kepercayaan melalui value, peran dari social engagement, kebutuhan atas transparansi, regulasi, dan edukasi kepada user.
Secara lebih lanjut, pembahasan mengenai trust dan sustainability ini dibahas melalui sesi diskusi paralel yang dihelat di hari pertama dan hari kedua simposium. Melalui sesi paralel ini para pembelajar dan pengkaji komunikasi saling berbagi gagasan untuk menyikapi kondisi kepercayaan dan perkembangan digital media di Indonesia. GSSC 2023 menyediakan 10 sesi paralel yang mengurai beragam judul terkait manajemen komunikasi, media dan kajian budaya, serta media dan komunikasi digital. Sesi ini tidak hanya menjadi forum bagi akademisi, peneliti, dan praktisi komunikasi di Indonesia untuk saling berbagi gagasan maupun hasil penelitiannya terkait kepercayaan di ruang digital, namun menjadi ruang untuk mencari solusi bagi ekosistem digital di Indonesia yang lebih baik.
–SELESAI–
Yogyakarta, 5 Oktober 2023 – Pada November lalu, pemerintah resmi melakukan proses Analog Switch Off (ASO), yaitu migrasi siaran dari sistem siaran analog menuju sistem siaran digital secara bertahap. Menyikapi hal tersebut, Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM berkolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Membangun Ekosistem Penyiaran Digital Pasca ASO” pada Kamis (5/10) secara luring di Fisipol UGM. FGD ini merupakan langkah awal untuk membangun diskusi dan kajian ilmiah sebagai basis dari peta jalan atau roadmap mengenai penyiaran digital. “Kita akan membawa roadmap ini menjadi suatu kerja sama kita, dari aspek inisiasi hingga implementasi,” ujar Amin Shabana, Komisioner KPI Pusat. Untuk memperkaya diskusi, hadir berbagai pihak terkait seperti kalangan akademisi, pelaku industri penyiaran televisi, pemerintah dan instansi terkait, pemerhati media, hingga mahasiswa sebagai peserta FGD.
Digitalisasi penyiaran memiliki berbagai dampak, salah satunya adalah semakin meningkatnya kualitas gambar serta audio yang disiarkan. Namun, arti penting ASO lebih dari itu. “ASO bukan hanya persoalan pengalihan teknologi, tetapi juga mencakup hak-hak masyarakat. Hak dalam mendapat kesempatan berkarya dan peluang ekonomi serta kesempatan mendapat konten siaran yg lebih baik,” tukas Astri Kusuma Mayasari, Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ketika memberi sambutan.
Menyambung perkataan Astri, Gilang Desti Parahita, Dosen Dikom selaku moderator FGD, menambahkan bahwa persoalan ASO juga harus dilihat dari sisi konsumen. Persoalan tersebut meliputi ketersediaan konten, aksesibilitas bagi masyarakat Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), serta keterjangkauan dari segi pembiayaan. Selain itu, regulasi juga menjadi aspek persoalan ASO yang penting untuk dibahas dalam FGD. Namun, untuk mengawali sesi pertama dari FGD, Gilang meminta para peserta FGD untuk merefleksikan mengenai dampak yang diberi oleh ASO.
Mario Antonius Birowo, Dosen Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang telah lama terlibat dalam kajian dan diskusi mengenai demokratisasi penyiaran melihat ASO sebagai lembaran baru. Menurutnya, demokratisasi penyiaran serta aspek lokalitas yang menjadi cita-cita dari Undang-undang Penyiaran hingga saat ini belum terwujudkan. Dirinya berharap bahwa aspek lokalitas serta keberagaman konten dan kepemilikan dapat muncul dalam sistem baru ini.
Dari sisi pelaku industri penyiaran televisi, Satriya Dewi, Direktur Utama Jogja TV, berpendapat bahwa ASO sudah sangat terlambat dilakukan mengingat masyarakat Indonesia sudah terpenetrasi Internet sejak lama. Dirinya juga mengaku bahwa tidak banyak perubahan yang dibawa oleh ASO, hanya dalam aspek teknologi saja. “Kami menemukan bahwa pengeluaran kami tambah besar dari biaya sewa perangkat multiplexing (MUX) sebesar 30 juta per bulannya,” jelas Dewi.
Indonesia Masih Butuh Data Mengenai Viewership
Bagi I Gustri Ngurah Putra, Dosen Dikom UGM, aspek penting mengenai digitalisasi sistem penyiaran berkaitan erat dengan pasar. Penting untuk mengetahui kecenderungan serta pola masyarakat dalam mengkonsumsi siaran televisi. Namun, dirinya menyayangkan tidak adanya lembaga Indonesia yang memiliki data tersebut. Saat ini, industri penyiaran televisi di Indonesia masih merujuk pada lembaga Nielsen, sebuah perusahaan multinasional yang mengukur rating televisi. “Bagaimana nantinya apabila kita sudah repot-repot membuat peta jalan, tetapi pasarnya tidak ada?” tanya Ngurah. Pertanyaan Ngurah semakin relevan ketika perwakilan Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO), Muhammad Nadif Fajar Ramadhan, mengatakan bahwa mayoritas anak muda, termasuk dirinya. sudah jarang sekali mengkonsumsi televisi.
Satriya Dewi, menyetujui pendapat Ngurah terkait perlunya data mengenai viewership. “KPI perlu memiliki lembaga seperti Nielsen yang memiliki data mengenai penonton dan pola menonton. Apabila KPI mau melihat mengenai bagaimana potensi daerah itu keluar di media, maka harus melihat ke arah sana. Perlu juga meneliti soal kesesuaian program-program TV di daerah, ” tukas Dewi.
Aspek Regulasi Penyiaran Perlu Jadi Perhatian
Kehadiran ASO yang menumbuhkan banyak lembaga penyiaran baru serta peningkatan kualitas gambar serta audio harus dibarengi dengan peningkatan kualitas konten agar berdampak positif. Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan dari sisi regulasi. Berbicara mengenai topik tersebut, Ana Nadhya Abrar, Guru Besar Dikom UGM, mengatakan bahwa regulasi yang mengatur mengenai penyiaran, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, sudah sangat usang.
Sejalan dengan pendapat Abrar, Dewi Nurhasanah, Ketua KPID DIY, menegaskan bahwa Revisi Undang-undang Penyiaran harus didorong agar segera disahkan. “Kita tidak bisa membendung perkembangan teknologi. Oleh karena itu, regulasinya harus menyesuaikan,” tukas Dewi. Meskipun wewenang KPI hanya sebatas mendorong, Dewi menyampaikan bahwa masih terdapat peluang melalui revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang belum diatur, misalnya mengenai pengawasan yang kini harus lebih tersegmentasi akibat program televisi yang juga tersegmentasi.
Mengenai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menjadi landasan pelaksanaan ASO, Abrar memiliki berbagai tanggapan. “Nanti akan ada kemudahan dalam mengurus izin penyiaran. Saya tidak tahu persis seperti apa kemudahan yang akan diberikan, tetapi saya mengira tidak akan sulit untuk memperoleh izin,” tukas Abrar. Selain itu, pihak asing juga dapat masuk ke Indonesia untuk mengurus media penyiaran. Menurutnya, kedua hal tersebut akan secara terbuka mengarahkan industri penyiaran pada persaingan bebas. Dirinya mempertanyakan kesiapan pelaku industri penyiaran televisi dalam menghadapi hal tersebut.
Penulis: Septania Rizki Mahisi
Yogyakarta, 26 September 2023 – Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Senja Yustitia pada Selasa (26/9) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Sebelumnya, Senja sudah menamatkan jenjang sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Negeri Veteran Yogyakarta dan jenjang magister pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Hadir dalam sidang tersebut sebagai ketua sidang yaitu Wawan Mas’udi, Dekan FISIPOL UGM, bersama jajaran Guru Besar serta Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM; Nunung Prajarto selaku Promotor; Budi Irawanto selaku Ko-Promotor; Rahayu, Nyarwi Ahmad, dan Hermin Indah Wahyuni selaku Penilai; serta Wisnu Martha dan Rajiem selaku penguji sidang.
Dalam sidang terbuka, Senja mempertahankan disertasinya yang berjudul “Sistem Komunikasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Studi Pembingkaian Isu HAM Sipil Politik pada Kompas dan Koran Tempo dalam Perspektif Sistem Komunikasi Tahun 1998 – 2019”. Melalui pengamatannya, Senja menemukan bahwa terdapat ruang kosong yang tidak pernah diisi oleh media mengenai isu HAM. Terlebih, dalam iklim media yang mementingkan aspek-aspek sensasional, kontroversial, dan viralitas, ada kecenderungan untuk mereduksi isu HAM menjadi setting atau latar peristiwa semata dalam media. Padahal, realitas yang ditampilkan oleh media merupakan salah satu cara yang digunakan oleh publik untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Senja berpendapat bahwa kultur Indonesia yang tidak memberikan ruang diskusi bebas untuk berbicara mengenai isu HAM merupakan kondisi yang cukup berbahaya. Kultur tersebut turut memengaruhi wacana media mengenai isu HAM “Wacana yang muncul mengetengahkan bahwa HAM itu harus diimbangi dengan tanggung jawab, toleransi, dan harmonisasi. Padahal, wacana tersebut membuat orang yang kritis, secara tidak langsung, menjadi terpolarisasi,” ungkap Senja. Menyikapi hal tersebut, Senja berpendapat bahwa media seharusnya dapat memberi wacana yang lebih berimbang.
Wacana media yang berimbang akan menghidupkan suatu isu sehingga menjadi hal penting dalam kehidupan publik. Ketika hal tersebut terjadi, publik akan merasakan adanya kebutuhan akan informasi mengenai isu tersebut. Kemudian, hal tersebut secara tidak langsung akan menjadi tuntutan bagi media untuk memenuhi kebutuhan informasi. “Itulah sebetulnya fungsi dari media. Ruang kritis itu yang seharusnya dihidupkan kembali. Bukan hanya wacana harmonis tanpa ada diskusi lanjutan,” kata Senja.
Disertasi Senja menjelaskan bahwa iklim Indonesia mengenai perkembangan isu HAM sedang tidak baik-baik saja. “Ya, Indonesia tengah mengalami entropi terhadap komunikasi tentang HAM,” tegas Senja ketika ditanya oleh Hermin mengenai kondisi komunikasi HAM di Indonesia. Dalam salah satu temuannya, Senja menjelaskan bahwa terdapat keusangan mengenai isu HAM di Indonesia. Sebagai contoh, HAM kerap dibingkai oleh media sebagai salah satu agenda reformasi. Bingkai tersebut tentunya tidak lagi relevan dengan masyarakat Indonesia yang kini didominasi oleh kaum muda dan tidak mengalami era Reformasi. Kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami stagnasi terkait perkembangan isu HAM di media.
Apabila situasi tidak berubah, Indonesia akan terus mengalami stagnasi hingga seterusnya. Ketika stagnasi tersebut terjadi, artinya tidak ada keragaman bingkai dan kompleksitas makna dalam menyampaikan isu HAM. Hal tersebut akan membuat publik merasa bahwa tidak ada suatu kebaruan mengenai isu HAM. Maka, publik tidak akan merasa membutuhkan informasi baru sehingga tidak muncul kegelisahan. Padahal, media seharusnya memiliki kemampuan untuk menciptakan iritabilitas dan kegelisahan dalam publik.
Lebih lanjut, Senja juga berbicara soal dua media yang menjadi subjek disertasinya, yaitu Koran Tempo dan Kompas. Kecenderungan media dalam memberitakan isu HAM tidak lepas dari nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sejak media tersebut lahir. Dengan menggunakan teori sistem, Senja dapat menarik kesimpulan mengenai dua nilai yang secara umum terinternalisasi dalam media, terutama Kompas, yaitu nilai keIndonesiaan dan kemanusiaan. Nilai keindonesiaan yang menekankan pada aspek kesatuan dan keharmonisan justru melimitasi ruang gerak Kompas untuk menyampaikan isu HAM secara lebih “nakal” dan radikal.
Media masih memiliki PR besar dalam menyampaikan isu-isu HAM. Senja mengakui bahwa tidak mudah mengkonstruksikan isu HAM dalam media. Terlebih, situasi dan kultur sosial politik di Indonesia tidak mendukung munculnya wacana-wacana HAM yang lebih bervariasi. Oleh karenanya, diperlukan adanya diskursus lebih lanjut mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi media. Disertasi ini diharapkan dapat menjadi benchmark dan memberi perspektif baru mengenai sistem media.
Penulis: Septania Rizki Mahisi
Yogyakarta, 19 September 2023 – Tahun ini, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada berkesempatan menjadi tuan rumah dalam rangkaian acara Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang ke-68. Untuk membuka rangkaian acara tersebut, diselenggarakan Pidato dan Seminar Pembukaan bertajuk “Pemilih Cerdas untuk Pemimpin Indonesia Masa Depan”. Acara tersebut diselenggarakan secara luring pada Selasa (19/9) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Hadir sebagai pembicara dalam sesi talkshow yaitu Rizal Mallarangeng, Founder Freedom Institute; Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit & Media Kernels Indonesia; serta Hermin Indah Wahyuni, Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM) Universitas Gadjah Mada dan dimoderatori oleh Nyarwi Ahmad, Dosen DIKOM UGM.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, masyarakat sebagai pemilih memiliki peran yang penting karena merekalah yang menjadi penentu dalam pemilu. Para pembicara setuju bahwa kecerdasan pemilih merupakan hal yang mutlak. Terlebih, sebentar lagi kita akan disambut dengan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 nanti.
Menurut Hermin, terdapat beberapa hal penting yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemilih cerdas. Pertama, informasi. Informasi merupakan hal yang sentral dalam pemilu karena ekosistemnya dapat menentukan kualitas pemilu. “Saat ini, yang terjadi dalam ekosistem informasi kita adalah misinformation dan missed information,” jelas Hermin. Misinformation merujuk pada konotasi intensional, sedangkan missed information merupakan informasi yang tidak sengaja terlewat. Lebih lanjut, Hermin juga menjelaskan bahwa di tengah-tengah keriuhan informasi yang ada saat ini, terjadi pula too many resonance sekaligus too little resonance. “Ada hal-hal penting yang seharusnya beresonansi, tetapi tidak kita respons,” tambah Hermin.
Kedua, rasionalitas. Setelah hiruk-pikuk dalam ekosistem informasi, kita membutuhkan adanya rasionalitas. Bagi Hermin, pemilih cerdas adalah pemilih yang memahami makna dari memilih. Namun, tidak cukup sampai disitu saja, kita juga harus mengaktivasi keagensian yang kita miliki. “Setiap dari kita adalah agen, tetapi tidak setiap dari kita memutuskan untuk datang dan memilih yang kira-kira paling tepat,” ungkap Hermin. Lebih lanjut, kita juga harus memiliki rasionalitas akan alasan memilih calon tertentu. Hal tersebut berarti para pemilih membutuhkan kecerdasan dalam mengkontekskan hal esensial yang dibutuhkan negara ini.
Lantas, bagaimana kita dapat menjaga rasionalitas publik? Hermin merujuk pada filsuf asal Jerman, Jurgen Habermas, bahwa salah satu cara untuk menjaga rasionalitas adalah dengan menata ulang kembali struktur komunikasi publik yang ada. “Saat ini terjadi reduksi refeodalisasi public sphere, apa betul media sosial merupakan ciri public sphere yang sehat?” kata Hermin. Menurut Habermas, yang merusak struktur komunikasi publik adalah kapitalisme yang digerakkan oleh pasar dan opini publik yang dimanipulasi dan rekayasa sosial yang makin masif melalui media baru. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya fenomena-fenomena buzzer serta influencer yang muncul dengan semakin berkembangnya media baru. “Mari kita jaga komunikasi publik, karena dengan (komunikasi publik) yang robust dan kuat, kita bisa berdiskusi dengan lincah mengenai apa yang kita butuhkan tanpa intervensi-intervensi,” tegas Hermin.
Selain informasi dan rasionalitas, dua hal yang juga penting untuk dipertimbangkan yaitu teknologi digital dan literasi digital.
Penulis: Septania Rizki Mahisi
Yogyakarta, 13 September 2023 – Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mendatangkan Dr. Camilo Sol Inti Soler Caicedo sebagai dosen tamu dalam kelas bertajuk “Storytelling in the Age of Media Convergence”. Camilo sendiri merupakan dosen yang fokus pada budaya, media, dan industri kreatif di King’s College London sekaligus seorang antropolog dan penari. Kelas tersebut diselenggarakan pada Rabu (13/9) secara luring di FISIPOL UGM dan dipandu oleh Gilang Desti Parahita, Dosen DIKOM UGM.
Saat membuka kelas, Camilo memperlihatkan sebuah video berisi kumpulan bentuk, seperti lingkaran dan segitiga serta beberapa garis, yang saling bergerak tanpa pola yang beraturan. Dari video sederhana tersebut, muncul berbagai interpretasi di benak para peserta kelas. “Luar biasa bagaimana kita bisa menebak apa yang terjadi hanya dengan melihat beberapa garis bergerak. Kita melihat perilaku, yaitu berupa garis yang bergerak, dan kita mengasumsikan bahwa mereka memiliki maksud tertentu,” jelas Camilo. Melalui video tersebut dan asumsi yang tercipta, kita dapat melihat bagaimana hal-hal kecil yang bisa jadi tidak memiliki arti tertentu dapat membentuk sebuah cerita. Menurut Camilo, memang sudah menjadi kecenderungan manusia untuk mengasumsikan bahwa terdapat karakter dengan tujuan atau maksud tertentu yang pada akhirnya mengkreasikan sebuah cerita.
Camilo menyampaikan bahwa terdapat tiga elemen dalam bercerita. Pertama, cerita dan bagaimana cerita itu disampaikan. Antropolog telah lama mencari jawaban atas ada atau tidaknya cara-cara universal dalam bercerita. Untuk menjelaskan hal tersebut, Camilo juga memperkenalkan pentingnya mitos dalam sebuah cerita. “Mitos memiliki kecenderungan untuk mempertunjukkan kejadian-kejadian luar biasa. Kejadian luar biasa tersebut biasanya merupakan call-to-action yang bagus karena berhubungan dengan pengalaman-pengalaman personal,” jelas Camilo. Hal tersebutlah yang menyebabkan audiens, penonton, maupun pembaca dapat merasa terhubung dengan cerita-cerita di media.
Kedua, karakter serta bagaimana mengkreasikan sebuah karakter. Terdapat dua pendekatan dalam menyusun karakter, yaitu dengan mendesain archetypes dan dengan mendesain persona. “Carl Jung memiliki gagasan bahwa terdapat cara-cara subconscious dalam melihat karakter,” jelas Camilo. Gagasan Jung kemudian menjadi basis dari pendekatan pertama yang bersifat teoritis. Sedangkan, mengkreasikan karakter dengan mendesain persona bersifat lebih empiris karena dibuat berdasarkan riset atau survei.
Terakhir, maksud atau tujuan serta bagaimana mereka bekerja. “Intention bekerja seperti sihir,” ungkap Camilo. Camilo menjelaskan bahwa kejadian-kejadian yang sulit dipercaya dalam kehidupan kita dapat dijelaskan melalui asumsi akan adanya agensi yang bersifat intensional. Misalnya, ketika kita sedang mengobservasi sebuah karya seni, kita cenderung memikirkan mengenai makna dibaliknya. “Hal tersebut berarti kita mengasumsikan bahwa seseorang mencoba membuatnya memiliki maksud tertentu,” jelas Camilo. Hal yang sama juga berlaku dengan bercerita. Karya yang baik memiliki kemampuan untuk memicu asumsi kita akan adanya intensi, maksud, atau tujuan tertentu.
Penulis: Septania Rizki Mahisi
Yogyakarta, 1 September 2023 – Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Press in Malaysia” dalam rangka kelas Pengantar Media Kreatif dan Jurnalisme. Hadir dalam kegiatan tersebut yaitu Prof. Dr. Hamedi Mohd Adnan dari Department of Media and Communication Studies University of Malaya yang diundang sebagai dosen tamu. Kuliah umum ini dilaksanakan pada Jum’at (1/9) secara luring di FISIPOL UGM serta dimoderatori oleh Jusuf Ariz Wahyuono, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM.
Dewasa ini, teknologi berkembang kian pesat dan membawa dampak bagi berbagai sektor industri. Industri media cetak tidak lepas dari pengaruh tersebut. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Hamedi, terdapat perubahan dalam cara generasi muda mengkonsumsi berita. “Generasi muda kebanyakan membaca berita melalui media sosial,” ungkapnya. Sebagai imbas dari perubahan tersebut, sirkulasi media cetak kian hari kian menurun jumlahnya. Hal tersebut terjadi di Malaysia, di mana jumlah surat kabar yang dahulu mencapai lebih dari 100, kini hanya tersisa 37.
Lebih lanjut, Prof. Hamedi juga berpendapat bahwa berita bukan lagi menjadi produk utama surat kabar. “Produk utama surat kabar bukan lagi berita, tetapi jenama atau brand,” jelasnya. Tak hanya produk yang berubah, konsumen surat kabar pun turut berubah. Kini, jenama tidak hanya dijual kepada pembaca tetapi juga kepada pengiklan atau advertisers. Hal tersebut menjadi signifikan karena iklan juga merupakan salah satu sumber keuntungan surat kabar. Meskipun demikian, mencari keuntungan melalui iklan kini menjadi semakin sulit. “Iklan juga bermasalah karena pengiklan lebih suka beriklan di platform lain, iklan di surat kabar sudah tidak efektif,” ujar Prof. Hamedi.
Perkembangan teknologi jelas merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh industri surat kabar. Diperlukan adaptasi serta cara-cara baru agar surat kabar dapat tetap bertahan dan memperoleh keuntungan. Prof. Hamedi mengakui hal tersebut memanglah sukar. Pasalnya, menurut Prof. Hamedi belum ada industri surat kabar yang dapat sepenuhnya beradaptasi dengan perkembangan teknologi, bahkan surat kabar di Amerika Serikat sekalipun.
Dengan situasi yang ada, sulit untuk memprediksi masa depan industri surat kabar. Meskipun demikian, Prof. Hamedi berpendapat bahwa surat kabar masih tetap penting untuk dipertahankan karena masih adanya segmen pembaca yang lebih memilih media cetak daripada media digital. Oleh karena itu, pelaku industri surat kabar harus pintar dalam melihat dan mengambil peluang agar tetap relevan, terutama peluang yang ditawarkan oleh internet.
Prof. Hamedi menyampaikan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh industri surat kabar untuk merespons tantangan di tengah-tengah gempuran teknologi. Industri surat kabar dapat menawarkan versi digital dengan format dan pendekatan yang baru serta menarik. Selain itu, aspek pemasaran serta distribusi juga harus diperhatikan dengan seksama, termasuk dengan melakukan aktivasi media sosial. Meskipun masa depan industri surat kabar tidak dapat diprediksi, Prof. Hamedi berpendapat bahwa hal tersebut bukan berarti akhir dari surat kabar konvensional. Dirinya juga berpendapat bahwa surat kabar memiliki kualitas-kualitas tertentu yang dapat membantu untuk bertahan apabila dimanfaatkan dengan baik.
Yogyakarta, 27 Juni 2023– Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) edisi 7. Diskusi kali ini mengangkat topik tentang “Pemaknaan Atas Ekspresi Pejabat di Media Sosial”. Diskusi diselenggarakan secara virtual dan menghadirkan dua pembicara dari kalangan akademisi yaitu Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn., Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya) dan Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si, (Dosen Ilmu Komunikasi UGM). Acara tersebut dipandu oleh Nurjannatin Aliya Albani Tanjung (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM).
Berdasarkan jajak pendapat terbatas di kalangan mahasiswa yang dilakukan oleh tim peneliti Diskoma, sebanyak 83,6% dari 55 responden menjumpai banyak pejabat publik yang melakukan flexing di media sosial. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pejabat yang memamerkan harta, mengenakan barang dan berpenampilan mewah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa pejabat publik yang sering flexing patut diduga melakukan tindak pidana korupsi. Perilaku ini pun dinilai tidak etis.
Menurut Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn., Ph.D selaku Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya, flexing ini mengindikasikan mental “minder” (rendah diri). Kondisi mental ini merupakan warisan penjajah. Dengan mengaitkan
fenomena ini dengan teori post-kolonialisme, Desi berpendapat bahwa kolonialisme di Indonesia menciptakan mental inlander. Menurutnya, “penjajah Belanda sengaja menciptakan stratifikasi ras dan mendikotomi satu identitas dengan identitas yang lain untuk tujuan politik”. Pada masa itu, pejabat publik seperti Soekarno lebih memilih mengenakan setelan baju jas bergaya militer begitu pun dengan Sutan Sjahrir dengan kaos polonya. Gaya berpakaian ini bukan berarti bergaya kebarat-baratan atau pun flexing, namun sebagai bentuk self-empowerment.
“Berbeda dengan sekarang, pejabat publik yang sering melakukan flexing di media sosial, kebanyakan bertujuan untuk menunjukkan eksistensinya dan mendapatkan validasi sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk membangun representasi tertentu. Sayangnya, representasi ini tidak terkait dengan kinerjanya dalam melayani publik melainkan pamer kekayaan”, tambah Desi.
Sementara itu, Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si, menjelaskan bahwa flexing ini bukan saja dilakukan oleh sejumlah pejabat publik, namun juga dilakukan oleh kalangan selebriti dan tokoh-tokoh publik. Pejabat melakukan flexing sebagai bentuk komunikasi politik untuk menunjukkan identitas diri dan mendapatkan pengakuan tertentu di masyarakat.
Menyikapi fenomena flexing para pejabat publik ini, kedua pembicara sepakat agar para pejabat lebih menunjukkan hasil kerjanya di media sosial daripada flexing.
Siaran lebih lengkap dapat ditonton melalui YouTube Dikom UGM
Yogyakarta, 6 Mei 2023 – Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan diskusi komunikasi mahasiswa atau Diskoma Edisi ke 6 yang mengangkat topik “Objektifikasi Perempuan di Media sosial”. Diskusi diselenggarakan secara virtual pada hari Sabtu siang (6 Mei 2023). Dalam diskusi ini Diskoma menghadirkan narasumber Dewanto Samodro, M.I.Kom (Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta) dan Dr. Dian Arymami, S.I.P., M.Hum (Dosen Ilmu Komunikasi UGM). Diskusi dipandu oleh Muhammad Dimas Audi Nurapraja (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh tim peneliti Diskoma, diketahui bahwa objektifikasi perempuan semakin marak ditemukan di media sosial. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya akun media sosial seperti @ugmcantik, @uiicantikganteng, dan @uny_cantik yang masih menjadikan perempuan sebagai bahan objektifikasi. Objektifikasi perempuan berarti perempuan sebagai objek bebas untuk dipandang, dinilai, dan juga dinikmati tanpa mempertimbangkan pendapat si pemilik tubuh. Persoalan ini tentu merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan merugikan perempuan.
Dr. Dian Arymami, S.I.P., M.Hum, yang menekuni kajian media dan budaya, mengatakan “Objektifikasi perempuan justru dilakukan oleh diri sendiri dan bukan oleh orang lain. Ini dapat diamati dari semakin banyaknya foto-foto yang diunggah oleh pemilik akun media sosial yang menonjolkan tubuh secara berlebihan dan ini menjadi perdebatan yang terus menerus terkait bagaimana membedakan antara objektifikasi dan kesukarelaan”. Jelasnya jika kita berbicara tentang media sosial saat ini, konten itu menjadi sebuah medium untuk mendapatkan penghasilan. Sehingga seorang wanita dapat secara sadar dan sukarela mengobjektifikasi dirinya untuk kepentingan ekonomi.
Dampak objektifikasi antara lain, perempuan kerap mengalami ketidaknyamanan dan ketidakpuasan terhadap apa yang dimilikinya saat ini dan tubuhnya, serta ketakukan terhadap penilaian publik. Hal tersebut berpotensi memengaruhi mental dan psikologisnya, yang dapat mengakibatkan depresi.
Sementara itu, Dewanto Samodro, M.I.Kom mengungkapkan “Objektifikasi tidak selalu terjadi pada perempuan namun tak jarang juga laki-laki menjadi korban objektifikasi. Kalau pada laki-laki, objektifikasi terjadi pada idola, sementara pada perempuan, objektifikasi lebih bersifat umum.”
Menanggapi hal ini, kedua pembicara sepakat, perlunya perempuan memiliki kendali atas tubuh mereka agar tidak menjadi objek bagi orang lain.
– SELESAI –
Siaran lengkap dapat dilihat melalui: https://www.youtube.com/live/3nmtynP53XA?feature=share
Narahubung: 0821 7246 9932 (Atikah Luthfiyah)