• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • Berita
  • hal. 3
Arsip:

Berita

Rilis Berita Hilirisasi Riset DIKOM UGM: Media dan Budaya

Berita Senin, 3 Januari 2022

Selasa (14/12), Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM kembali melanjutkan rangkaian acara Hilirisasi Riset. Pada pekan kedua di sesi pertama, yakni pukul 09.30-12.00 WIB, tema besar yang dipresentasikan adalah seputar kajian Media dan Budaya. Spesifiknya, keempat peneliti yang juga merupakan dosen Dikom memaparkan topik Card Game (Permainan Kartu), Game Tourism (Jalan-Jalan Virtual melalui Game), Football Manager Game (Permainan untuk Mengelola Tim Sepak Bola secara Digital), serta membahas film The Social Dilemma. Acara kali ini dimoderatori oleh Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, S.I.P., M.A., atau Mbak Mashita.

Paparan pertama yang berjudul Konsumsi Pemain MTG Jogja disampaikan oleh Jusuf Ariz Wahyuono, S.i.P., M.A., atau biasa dipanggil Mas Ucup. Secara umum, penelitian dengan metode Studi Etnografi Komunitas yang Mas Ucup lakukan berfokus pada perilaku konsumsi penggemar permainan Magic the Gathering (MTG). MTG adalah permainan kartu yang cukup populer, sejak kisaran tahun 2008. Kini, dari 35 juta pemain aktif yang tersebar di 70 negara, beberapa di antaranya berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. MTG memiliki banyak pemain dan bahkan penggemar, sebab tiap kartunya memiliki narasi yang unik, sehingga menarik untuk dimainkan. Para pemain kerap kali tergabung secara komunal dan memiliki base di suatu game store (toko permainan) atau rental PlayStation lokal. Bahkan, tak hanya sekadar bermain, para penggemar MTG diwajibkan berkumpul untuk melakukan ritual di tiap malam Jumat (Friday Night Gathering), untuk kemudian “dipantau” dan didata oleh pihak MTG pusat. Keberadaan MTG dianggap Mas Ucup sebagai pengalaman yang tak tergantikan, sebab mampu membuat permainan berbasis komunitas di tengah gencarnya digitalisasi permainan selama masa pandemi.

Lanjut ke paparan kedua dari Dr. Adrian Indro Yuwono, S.I.P., M.A., alias Mas Dadok. Mengangkat judul Berwisata Digital: Mengunjungi Jepang Feodal, Bertualang di Wild West, dan Eksplorasi Manhattan Urban, topik spesifik yang diangkat oleh Mas Dadok adalah Gamertourist, di mana orang-orang memainkan game tidak sekadar untuk bermain saja, tapi juga sebagai sarana jalan-jalan virtual dan foto-foto. Penelitian ini berawal dari temuan Mas Dadok akan fakta bahwa penjualan game konsol justru meningkat selama pandemi. Ketika orang-orang tidak bisa jalan-jalan ke luar rumah, maka diambil lah alternatif untuk jalan-jalan virtual melalui game. Bukan sembarang foto-foto, para pemain bahkan mengatur komposisi objek foto, pencahayaan dari matahari yang ada dalam game, memilih lokasi yang memiliki pemandangan nan apik — semua dilakukan layaknya sedang mengadakan pemotretan di dunia nyata. Kualitas grafis yang tinggi, alias High Definition (HD), turut mendukung hobi para pemain untuk memotret di dalam game. Mas Dadok menyebut mereka sebagai graphic junkie atau scenery junkie (pecandu grafis atau pecandu pemandangan, dalam artian positif) yang gemar melakukan in-game photography (pemotretan di dalam game). Mas Dadok turut menyebutkan bahwa salah satu informan, yang juga merupakan aktivis media sosial, kerap mengunggah hasil in-game photography-nya ke Twitter hingga di-notice oleh para developer game-nya (perusahaan pencipta dan pengembang game). Hal tersebut jelas menjadi salah satu cara apresiasi dan interaksi langsung antara developer dan pemain, sehingga ekosistem game menjadi lebih menarik, tak hanya sekadar memainkan game-nya saja. Secara ringkas, melalui penelitiannya yang menggunakan metode Etnografi, Mas Dadok mengungkapkan pengalaman eksplorasi dunia virtual dalam game, yang didasarkan pada minat pemain di dunia luring.

Paparan dilanjutkan oleh Irham Nur Anshari, S.I.P., M.A., atau akrab disapa Mas Irham. Masih di lingkup topik yang sama, yakni permainan atau game digital, Mas Irham menyampaikan paparan terkait Pergeseran Budaya Fans Sepak Bola di Era Digital melalui keberadaan game Fantasy Premier League. Game tersebut merupakan simulasi menjadi manajer sebuah tim sepak bola, yang mengajak pengguna atau pemain untuk mengelola pemain-pemain Liga Inggris kelas teratas (English Premier League). Banyak aspek yang bisa dikelola oleh pengguna untuk mengatur susunan tim, guna menentukan apakah tim akan berpeluang jadi juara atau tidak. Dengan metode Studi Kasus, Mas Irham mampu menelusuri bahwa pengguna atau pemain FPL, yang juga merupakan fans suatu tim atau pemain sepak bola di dunia nyata, kini tak lagi berorientasi pada tim, tapi berorientasi pada kualitas pemain. Mengapa? Sebab di FPL, pengguna atau pemain diminta untuk membuat tim baru berisi pemain-pemain favorit mereka. Ringkasnya, budaya fans sepak bola di era digital mulai berubah atau bergeser berkat FPL, di mana pengguna diminta mengatur dan mengelola para pemain menjadi sebuah dream team (tim sepak bola impian).

Terakhir, ada paparan riset berjudul Dilema Sosial dalam The Social Dilemma oleh Wisnu Martha, S.I.P., M.Si., atau Mas Wisnu Martha. Berbeda dengan tiga topik riset sebelumnya, kali ini yang diteliti adalah aspek kewargaan dalam film The Social Dilemma (2020), dokumenter-drama dari Netflix yang mengulas tentang ancaman bahaya di balik candu media sosial. Di satu sisi, media sosial mampu membantu dan mempermudah hidup penggunanya, namun di sisi lain justru menyebabkan candu dan juga problem-problem lainnya — hal tersebutlah yang menjadi dilema. Film The Social Dilemma menceritakan efek dari media sosial melalui fakta-fakta dan komentar dari para pelaku industri media sosial (para eksekutif dari Google, Facebook, Twitter, Instagram, Linkedin, dan lainnya), didukung dengan ilustrasi berupa drama yang diperankan oleh aktor. The Social Dilemma menyajikan fakta melalui media hiburan. Mas Wisnu Martha membagi dilema dalam film ini menjadi 3 (tiga) babak, yakni: (1) Kecanduan media sosial; (2) Tersebarnya hoaks; dan (3) Pengaruhnya terhadap fluktuasi atau gejolak politik di suatu daerah atau negara. Candu media sosial yang terjadi pada warga negara, apabila tidak disertai kontrol diri dan kesadaran literasi yang baik, akan mengacaukan sistem politik suatu daerah atau negara — atau bahkan global — sebab dapat memunculkan polarisasi dan segregasi antarwarga melalui hoaks dan berita bohong. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh adegan dalam film, candu media sosial yang dialami sang tokoh utama (seorang remaja), mampu membawanya kepada kekacauan politik di daerahnya. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan beberapa cara yang juga dipaparkan dalam film, oleh para pelaku (eksekutif) industri media sosial, yang diwawancara untuk membagikan pengalaman dan keresahannya. Namun, kembali lagi, apakah para eksekutif tersebut betul-betul merasa resah dan ingin melindungi warga dari bahaya media sosial? Atau hanya cover luarnya saja, sebagaimana yang dilakukan oleh para politisi yang berniat mengayomi warga, tapi nyatanya tidak? Melalui metode Analisis Naratif, Mas Wisnu Martha mengajak kita untuk merefleksikan kembali aspek-aspek yang ada di dalam film The Social Dilemma, terutama dari aspek candu media sosial dan aspek kewargaan.

Presentasi riset dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dari audiens yang ternyata sangat antusias mengikuti acara, terutama karena bahasannya yang berkisar di topik tentang game. Acara diakhiri dengan foto bersama, dan bagi Sobat Dikom yang belum berkesempatan hadir, dapat menyimak presentasi beserta diskusinya melalui kanal YouTube Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

 

Penulis: Rose Wirastomo

Rilis Berita Hilirisasi Riset Dikom UGM: Jurnalisme dan Kebijakan Komunikasi

Berita Jumat, 31 Desember 2021

Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM memulai rangkaian webinar Hilirisasi Riset Departemen dengan sesi pertama yang mengangkat topik “Jurnalisme dan Kebijakan Komunikasi” pada 9 Desember 2021, pukul 09.00-11.00 WIB. Program Hilirisasi Riset ini merupakan bagian penutup dari rangkaian skema Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) oleh Dikom UGM. Program ini juga merupakan tradisi tahunan di Dikom UGM yang bertujuan untuk menciptakan roadmap atau peta jalan untuk skema PPM ke depannya. 

Narasumber sesi pertama ini adalah Dr. Ana Nadhya Abrar, Zainuddin Muda Z. Monggilo, Dr. Nyarwi Ahmad, dan Gilang Desti Parahita, yang menyampaikan hasil riset mereka seputar “Jurnalisme dan Kebijakan Komunikasi”. Berperan sebagai moderator dala sesi ini adalah Dr. Muhamad Sulhan.

Pada kesempatannya, Dr. Ana Nadhya Abrar sebagai narasumber pertama menyampaikan perjalanan riset kolaborasinya dengan mahasiswa Dikom UGM yang mempersoalkan tentang posisi content creator di Tribun Jogja dengan judul penelitian “Suara Tentang Idealisme Wartawan”. 

“Kenapa saya mempersoalkan itu? Karena yang selama ini kita tahu, content creator itu bukan untuk pers, [melainkan] untuk media sosial. Yang kedua, di dalam [aturan] Tribun Jogja itu nggak pernah tertulis content creator, yang ada wartawan, [seperti] reporter, pemimpin redaksi, kemudian redaktur, sama sekali nggak ada sebutan content creator, tapi di kalangan mereka ada,” jelas Abrar.

Abrar melihat bahwa posisi content creator di media berita patut dipertanyakan karena tidak menghasilkan berita, tetapi artikel. Content creator juga disebutkan mampu memotong posisi pemimpin redaksi dan mengarahkan reporter untuk mencari berita. Secara garis besar, Abrar ingin mempertanyakan apakah kondisi seperti ini yang menyebabkan krisis jurnalisme di Indonesia. 

Selanjutnya, Zainuddin Muda Z. Monggilo, atau kerap disapa Zam, menyampaikan hasil riset kolaborasinya dengan dua mahasiswi Dikom UGM yang berjudul “Praktik Cek Fakta di Indonesia:  Studi Kasus pada Tirto.id, Liputan6.com, Tempo.co, Mafindo,  Kompas.com, dan Suara.com di Masa Pandemi COVID-19”. 

Pertanyaan risetnya adalah bagaimana institusi media yang bersertifikasi International Fact-Checking Network (IFCN) mengimplementasikan cek-fakta dalam melawan kekacauan informasi (mis/mal/disinformasi) yang muncul di tengah pandemi Covid-19. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengeksplorasi praktik cek-fakta yang dijalankan oleh keenam institusi media Indonesia tersebut dalam membendung gempuran kekacauan informasi yang beredar selama masa krisis

“Saya [melihat] kualitas jurnalisme bukan saja soal bagaimana berita itu harus objektif, bagaimana berita itu harus cover both sides atau bahkan multiple sides in some cases, atau bagaimana berita itu harus ditulis dengan rapi dan seterusnya, tidak saja sebagai kualitas yang parsial, tetapi kualitas as a whole package,” ucap Zam. 

Menurut Zam, peluang dan tantangan media berita pada 2015-2016 jika dikaitkan dengan maraknya kekacauan informasi akan menjadi sangat mengkhawatirkan jika, celakanya, jurnalis menggunakan mal/mis/disinformasi yang ada sebagai informasi di media tanpa adanya verifikasi yang berlapis. Zam menambahkan, fenomena ini tidak dapat ditangani hanya dari sisi wartawan atau institusi media, tetapi juga akademisi serta masyarakat. Maka dari itu, pada penelitiannya, Zam juga ingin menyampaikan pesan-pesan literasi media.

Dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Dr. Nyarwi Ahmad, tentang risetnya yang berjudul “Persepsi Publik Atas Kemampuan Personal  Dan Ketangguhan Kepemimpinan Presiden Joko Widodo Dalam  Mengatasi Wabah Pandemi Covid-19 Pasca Kebijakan New  Normal: Identifikasi Faktor-Faktor Penentu (Kelas Sosial/Tingkat  Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Preferensi Politik Dan Jenis  Akses Media”.

Riset ini secara spesifik ditujukan untuk mengeksplorasi keragaman persepsi publik terkait kemampuan personal dan ketangguhan kepemimpinan presiden Joko Widodo dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan sejauh mana preferensi politik publik terhadap Parpol dalam Pemilu Legislatif 2019 lalu. Penelitian kuantitatif ini mengadaptasi empat jenis konsep berikut, yaitu kepemimpinan presiden, kapasitas personal, ketangguhan kepemimpinan, dan preferensi politik. 

“Di situ ada 12 pertanyaan yang saya tanyakan di balik pertanyaan besar [saya], yang pertama misalnya kemampuan [presiden] mendeteksi dan mengantisipasi ancaman serta bahaya virus Covid-19, termasuk kemampuan dalam memberikan penjelasan kepada publik,” ucap Nyarwi. Beberapa variabel yang diteliti yakni status ekonomi sosial, pilihan parpol, persepsi akan media arus utama, dan pilihan media sosial. 

Selanjutnya, Gilang Desti Parahita melanjutkan diskusi dengan memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Partisipasi Audiens dan Monetisasi  pada Portal Berita Online Only dan Konglomerasi Indonesia” melalui rekaman video. 

Gilang menyampaikan kekhawatirannya melalui hasil risetnya tentang sumber pendapatan industri-industri media Indonesia yang berasal dari over the top companies seperti Google melalui adsense. Gilang melakukan pengamatan terhadap 26 media digital di Indonesia untuk mengidentifikasi perbedaan antara media yang dimiliki oleh konglomerasi dan media startup dari segi sumber pendapatannya. Selain itu, wawancara juga dilakukan pada 8 pengelola media digital di Indonesia. 

“Dari dua metode tersebut setidaknya kita mendapatkan gambaran bahwa media digital di Indonesia masih mengandalkan situs web sebagai platform untuk mendistribusikan konten. Hal ini terutama dilakukan oleh media berita digital yang dimiliki oleh konglomerasi,” ucap Gilang.

Dengan kebergantungan media konglomerasi terhadap penghasilan dari jumlah klik di situs web, kualitas jurnalisme pun akan dikendalikan oleh sistem pengiklanan tersebut. Sedangkan, media startup lebih dapat memanfaatkan kanal-kanal yang dimilikinya untuk memperoleh sumber penghasilan dan mampu mengeksplorasi model pendistribusian beritanya di masing-masing kanal.

Acara hilirisasi ini selengkapnya dapat disaksikan melalui kanal Youtube Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Penulis: Rizqy K. Mayasari

Rilis Berita Hilirisasi Riset DIKOM UGM: Manajemen Komunikasi dan Komunikasi Strategis 1

Berita Jumat, 31 Desember 2021

Kamis (9/12), menjadi hari pertama dari rangkaian acara Hilirisasi Riset Departemen yang diadakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM. Hilirisasi riset diadakan dalam 2 (dua) sesi, yakni Sesi 1 pada pukul 09.00-12.00 WIB, dan Sesi 2 pada pukul 13.00-16.00 WIB. Pada Sesi 2, tema besar riset yang dipresentasikan adalah seputar Manajemen Komunikasi dan Komunikasi Strategis. Ada 2 (dua) riset yang dipresentasikan, yakni milik Drs. I Gusti Ngurah Putra, M.A. (Mas Ngurah), dan milik Adam Wijoyo Sukarno, S.I.P., M.A. (Mas Adam). Acara ini dimoderatori oleh Dr. Rahayu, S.I.P., M.Si., M.A. (Mbak Rahayu).

Riset pertama yang dipresentasikan adalah milik Mas Ngurah, berjudul Public Relations Digital dalam Buku Teks Public Relations Indonesia. Pada awal paparan materi, Mas Ngurah menyampaikan bahwa buku teks memegang peranan penting dan memiliki pengaruh dalam proses pembelajaran mahasiswa, sekalipun di masa pembelajaran daring seperti saat ini, sebab buku teks mampu membentuk pemikiran mahasiswa, terkhusus pada topik pembelajaran Public Relations. Seharusnya, isi atau materi dalam buku teks seputar Public Relations mulai disesuaikan dengan zaman dan dengan isu tertentu, termasuk membahas tentang Digital Public Relations secara komprehensif. Setelah mengumpulkan beberapa buku, dan menelusuri apakah buku tersebut ada versi digitalnya, Mas Ngurah hanya menemukan satu buku teks dengan bahasan Public Relations Digital yang relatif memadai sebagai pengantar pembelajaran. Buku tersebut menyajikan materi berisi perbedaan internet atau website dengan media sosial, serta sedikit menjelaskan karakter dari komunikasi melalui media digital. Ringkasnya, tidak semua buku membahas Digital Public Relations secara memadai. Saran dari Mas Ngurah, riset selanjutnya bisa diarahkan untuk mengkaji dengan membandingkan pembahasan Public Relations Digital dalam teks berbahasa Inggris atau terjemahan, dengan buku teks berbahasa Indonesia.

Berlanjut ke presentasi riset dari Mas Adam, berjudul Inovasi Badan Publik Pendidikan dalam Implementasi KIP, yang membahas tentang adopsi inovasi serta teknologi informasi dan komunikasi yang diterapkan oleh Kantor Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) UGM. Berdasar pengamatan Mas Adam, banyak organisasi atau institusi pemerintah maupun pendidikan yang mulai mengarah ke sistem open government. Salah satu aspek yang membuat Mas Adam, selaku peneliti, mengidentifikasi demikian adalah mulai adanya adopsi ICT (Information and Communication Technology; teknologi informasi dan komunikasi). Namun, tentu tidak semua institusi mampu untuk langsung mengadopsi ICT. Orang-orang di dalam institusi tersebut perlu mengkomunikasikan inovasi, perlu berkoordinasi tentang bagaimana Humas berinovasi dan mengadopsi ICT di waktu-waktu ini (pandemi dan era digital). Kerap kali, di tiap institusi sudah ada rencana, tapi persiapan dan aplikasi teorinya kurang — karena, menurut pengamatan Mas Adam, spirit pelayanan publik itu masih kurang sebab masih berfokus di tupoksi (tugas pokok dan fungsi) aja, belum berani berinovasi dan melakukan hal-hal baru. Selain itu juga masih banyak masalah terkait sumber daya, terutama sumber daya manusia (SDM). Level akselerasi di tiap institusi juga tentu berbeda-beda, tergantung kebijakan dan kesigapan Kepala Admin, sebab Kepala Admin harus mengajari staf-staf adminnya dan itu tentu membutuhkan kecakapan digital lebih, serta waktu yang tidak sebentar. Ringkasnya, sudah banyak Humas yang menerapkan kerangka kerja Morton (memakai pendekatan Top Down), tetapi inovasi berbasis ICT belum mengarah ke penyederhanaan organisasi (misal: memangkas jumlah pegawai dan menggunakan Kecerdasan Buatan sebagai penggantinya). Aplikasi pelayanan publik sudah ada, tapi koordinasi untuk beradaptasi dengannya masih butuh jangka waktu yang panjang. Terakhir, Mas Adam menyampaikan bahwa di tiap institusi sebenarnya ada spirit untuk membuka (membuka peluang beradaptasi dengan ICT), tapi juga ada spirit untuk menutup (menutup kemungkinan adaptasi dan inovasi tersebut).

Penulis: Rose Wirastomo

Graduate Students Symposium on Communication Science 2021 Hari Pertama

BeritaSorotan Kamis, 9 September 2021

Graduate Students Symposium on Communication Science (GSSCS) 2021 secara resmi dibuka. Simposium bertema “Respons Ilmu Komunikasi dalam Sirkuit Pandemi: Tantangan Komunikasi Publik dalam Disrupsi Transformasi Digital” dibuka oleh Dekan Fisipol UGM dan Kepala Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Hari pertama GSSCS 2021 diawali dengan pemaparan materi oleh keynote speaker Prof. Dr.Phil Indah Wahyuni dan tiga panelis yaitu Dr. G. Arum Yudarwati, Dr. Eriyanto, M.Si. dan Janoe Arijanto. Sesi hari pertama berhasil menghadirkan diskusi berbobot dari sudut pandang akademisi dan praktisi komunikasi.

Simposium ini dibuka dengan sambutan dari Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi. Beliau mengapresiasi penyelenggaraan GSSCS 2021 oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM. Dalam sambutannya, beliau menekankan bahwa simposium ini turut berperan dalam membangun tradisi akademik, menjadi ruang pertukaran ide dan dialog, serta memiliki relevansi mengenai fungsi perguruan tinggi dalam production and dissemination of knowledge. Senada dengan apa yang disampaikan Dekan Fisipol, Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Dr. Rajiyem, S.IP., M.Si menyatakan bahwa GSSC berperan sebagai forum untuk menumbukan atmosfer akademik dan berkontribusi pada isu komunikasi publik pada aspek sosial, ekonomi, dan politik.

Dalam pemaparannya, Prof. Dr.Phil Indah Wahyuni menekankan bahwa komunikasi berperan penting dalam pandemi COVID-19. Beliau mengatakan bahwa bahwa komunikasi adalah hulu dan hilir permasalahan sehingga bagaimana cara komunikasi diproses dan dikonstruksi akan menyebabkan implikasi serius. Beliau menyampaikan masih ada tiga pekerjaan rumah dalam komunikasi era media baru yaitu kecerdasan buatan yang meluluhlantakkan komunikasi publik sehingga jauh dari rasionalitas, visi komunikasi publik, dan atmosfer literasi digital yang masih rendah. Terakhir, Prof Hermin menyebutkan tantangan bagi keilmuan untuk mempertajam analisis, mengikuti tren, dan penguasaan teori secara komprehensif.

Sesi panelis diawali oleh pemaparan dari Dr. Eriyanto, M.Si. Akademisi dan dosen Ilmu Komunikasi UI tersebut menyampaikan materi mengenai arah perkembangan kajian dan kontribusi ilmu komunikasi dalam merespons krisis komunikasi publik. Dr. Eriyanto menjelaskan mengenai bagaimana metode riset komunikasi seperti Social Meida Network Analysis (SMNA), Hyperlink Network Analysis (HHA), Computational Content Analysis (CCA), Discourse Network Analysis (DNA), hingga Media Cloud Content Analysis, berkontribusi pada respons komunikasi publik.

Panelis kedua adalah Dr. G. Arum Yudarwati. Beliau menyampaikan materi mengenai strategi komunikasi publik digital dalam konteks (post) pandemi Covid-19 dari kacamata pakar komunikasi strategis. Dr. Arum memaparkan bagaimana dampak pandemi Covid-19 bagi dunia bisnis, bagaimana agile mindset berperan sebagai alternatif ppendekatan strategis di era disrupsi, dan implikasi serta implementasi agile mindset dalam komunikasi strategis. Beliau menekan bahwa terjadi perubahan paradigma dari looking back menjadi looking forward dan bagaimana perubahan dan fleksibilitas menjadi hal normal bagi individu dan organisasi.

Panelis terakhir adalah Janoe Arijanto. Sebagai CEO Dentsu One, beliau mengimbangi perspektif akademik dengan perspektif profesional. Janoe memaparkan ada sembilan perubahan lanskap media dan tantangan komunikasi publik yaitu crowd culture, crowd content; uncontrollable search and share; multi segment audience; the emerge of (olitical) group diction and idioms; high intensity of short-term campaigns; commercial algorithm for social algorithm; subjectivism in inner platform;social media patron; localism and geopolitics; blurred area in authorize and unauthorize information; dan higher exposure in home screen channel.

Pemaparan materi oleh keynote speaker dan panelis memantik diskusi yang hidup dengan berbagai pertanyaan dari partisipan. Kegiatan GSSCS 2021 hari pertama ditutup dengan foto bersama dengan para panelis. Selanjutnya, di hari kedua pelaksanaan GSSCS 2021 akan ada sesi paralel bertemakan komunikasi publik, komunikasi strategis, komunikasi dan kebijakan media, dan media serta budaya.

Siaran Pers Graduate Student Symposium on Communication Science 2021

BeritaSorotan Sabtu, 4 September 2021

Siaran Pers

Graduate Student Symposium on Communication Science 2021

Untuk mendialogkan dan mencari solusi persoalan komunikasi publik, tim mahasiswa Program Studi Magister (S2) Ilmu Komunikasi UGM menggelar “Graduate Students Symposium on Communication Science” dengan tema “Respon Ilmu Komunikasi dalam Sirkuit Pandemi: Tantangan Komunikasi Publik dalam Disrupsi Transformasi Digital.” Forum ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi mahasiswa dan alumni Pascasarjana untuk bertukar gagasan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Kegiatan Simposium ini dilaksanakan pada tanggal 9 – 10 September 2021 secara daring. Acara ini akan menghadirkan Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni sebagai Keynote Speaker, serta tiga panelis yaitu Dr. G. Arum Yudarwati dari Universitas Atma Jaya yang akan berbicara mengenai “Strategi Komunikasi Publik Digital dalam Konteks (Post) Pandemi Covid 19”. Kemudian Dr. Eriyanto akan membahas tentang “Arah Perkembangan Kajian dan Kontribusi Ilmu Komunikasi dalam Merespon Krisis Komunikasi Publik”, dan Janoe Arijanto akan memaparkan “Perubahan Lanskap Media dan Tantangan Komunikasi Publik: Perspektif Profesional”. Acara ini diselenggarakan dengan bekerjasama dengan pengelola jurnal dari Jurnal Komunikasi Indonesia oleh Departemen Komunikasi, Fisipol, Universitas Indonesia, Jurnal Komunikasi oleh Departemen Komunikasi Universitas Islam Indonesia, dan Jurnal Media dan Komunikasi Indonesia oleh Departemen ilmu komunikasi, Fisipol, Universitas Gunadarma. Target dari acara ini kurang lebih mencapai 150 peserta.
Rahayu, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, menyatakan tujuan penyelenggaraan simposium ini adalah menyediakan forum bagi mahasiswa dan alumni Pascasarjana untuk berdiskusi dan mencari solusi terkait dengan persoalan komunikasi publik.

Ia mengatakan,“Transformasi Digital dan Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini telah mengubah lingkungan komunikasi secara dramatis. Perubahan teknologi digital tidak saja berkaitan dengan kemunculan berbagai jenis platform media digital saja, namun juga interaktivitas dan pola-pola relasi sosial yang semakin luas dan bervariasi. Perubahan tampak pula pada perluasan dan intensifikasi penggunaan media digital di berbagai sektor akibat dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Perubahan lingkungan komunikasi ini membawa tantangan besar bagi pengelolaan komunikasi publik baik oleh organisasi publik maupun privat”

“Komunikasi publik merupakan elemen penting dalam menentukan kualitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam lingkungan komunikasi yang berubah, komunikasi publik tidak lagi bisa dikelola dengan metode konvensional, diperlukan cara-cara inovatif dengan pendekatan baru untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Konsep komunikasi publik tidak bisa disamakan dengan propaganda dan public speaking atau sekedar teknik penyampaian pesan persuasif kepada masyarakat. Komunikasi publik menuntut pemahaman komprehensif tentang kepentingan publik, informasi publik, media digital, dan relasi timbal balik antara organisasi dengan publik. Komunikasi publik pun menghadapi persoalan terkait peredaran misinformasi yang berpotensi mendistorsi kepercayaan dan kredibilitas informasi dari sumber-sumber informasi resmi.”, kata Rahayu.

Simposium ini akan membahas sejumlah pertanyaan penting: Apa kontribusi ilmu komunikasi dalam pengelolaan komunikasi publik terutama menghadapi disrupsi digital dan situasi pandemi saat ini? Bagaimana ilmu komunikasi dan scholars mengimbangi perubahan atau pergeseran sosial, budaya dan teknologi? Bagaimana mengantisipasi disfungsi dan resiko dalam komunikasi publik yang muncul dari transformasi digital dan pandemi serta pasca pandemi? Usai simposium ini diharapkan muncul sejumlah solusi relevan penanganan persoalan komunikasi publik.
Pendaftaran Call for Paper dan Seminar sudah dibuka. Untuk mengikuti acara ini bisa melakukan pendaftaran di website gsscugm.com atau bisa menghubungi narahubung acara di
+62 812-4796-6738(Rikar) dan +62 812-6300-1131(Diana).

Press Release: Diskusi “Catatan Lapangan Perspektif dan Pengalaman Perempuan”

Berita Selasa, 27 Juli 2021

Serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital”
Jumat, 23 Juli 2021

Prodi Magister Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan diskusi buku bertajuk “Catatan Lapangan Perspektif dan Pengalaman Perempuan” pada Jumat, 23 Juli 2021. Diskusi ini merupakan seri ketiga dari serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan” terbitan UGM Press.
Pada diskusi seri terakhir ini, hadir tiga narasumber selaku penulis buku dan juga dosen di Dikom UGM. Mereka adalah Lidwina Mutia Sadasri, Mashita Fandia, dan Ardian Indro Yuwono. Hadir pula dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Frida Kusumastuti, sebagai pembahas buku yang merupakan hasil kolaborasi dari dosen, mahasiswa, dan alumnus Prodi Magister Dikom UGM ini. Berlaku sebagai moderator adalah Anna Nurjanah dan sebagai MC adalah Harya Rifki P.

Diskusi dimulai dari penjelasan Lidwina Mutia Sadasri tentang tulisannya yang berjudul “Melawan Information Disorder ala Aktivis Perempuan”. Gambaran umum tulisannya adalah tentang aktivisme dalam klub media sosial Perempuan Tagar Tegar (P#T) dalam melawan disinformasi yang muncul di seputaran isu feminisme.
Topik ini dipilih karena di tahun 2018 sempat melaksanakan riset tentang pernikahan dini dan menemukan akun Perempuan Tagar Tegar di Instagram. Uniknya, muncul akun sister-nya bernama Pria Tagar Tegar karena melihat relasi tidak setara yang dipengaruhi oleh kultur patriarki.

“Tidak hanya selama ini perempuan yang menjadi korban, tetapi laki-laki juga ada yang menjadi korban. Jadi menarik untuk melihat di dua sisinya seperti apa,” ujar Mutia, dosen yang memiliki minat kajian di bidang perempuan, selebriti, dan media baru.
Selanjutnya, topik fenimisme digali lebih dalam oleh Mashita Fandia dalam tulisannya yang berjudul “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial.” Artikel ini berangkat dari temuan risetnya tentang gerakan perempuan di media sosial, khususnya Instagram, seperti pada akun Indonesia Feminis dan Lawan Patriarki.

Isu feminisme adalah isu yang sangat kompleks. Menurut Mashita, tidak hanya keterkaitannya dengan bagaimana perempuan mengalami penindasan dan juga ketidaksetaraan selama ini, tapi juga bagaimana patriarki membuat laki-laki tanpa sadar juga ditempatkan sebagai korban. Bahkan perempuan pun banyak yang tidak merasa telah menjadi korban.
“Itu saking sudah terinternalisasinya patriarki ke dalam kehidupan kita sebagai manusia. Kadang kita dihegemoni tapi kita senang-senang saja, seperti tidak merasa jika kita ditindas haknya sebagai manusia,” lanjutnya.
Yang menarik bagi Mashita dalam gerakan ini adalah komentar netizen tentang kesetaraan gender yang sangat terpolarisasi di kolom komentar akun-akun media sosial tersebut.

“Salah satu pokok perdebatannya adalah tentang feminisme. Banyak sekali kelompok masyarakat yang menilai feminisme bukan budaya Indonesia dan datang dari barat. Padahal nilai-nilai patriarki yang dianut sekarang semuanya adalah produk barat. Sementara apa sih yang kita sebut dengan budaya kita?” ujar Mashita, dosen yang memiliki minat kajian di bidang budaya digital, budaya kaum muda, media sosial, kajian gender, dan seksualitas.
Maka, lapisan-lapisan yang diulas pada tulisan Mashita adalah tentang bagaimana gerakan-gerakan ini serta para pengikutnya di media sosial mengonsepkan feminisme dan kesetaraan gender dalam konteks Indonesia. Lalu juga tentang bagaimana perbedaan penindasan perempuan di Indonesia dengan penindasan perempuan di negara barat.

Diskusi dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Ardian Indro Yuwono, dengan tulisannya yang berjudul “Dita dan Rizka dalam Game: Kompetensi dan Relasi Sosial.” Dari hasil temuan Ardian pada disertasinya, ternyata narasumbernya mampu memanfaatkan gim video sebagai media untuk berekspresi dan berkompetisi, bukan hanya untuk bersenang-senang. Hal ini memantik Ardian untuk lebih menggali dalam konteks literasi media. “Gim video itu kan sama dengan media pada umumnya. Ada institusinya, ada kontennya, dan ada aksesornya yang disebut dengan gamer,” kata Ardian.

Dalam risetnya, jika dikaitkan dengan konteks 10 kompetensi literasi digital dari Japelidi, Dita dan Rizka, memiliki empat dari 10, di antaranya adalah akses, paham, partisipasi, dan kolaborasi. Partisipasi di sini adalah mereka memiliki harapan bahwa gim video dapat mengubah dunia yang awalnya dianggap orang untuk bersenang-senang menjadi dunia yang memberikan manfaat baik terhadap mereka dan terhadap komunitasnya. Lalu, aspek kolaborasinya adalah mereka dengan teman-temannya ingin menciptakan lingkungan yang baik untuk berkembang.

Dita dan Rizka memiliki karakteristik yang berbeda. Dita di sini lebih banyak membangun kompetensi, yakni kemampuan atau kecakapan dalam bermain. Kecapakan ini menjadi salah satu kebutuhan intrinsik manusia, dalam artian pengakuan oleh orang lain. Hal ini kemungkinan bertolak belakang dengan pandangan bahwa gim merupakan produk laki-laki.
Di lain sisi, Rizka bermain untuk mencari ruang sosial. Ia menganggap ruang sosial dalam dunia digital atau yang tercipta karena dia bermain gim bisa lebih cair dan lebih menerima orang lain. Bukan berarti ruang sosial riil tidak mampu menerimnya, hanya dia merasa ruang-ruang sosial dalam gim memiliki tujuan dalam berteman. “Tujuannya jelas, bermain gim untuk menyelesaikan misi, problematika, atau sekedar ngobrol,” sahut Ardian, dosen yang memiliki minat kajian di gim video sebagai newish media.

Ardian menyebutkan, tulisannya tentang perempuan dalam gim video ini hanya mengulas satu dari tiga lokus riset, yaitu aksesor. Mengapa Rizka mencari ruang sosial di dalam gim sama halnya dengan mengapa orang merasa nyaman berinteraksi di media sosial. Lalu, mengapa Dita suka bermain secara kompetitif serta paham bahwa pengakuan menjadi penting bisa ditilik detailnya pada bab ketiga buku Perempuan dan Literasi Digital.

Pembahas dalam diskusi ini, Frida Kusumastuti, mengelompokkan bab ketiga yang berjudul “Catatan Lapangan Pengalaman dan Perspektif Perempuan” menjadi dua.Yang pertama adalah tentang persepsi, penerimaan, dan pemanfaatan teknologi oleh perempuan seperti yang disampaikan pada tulisan Dewa Ayu, Anna, dan Ardian. Lanjut Frida, yang kedua adalah tentang peta gerakan perempuan di era digital seperti laporan riset dari Mutia dan Mashita.

“Saya sebagai pembaca mencoba melihat buku ini sebagai data, tidak semata-mata referensi. Kadang-kadang timbul keinginan untuk menulis berdasarkan data ini,” sahut Frida setelah berdiskusi dengan para penulis, “Mari membeli buku ini untuk dikembangkan menjadi penelitian-penelitian lanjutan.”
Diskusi berlangsung secara hangat dengan banyak tanggapan dari para peserta diskusi. Dengan demikian, diskusi ini menutup serial diskusi buku “Perempuan dan Literasi Digital yang telah diselenggarakan sejak tanggal 9 Juli 2021.

Reporter: Rizqy K. Mayasari
Contact person:
Koordinator Tim Media DIKOM UGM
Mashita (083841068717)

Press Release: Diskusi “Dimensi Pengetahuan dan Kompetensi Literasi Digital”

Berita Kamis, 22 Juli 2021

Serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital”
Jumat, 16 Juli 2021

Prodi Magister Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan diskusi buku bertajuk “Dimensi Pengetahuan dan Kompetensi Literasi Digital” pada Jumat, 16 Juli 2021. Diskusi ini merupakan seri kedua dari rangkaian diskusi buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan”, yang merupakan buku hasil kolaborasi dari dosen, mahasiswa, dan alumnus Prodi Magister Dikom UGM. Acara diskusi ini diselenggarakan dengan dukungan dari Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan UGM Press.
Pada diskusi ini, hadir tiga narasumber selaku penulis buku dan juga dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Mereka adalah Zainuddin Muda Z. Monggilo, Syaifa Tania, dan Dewa Ayu Diah Angendari. Di samping itu, hadir pula dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi Manado, Leviane Hera Jackelin Lotulung, sebagai pembahas. Berlaku sebagai moderator adalah Rahmi Kartika Sari dan sebagai MC adalah Anindya Ayu Krisherwina.

Bagian kedua dari buku tersebut, dijelaskan secara ringkas oleh Zainuddin Muda, adalah tentang keresahan para penulis terkait dengan fenomena digital yang dihadapi oleh kalangan perempuan. Zainuddin, yang juga aktif dalam Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia dan Japelidi, menulis dalam bukunya tentang Perempuan Indonesia dalam Pusaran Hoaks dan Ujaran Kebencian.
Berangkat dari keresahannya, Zainuddin menyampaikan, “Perempuan semakin ke sini semakin terlihat sebagai objek literasi digital. Saya percaya dan yakin [bahwa] lebih banyak perempuan di luar sana yang mungkin belum terekspos oleh media [jika] mereka telah melakukan kegiatan-kegiatan literasi digital yang konsisten.”
Tiga kasus yang disorot Zainuddin dalam babnya diantaranya adalah hoaks tentang Ratna Sarumpaet, peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan di Papua 2019, serta hoaks-hoaks lainnya yang terkait dengan SARA dan politik.

Diskusi dilanjutkan oleh narasumber kedua, Syaifa Tania, yang menulis tentang peran perempuan dalam kaitannya dengan konteks komunikasi pemasaran digital. Media sosial, menurut Tania, pada perkembangannya saat ini apa pun bentuknya selalu dicari celah sebagai media komunikasi pemasaran yang semakin hari bentuknya semakin halus bentuknya.
Dalam perkembangannya, perempuan memiliki porsi yang besar sebagai influencers, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi juga produsen komunikasi pemasaran komersial.
Lalu, diskusi dilanjutkan oleh Diah Angendari yang menulis tentang adopsi teknologi informasi dan komunikasi oleh perempuan di daerah pedesaan yang merupakan bagian dari riset kerja sama antara Center for Digital Society (CfDS) UGM dan Amarta. Diah melakukan penelitian studi kasus terhadap perempuan pengguna peer-to-peer lending berbasis teknologi finansial.
Diah menyoroti keresahan yang muncul karena adanya digital divide di Indonesia, lebih spesifiknya, adanya kesenjangan dalam adopsi TIK antara lender dan borrower. Bagi lender sudah terliterasi untuk menggunakan dashboard dan menggunakan fiturnya, namun bagi borrower hanya sedikit yang sudah mampu menggunakan TIK-nya. Padahal akses merupakan salah satu faktor penting atau pintu masuknya.

Digital divide yang besar di Indonesia, terutama yang terjadi dalam penggunaan TIK Amarta antara kreditur dan debitur, menjadi keresahan Diah. Kreditur pada kasus tersebut sudah terliterasi untuk mengoperasikan dasbor, sedangkan debitur yang mayoritas adalah ibu-ibu hanya sedikit yang mampu menggunakan TIK-nya. “Padahal akses merupakan salah satu faktor penting atau pintu masuknya,” ujar Diah.
Jackelin Lotulung sebagai pembahas menjelaskan bahwa perempuan di desa memang mengalami kesenjangan dalam pendidikan, pengetahuan, termasuk ketika dikaitkan dengan literasi digital.
“Karena kalau di kota, perempuan sudah maju, mungkin di desa kita bisa melakukan pemberdayaan yang lebih baik ketika literasi digital bisa menjadi keniscayaan,” lanjut Jackelin, “di desa [masih] ada kendala, terutama terkait dengan jaringan. Itu menjadi PR untuk kita semua.”
Serial diskusi buku “Perempuan dan Literasi Digital” akan ditutup dengan seri ketiga yang diselenggarakan pada Jumat, 23 April 2021 mendatang.

Reporter: Rizqy K. Mayasari
Contact person:
Koordinator Tim Media DIKOM UGM
Mashita (083841068717)

Press Release: Diskusi “Perempuan dalam Revolusi Digital: Peta Permasalahan & Urgensi Digital” Serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital”

Berita Kamis, 15 Juli 2021

Departemen Ilmu Komunikasi UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Perempuan dalam Revolusi Digital: Peta Permasalahan & Urgensi Literasi Digital” pada Jumat, 9 Juli 2021 yang membedah buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem Hambatan dan Arah Pemberdayaan” terbitan UGM Press. Diskusi ini merupakan seri pertama dari tiga diskusi atas buku “Perempuan dan Literasi Digital” yang akan diselenggarakan Program Magister Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Diskusi yang berlangsung secara daring ini mengundang editor dan dua penulis buku tersebut, yang juga merupakan dosen di Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM, sebagai narasumber. Mereka adalah Rahayu, Novi Kurnia, dan Widodo Agus Setianto. Hadir pula pembahas dari Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti, dosen sekaligus anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Bertindak sebagai moderator adalah Astrid Permata Leona, alumni Program Magister Dikom UGM.

Diskusi dimulai dari pemaparan Rahayu selaku editor buku mengenai gambaran besar dari buku tersebut. “Buku ini mengangkat relasi dan persoalan perempuan dengan media digital, dalam melihat persoalan ini literasi digital dipandang oleh para penulis sebagai solusi penting,” ujar Rahayu yang saat inimenjabat sebagai ketua Prodi Magister di Dikom UGM.

Dalam penjelasannya, Rahayu menyebutkan bahwa ada dua persoalan yang dihadapi perempuan saat ini. Pertama, berkaitan dengan kesenjangan digital, terutama berkaitan dengan penggunaan telepon seluler ke mobile internet dan media sosial. Kesenjangan ini terjadi di berbagai negara, terutama di negara dunia ketiga dan wilayah pedesaan.
Kedua, adalah tentang gambaran perempuan di media. “Perempuan, khususnya remaja banyak menggunakan media sosial sebagai referensi. Sayangnya, apa yang tersaji dalam media digital tidak selalu informasi yang benar,” tambah Rahayu.
Menurut Rahayu, penggambaran diri perempuan di media pun tidak akurat dan sering menjadi objek eksploitasi. Media, oleh penulis, sering dianggap tidak peka terhadap perempuan terutama ketika meliput isu-isu kekerasan dan lebih menonjolkan sisi sensasional.

Dilanjutkan oleh Novi Kurnia yang menyebutkan bahwa posisi perempuan dalam konteks literasi digital dapat menjadi objek dan juga subjek karena perempuan memiliki identitas yang interseksional. Sebagai objek, perempuan kerap diposisikan sebagai khalayak sasaran beragam program literasi digital karena posisinya yang rentan.
Di sisi yang lain, sebagai subjek, perempuan juga banyak ditemukan sebagai pegiat program literasi digital yang pemberdayaannya berdampak pada masyarakar luas. “Di Japelidi sendiri, 80% anggota yang aktif adalah perempuan,” tambah Novi, yang juga berlaku sebagai Koordinator Nasional Japelidi.

Dalam tulisannya, Novi juga memetakan ada 13 dimensi yang berlaku sebagai faktor penyebab kesenjangan digital, yakni terkait akses, pendidikan, dan lain-lain. Menurutnya, jika pergerakan literasi digital dimulai dari dua dimensi saja, misalnya, kecakapan literasi digital dan pendidikan, perempuan akan lebih banyak lagi memasuki ruang-ruang penting dalam pengembangan literasi digital di Indonesia.

Widodo Agus Setianto, dalam pemaparannya menyebutkan tentang adanya perubahan signifikan pada data penggunaan internet di Indonesia selama satu dekade. Widodo pun mempertanyakan, “Apakah ada kesiapan infrastruktur dan kesiapan masyarakat di tengah lonjakan penggunaan internet?” Menurut Widodo, itu lah mengapa pemberdayaan perempuan melalui gerakan literasi digital menjadi penting dan menjadi solusi untuk menutup kesenjangan ini.
Menurut pembahas dalam seri ini, Santi Indra Astuti, bernasnya buku ini dimulai sejak kata pengantar. “Kata pengantar itu sendiri sudah merupakan sebuah tulisan yang memetakan, bukan saja arah ke mana buku ini berjalan, tapi [merupakan] peta jalan dari literasi digital yang diinginkan untuk memberdayakan perempuan Indonesia,” ujarnya.

Bagi Santi, peta literasi digital tidak bisa lagi bergantung pada faktor kepemilikan gawai, kompetensi fungsionalnya, dan sebagainya, tetapi juga terkait dengan faktor sosio-kultural di sekitar kita. “Dengan adanya peta permasalahan ini, ketika dikaitkan dengan indeks sosio-kultural kita, itu bisa menjadi amunisi untuk membuat gerakan yang game changer di tengah komunitas,” tambah Santi.

Total ada 13 penulis yang mengangkat persoalan tentang perempuan dan literasi digital dengan tiga bagian utama. Bagian pertama adalah tentang potret persoalan perempuan dalam mengakses teknologi dan arti penting literasi digital dalam pemberdayaan perempuan.
Bagian kedua membahas tentang dimensi-dimensi pengetahuan dalam literasi digital dan lingkup kompetensi literasi digital. Bagian kedua akan dibahas di seri kedua diskusi Perempuan dan Literasi Digital pada 16 Juli 2021.
Sedangkan bagian terakhir memaparkan hasil riset lapangan tentang penggunaan media digital oleh perempuan dan kontribusi literasi digital dalam menjawab persoalan tersebut. Bagian ini akan dibedah bersama penulis-penulisnya pada seri ketiga, tepatnya pada 23 Juli 2021 mendatang.

Contact Person:
Koordinator Tim Media DIKOM UGM
Mashita (083841068717)

Prodi Magister Ilmu Komunikasi UGM Rilis Ebook “Kolaborasi Lawan (Hoaks) Covid-19”

Berita Sabtu, 13 Februari 2021

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM dengan bahagia mempersembahkan buku kolaborasi dengan Japelidi dan Siberkreasi yang berjudul Kolaborasi Lawan (Hoaks) COVID-19: Kampanye, Riset dan Pengalaman Japelidi di Tengah Pandemi.

Buku ini pada awalnya dirancang untuk mendokumentasikan proses kampanye tersebut. Buku setebal 553 halaman dan terdiri dari 33 bab ini adalah hasil kolaborasi 42 anggota Japelidi sebagai penulis serta disunting 3 editor: Novi Kurnia, Lestari Nurhajati, dan Santi Indra Astuti.

Japelidi sendiri adalah komunitas pegiat literasi digital yang terbentuk sejak 2017 yang saat pandemi tergerak melakukan kampanye lawan hoaks COVID-19. Kampanye yang dilakukan pada Maret hingga Oktober 2020 ini merupakan upaya Japelidi untuk berkontribusi menekan disinfodemi yang sama berisikonya dengan pandemi itu sendiri.

Puluhan konten digital dihasilkan dalam kampanye tersebut. Salah satunya, ‘Jaga Diri jaga Keluarga’ bahkan diproduksi dalam 45 bahasa, bahasa Indonesia, bahasa Mandarin dan 43 bahasa daerah. Kampanye ini mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat luas di berbagai daerah di Indonesia baik secara daring dan luring.

Buku ini tak hanya memaparkan kisah di balik kampanye lawan disinfodemi, tapi juga beragam riset terkini tentang komunikasi dan pandemi sekaligus bervariasi refleksi pengalaman berhadapan secara langsung dengan virus baru yang mematikan itu.

Terima kasih pada Bapak Letjen TNI Doni Monardo (Kepala BNPB/Ketua Satgas Penanganan COVID-19), Anita Wahid (Presidium MAFINDO), Yosi Mokalu (Ketua Umum Siberkreasi), Dr Muhammad Sulhan (Ketua ASPIKOM), Indriyatno Banyumurti (ICT Watch) yang telah memberikan catatan terhadap buku ini.

Segera, unduh bukunya secara gratis, sekarang di http://ugm.id/kolaborasijapelidi

Dua E-Book Literasi Digital Karya Tim Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Resmi Diluncurkan!

Berita Selasa, 26 Januari 2021

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM didukung oleh Japelidi dan SiBerkreasi dengan bahagia meluncurkan dua buku panduan literasi digital bagi Sahabat Perempuan.

Keduanya berisikan kiat-kiat praktis bagi Sahabat Perempuan dalam bermedia sosial dan bertransaksi daring secara bijak dan cermat.

Yuk, Sahabat Perempuan Bermedia Sosial dengan Bijak
http://ugm.id/panduanmedsos

Yuk, Sahabat Perempuan Bertransaksi Daring dengan Cermat
http://ugm.id/panduantransaksi

Yuk, unduh gratis sekarang! Mari bersama menjadi agen literasi digital.

123456

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Mei 2025
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  
« Apr    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY