• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • 2020
  • November
  • 30
Arsip 2020:

30 November

Mobile Advertising di Indonesia: Efektifkah untuk Menarik Hati Pelanggan?

Perspektif Senin, 30 November 2020

Perkembangan teknologi komunikasi pada abad 21 memberikan pengaruh yang gigantis terhadap dinamika sistem periklanan. Telepon seluler sebagai salah satu teknologi komunikasi yang terus dikembangkan, berhasil menciptakan batas yang sangat tipis antara dunia nyata dan virtual (Rauschnabel, 2018).  Dari sinilah mobile advertising atau periklanan seluler berangkat dan menjadi era baru dalam konsep komunikasi pemasaran.

Kenton (2018) memaknai periklanan seluler sebagai segala bentuk iklan yang muncul di perangkat seluler menggunakan koneksi nirkabel. Iklan berbasis telepon seluler dapat dituangkan dalam beragam bentuk seperti teks, video, maupun gambar. Di awal perkembangannya pada awal 2000-an, periklanan seluler banyak memanfaatkan SMS (Short Message Service) sebagai media utama. Strategi ini dipandang efektif karena dengan biaya yang rendah dapat secara bersamaan melakukan mass-marketing (pengiriman iklan ke banyak target sekaligus) dan one-to-one marketing (pengiriman iklan sesuai relevansi sasaran).

Seiring perkembangan mesin pencarian dan aplikasi dalam telepon seluler, sistem periklanan seluler makin melebarkan sayap. Iklan tidak sebatas disampaikan melalui SMS. Lebih jauh dari itu, periklanan seluler bahkan menciptakan industri baru: influencer. Kemunculan influencer yang secara khusus dibayar untuk mempromosikan suatu produk di berbagai media sosial merupakan salah satu buah dari perkembangan iklan seluler. Begitu pun dengan kemunculan viral marketing dan K-Pop marketing.

Dengan memanfaatkan durasi bermain gadget masyarakat Indonesia yang mencapai rata-rata 7-8 jam per hari, maka tiga contoh media iklan dalam mobile advertising di atas cukup menarik untuk diaplikasikan. K-pop marketing membawa unsur K-Pop dalam iklan guna menarik massa K-Popers yang luar biasa banyak. Viral marketing hadir dengan teknik memviralkan suatu produk secara sengaja, baik melalui penggunaan tagar maupun metode lainnya. Begitu pun influencer yang membawa pengaruh dengan tingkat persuasi yang tinggi terhadap pengikutnya.

Di Indonesia sendiri, konsep periklanan seluler menjadi ladang subur yang banyak dimanfaatkan berbagai perusahaan. Hal ini sejalan dengan pesatnya peningkatan pengguna smartphone ataupun internet di Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim We Are Social dan Katadata, pada tahun 2019 pengguna smartphone di Indonesia mencapai 355 juta pengguna atau 132 persen dari total populasi yang sebanyak 268,2 juta jiwa. Sementara itu, jumlah pengguna internet pada 2019 menyentuh angka 171,7 juta jiwa. Kemudian pengguna sosial media aktif tercatat sebanyak 150 juta dan pengguna sosial media mobile aktif sejumlah 130  juta.

Mengingat smartphone dan internet adalah dua hal yang tak terpisahkan bagi manusia di era sekarang, maka kondisi tersebut menyediakan potensi yang sangat besar dalam upaya pengiklanan produk. Bahkan, pada  tahun 2020 ini, belanja iklan di media online mencapai angka Rp 24,2 triliun (Djailani, 2020). Hal ini menunjukkan tingginya antusiasme perusahaan yang mengintegrasikan sistem periklanan seluler ke dalam rencana pemasaran mereka. Pertanyaan selanjutnya, seberapa efektifkah pengaplikasian metode mobile advertising dalam menggaet pelanggan? Apakah angka belanja online yang sedemikian besar menunjukkan opsi ini memang benar-benar sangat ampuh dalam meningkatkan insight dan tingkat penjualan produk?

Secara garis besar, mobile advertising dapat diturunkan menjadi dua tipe, yakni push type advertisement dan pull type advertisement. Perbedaan mendasar dari keduanya dapat dilihat dari teknik pendekatan kepada konsumen. Tipe push cenderung muncul dengan paksa tanpa kemauan konsumen. Sebab, iklan jenis ini bersifat menyampaikan dan mendatangkan merk ke pelanggan sehingga pelanggan menjadi tahu. Sementara pull type advertisement cenderung berusaha mendorong konsumen untul mendatangi merk dengan membuatnya menjadi tertarik melalui konten iklan tersebut.

Fakta menariknya, karena saat ini telepon seluler merupakan hal yang mencakup ranah pribadi, keberadaan mobile advertising, terkhusus yang hadir dalam bentuk push type, dianggap cukup mengganggu (Salem, 2018). Ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan sivitas akademika Universitas Indonesia pada tahun 2011, yang mana dijelaskan bahwa dari 52,6% responden perempuan dan 42,4% responden laki-laki, sebagian besar dari mereka atau 57,7% dari total responden merasa tidak senang dan hanya 10,6% yang merasa tidak terganggu.

Krisnamurthy (2001) mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi kesediaan konsumen terhadap penerimaan iklan: (1) Relevansi pesan (berkenaan dengan daya tarik iklan dan kesesuaiannya dengan konsumen; (2) Biaya pemrosesan (berkenaan dengan beban kognitif dalam proses menerima pesan); (3) Biaya privasi (berkaitan dengan ketidakpastian penyalahgunaan informasi).

Dari indikator di atas maka dapat dipahami bahwa iklan yang hadir dengan “memaksa” cenderung tidak dapat memenuhi indikator, terutama pada poin A dan C. Ketertarikan dan perasaan “tidak diganggu” akan sulit dicapai dengan metode tersebut. Karena itu, konten jenis ini perlu dihindari dalam  mobile advertising.

Jadi, meskipun gadget dan internet adalah dua hal tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, tingkat efektivitasnya dalam membantu pemasaran suatu produk tetap bergantung pada seperti apa iklan tersebut dibingkai dan bagaimana metode penyampaiannya. Menurut Salem & Althuwaini (2018), faktor lain yang mempengaruhi tindakan konsumen pasca menerima iklan adalah relevansi pesan, nilai informasi, dan waktu pengiriman. Maka dari itu, penataan sistem pengiklanan produk yang menarik tetap diprioritaskan untuk mendorong minat konsumen. Dengan demikian, seberapa tinggi efektivitas mobile advertising terhadap  peningkatan penjualan produk sangat bergantung pada bagaimana  framing iklan itu sendiri.

 

 

Referensi

Chen, P., Cheng, Joe Z., dkk. Mei, 2014. Mobile Advertising Setting Analysis and Its Strategic Implications. Technology in Society, 39, 129-141. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0160791X14000530

Dailysocial.id. Mei, 2017. Eka, Randy. Memahami Potensi dan Tantangan Mobile Advertising di Indonesia. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://dailysocial.id/post/memahami- potensi-dan-tantangan-mobile-advertising-di-indonesia

Investopedia.com. Februari, 2018. Kenton, Will. Mobile Advertising. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://www.investopedia.com/terms/m/mobile-advertising.asp

Isa, Sani M., dkk. 2011. Analisis Efektivitas Pemasangan Iklan Pada Aplikasi Mobile Dan Faktor-faktor Yang Memengaruhinya. Jurnal Sistem Informasi, Vol 7, no.1, 42-54. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://media.neliti.com/media/publications/133249-ID-analisis-efektivitas-pemasangan-iklan-pa.pdf

Salem, Mohammed & Althuwaini, Sulaiman. April, 2018. Mobile Advertising and Its impact On Message Acceptance and Purchase Intention. Journal of Business and Retail Management Research, Vol 12, no. 3, 92-101. Diakses pada 12 Oktober 2020. DOI: 10.24052/JBRMR/V12IS03/ART-08

Suara.com. 2020. Djailani, Mohammad. Belanja Iklan Media Online Naik Tajam saat Pandemi Tembus Rp242 Triliun. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://www.suara.com/bisnis/2020/08/25/180809/belanja-iklan-media-online-naik-tajam-saat-pandemi-tembus-rp-242-triliun

Wearesocial.com. 2019. Indonesian Digital Report 2019. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/

 

Penulis: Zulfa Alyza | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Endorsement di Kalangan Influencer Media Sosial

Perspektif Senin, 30 November 2020

Dewasa ini, media sosial merupakan hal yang penting bagi manusia modern. Manusia menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan sesama, berhubungan dengan kerabat yang jauh posisinya, berbagi informasi, berekspresi, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat media sosial tak dapat terlepas dari para penggunanya.

Kegunaan lain media sosial adalah sebagai media periklanan. Banyaknya jumlah pengguna media sosial menjadi salah satu faktor pendorong kepopuleran media sosial sebagai media periklanan. Pengguna yang banyak memungkinkan pengiklan untuk mendapatkan engagement dan meraih audiens yang lebih luas. Dengan kata lain, media sosial menjanjikan efektivitas iklan yang tinggi.

Salah satu metode iklan yang dapat dilakukan di media sosial adalah endorsement. Endorsement adalah strategi pemasaran yang melibatkan seseorang dengan pengaruh publik yang  kuat untuk mempromosikan suatu produk. Endorsement dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memublikasikan pemakaian produk, membuat ulasan positif tentang produk, dan mempersuasi publik untuk membeli suatu produk. Endorsement bertujuan untuk menggaet calon konsumen yang memiliki ketertarikan terhadap seorang figur publik.

Biasanya, figur publik yang melakukan kegiatan endorsement di media sosial disebut dengan influencer. Istilah influencer sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berarti orang yang memberikan pengaruh. Menurut Veirman, Cauberghe, dan Hudders (2017), influencer media sosial adalah orang-orang yang telah membangun jaringan sosial dengan jumlah pengikut yang cukup banyak dan jumlah pengikut tersebut merepresentasikan tingkat popularitas mereka. Dengan jumlah pengikut yang banyak, influencer memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi dan opini publik. Menurut Casaló, Flavián, dan Ibánez‐Sánchez (2018), influencer di media sosial dapat dianggap sebagai pemimpin opini publik.

Walaupun sama-sama memiliki pengaruh yang besar terhadap publik, influencer media sosial memiliki beberapa perbedaan dengan selebritas. Influencer media sosial lebih sering berbagi konten tentang kehidupan pribadinya dan berinteraksi secara langsung dengan pengikutnya ketimbang selebritas. Hal ini menyebabkan publik merasa lebih terhubung dengan para influencer daripada dengan selebritas (Schau & Gilly, 2003).

Influencer yang kerap membagikan kehidupan pribadinya di media sosial memberikan kesan intim, dekat, dan nyaman bagi para pengikutnya. Influencer pun menjadi mudah dipercaya oleh penggemarnya. Orang-orang yang mengikuti influencer tersebut juga mengamini segala ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh sang influencer. Hal ini kemudian dijadikan peluang oleh para influencer yang ingin mencari uang dan para pemilik brand yang ingin mempromosikan produknya. Jasa endorsement pun lahir sebagai solusi.

Endorsement dianggap sebagai strategi pemasaran yang praktis. Sebelum ada media sosial dan internet, strategi pemasaran dengan word-of-mouth hanya sampai kepada keluarga, kerabat, dan teman-teman terdekat. Akan tetapi, dengan media sosial dan internet, word-of-mouth dapat menyebar luas dalam waktu yang singkat. Hanya dengan satu unggahan konten di media sosial, sebuah produk dapat membuat impresi kepada audiens yang luas. Dengan ini, pemilik brand dapat menghemat waktu dan tenaga untuk mempromosikan produknya.

Walaupun dianggap sebagai strategi pemasaran yang praktis dan efisien, efektivitas endorsement di media sosial tetap dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, menarik atau tidaknya influencer yang berperan sebagai endorser memiliki pengaruh terhadap hasil akhir dari kegiatan endorsement ini. Influencer yang memiliki pembawaan menarik (tidak hanya dalam aspek fisik) dan memiliki citra baik di pandangan publik biasanya lebih dipilih oleh pemilik brand untuk mempromosikan produk miliknya. Semakin menarik seorang influencer, semakin tertarik pula orang-orang untuk membeli produk yang dipromosikan. Kedua, produk yang akan dipromosikan harus memiliki kecocokan dengan influencer yang mempromosikan. Meskipun influencer tersebut menarik, efektivitas endorsement akan berkurang apabila tidak terdapat pola yang cocok antara influencer dan produk. Apabila seorang influencer yang kerap membagikan konten mengenai dunia kecantikan dan kosmetik melakukan endorse produk otomotif, kemungkinan besar endorsement tersebut tidak akan efektif karena tidak terdapat pola kecocokan antara kedua hal tersebut.

Endorsement memang memiliki sejumlah dampak positif bagi beberapa pihak. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan endorsement ini. Salah satu jenis konten yang diunggah oleh para influencer untuk memenuhi asupan konten para penggunanya adalah konten ulasan. Konten ulasan ini terkadang disalahgunakan oleh influencer untuk mempromosikan suatu produk. Ulasan yang seharusnya bersifat jujur dan sesuai dengan pengalaman sang influencer malah disusupi promosi berbayar. Hal ini dapat merugikan para pengikutnya karena mereka mengharapkan ulasan yang sebenar-benarnya, sedangkan ulasan yang diberikan oleh sang influencer tidak sepenuhnya jujur. Dengan kata lain, endorsement dapat membuat seorang influencer membohongi para pengikutnya.

Selain berbohong pada konten ulasan, beberapa influencer juga kerap melebih-lebihkan produk yang mereka promosikan. Misalnya, di media sosial, seorang influencer kecantikan menyatakan bahwa rahasia kulit cerahnya adalah menggunakan produk X. Akan tetapi, di kehidupan nyata, influencer tersebut melakukan serangkaian proses perawatan kecantikan yang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Produk yang diklaim sebagai rahasia kecantikannya justru tidak dipakai sama sekali. Hal ini memberikan dampak negatif bagi pengikut sang influencer yang ingin mengikuti jejak kecantikannya. Mereka berharap bahwa dengan memakai produk X, kulit mereka akan menjadi cerah. Kenyataannya, mereka tak akan bisa karena pernyataan tersebut hanyalah manipulasi promosi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa endorsement dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif. Di satu sisi, endorsement merupakan strategi pemasaran yang memiliki efektivitas tinggi sehingga dapat menguntungkan pemilik produk. Di sisi lain, tak jarang influencer yang kerap membohongi pengikutnya demi kelancaran endorse-nya. Dengan demikian, endorsement di kalangan influencer media sosial memiliki pengaruh yang besar bagi banyak pihak.

 

Referensi

Chen, Y., Fay, S., Wang, Q. (2011). The Role of Marketing in Social Media: How Online Consumer Reviews Evolve. Journal of Interactive Marketing. 25. 85-94. Doi:10.1016/j.intmar.2011.01.003

Dhanesh, G., Duthler, G. (2019). Relationship management through social media influencers: Effects of followers’ awareness of paid endorsement. Public Relations Review. 45(3). 1-13. Doi:10.1016/j.pubrev.2019.03.002

Janssen, L., Schouten, A., Verspaget, M. (2019). Celebrity vs. Influencer endorsements in advertising: the role of identification, credibility, and Product-Endorser fit. International Journal of Advertising. 39(2). 258-281. Doi:10.1080/02650487.2019.1634898

Torres, P., Augusto, M., Matos, M. (2019). Antecedents and outcomes of digital influencer endorsement: An exploratory study. Psychology Marketing. 36(12). 1267-1276. Doi:10.1002/mar.21274

 

Penulis: Syakhira Qiarasyifa | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Mobile Advertising Merajai Dunia Digital

Perspektif Senin, 30 November 2020

Akhir-akhir ini, banyak dijumpai konten yang berlalu-lalang di sosial media. Hal itu sudah diketahui semua orang mengingat kita berada di zaman yang sangat melek akan adanya teknologi. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sekarang ini, ia berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Menurut Dwiningrum (20212:171) sekarang ini, kemajuan teknologi benar-benar telah diakui dan dirasakan memberi banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia. Perkembangan teknologi sangat berpengaruh di kehidupan manusia sehingga mendukung perkembangan teknologi internet. Dengan adanya internet, berbagai aktivitas dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. Manusia sekarang ini telah memasuki era yang disebut the third wave (gelombang ketiga). Era ini biasa disebut era industrialisasi atau era informasi.

Jumlah populasi masyarakat Indonesia sebanyak 256,4 juta orang, 49 persen diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial (Anggraeni, 2018). Besarnya angka tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan teknologi yang kini telah banyak digunakan. Untuk itu, banyak peluang yang bisa digunakan untuk mengembangkan suatu usaha yang harus dicapai orang tersebut. Oleh karena itu, banyak dampak positif maupun negatif yang diperoleh dari adanya internet. Hal ini tentu dimanfaatkan oleh sebagian manusia dalam menghadapi globalisasi yang telah menyeluruh ke seluruh kehidupan masyarakat di seluruh dunia, salah satu contohnya dalam dunia bisnis. Penggunaan internet dalam dunia bisnis dapat berfungsi sebagai alat untuk bertukar informasi secara elektronik untuk strategi bisnis, seperti pemasaran, penjualan, dan pelayanan pelanggan.

Teknologi yang telah berpengaruh pada dunia bisnis ini tentunya juga berpengaruh pada periklanan. Seperti yang biasa kita lihat ketika sedang berselancar di dunia maya, kita seringkali menemukan iklan yang kadang bermanfaat, tetapi kadang terkesan mengganggu. Menurut Peter dan Olson (2000) periklanan telah digambarkan sebagai manajemen gambar, maksudnya adalah membuat dan memelihara gambar dan arti di pikiran konsumen. Definisi periklanan menurut Suhandang (2005) adalah suatu proses berkomunikasi secara massa yang melibatkan sponsor tertentu, yaitu pemasang iklan yang membayar jasa media massa atas penyiaran iklannya. Saat ini, periklanan adalah salah satu strategi yang banyak digunakan dalam mempromosikan suatu produk yang telah diciptakan oleh produsen baik dalam bentuk barang maupun jasa. Bentuk promosi yang dilakukan pada masa sekarang ini jika dilihat sudah jauh berbeda dengan gaya iklan yang dilakukan zaman dahulu. Jika dahulu pembuatan iklan dilakukan dengan menggunakan media seperti koran atau radio, sekarang ini pembuatan iklan dapat dilakukan melalui mobile advertisement. Menurut Tsang dan Liang dalam lin et al. (2014:1410) mobile advertisement  adalah pemasaran nirkabel, di mana pengiriman pesan iklan dilakukan melalui jaringan nirkabel ke perangkat mobile seperti ponsel. Leppaniemi dan Karjaluoto dalam Muzaffar et al. (2011: 230) periklanan seluler  mencakup kegiatan yang memberikan iklan melalui ponsel untuk menciptakan kesadaran suatu merek dan mempromosikannya kepada pelanggan. Dengan kata lain, saat ini perkembangan iklan dengan internet sudah marak digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Iklan yang dibuat dengan media internet terbagi dalam beberapa bentuk, antara lain video, sponsorship, iklan swalayan, serta iklan kontekstual. Menurut Kotler dan Amstrong (1997:80) salah satu kelebihan mengiklankan produk dengan online yaitu karena saat ini internet merupakan media yang tumbuh dan berkembang pesat, sehingga dapat menjangkau target pemirsa yang sempit, sebagian besar memerlukan jangka waktu yang pendek dalam pembuatan, serta biaya yang dikeluarkan relatif murah. Sedangkan kekurangannya yaitu pada sebagian calon konsumen yang tidak dapat mengakses internet, sulit mengukur efektivitas dan pengembalian investasi, serta eksposur iklan yang bergantung pada “klik melalui” judul pada iklan. Menurut Kotler (2005) pemilihan media periklanan adalah mencari media yang dirasa paling efektif dari segi biaya untuk menyampaikan jumlah dan jenis paparan yang diinginkan kepada sasaran pemirsa. Selain itu, pengemasan iklan melalui internet juga sangat bermacam-macam, dari yang hanya satu kali klik untuk menuju situs yang dituju hingga perlu diperankan oleh tokoh agar terlihat lebih menarik.

Berdasarkan laporan digital pada Januari 2020 yang dilansir We are Social dan Hootsuite tentang sosial media terpopuler digunakan di Indonesia, Youtube memegang peringkat tertinggi. Kemudian disusul oleh WhatsApp, Facebook, Instagram, dan Twitter. Beberapa platform yang disebutkan di atas merupakan sosial media yang paling sering digunakan masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan. Jika menilik isi dari masing-masing platform tersebut, banyak konten bermanfaat yang dapat diambil. Konten tersebut dapat berupa musik, gambar, video, hingga berita. Namun, sengaja atau tidak sengaja kita pasti menemukan iklan yang terselip saat kita mengakses platform tersebut. Salah satu contohnya Instagram, dalam pembuatan konten di Instagram, sering ditemui iklan bersponsor baik di linimasa maupun di insta stories yang merupakan fitur dari platform itu sendiri. Hal ini merujuk pada bahasan mobile advertisement yang sudah dipaparkan di atas.

Periklanan yang digunakan di platform Instagram dan media sosial lain termasuk periklanan seluler karena menggunakan jaringan internet untuk menjalankannya. Hal ini merupakan hasil kemajuan teknologi yang kini telah banyak digunakan oleh masyarakat bahkan tidak hanya di Indonesia. Keberadaan internet yang menunjang mobile advertisement ini dirasa telah merajai dunia digital terutama di masa pandemi yang hampir semua kegiatan dilakukan secara daring. Oleh karena itu, kita perlu mengambil langkah dengan bijak agar tidak terperangkap pada hal-hal negatif yang diakibatkan oleh internet.

 

 

Referensi

Imasari, Kartika. 2010. “Sikap, Periklanan, dan Attitude Toward Advertising”. Jurnal Manajemen. Vol. 9, No. 2. Hal. 116. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari media.neliti.com

Imasari, Kartika dan Cen Lu. 2010. “Pengaruh Media Periklanan Terhadap Pengambilan Keputusan Siswa SMU Untuk Mendaftar di Universitas Kristen Maranantha: Sikap Konsumen Sebagai Variabel Moderasi (Studi Kasus Siswa SMU di Bandung)”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE). Vol. 17, No.2. Halaman 109-111. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari media.neliti.com

Lasfita, L., Sunarti, dan Andriani Kusumawati. 2015. “Pengaruh Periklanan Mobile Dalam Bentuk SMS dan Citra Produk Terhadap Sikap Konsumen”. Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol. 25. Halaman 2. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari media.neliti.com

Muzaffar, F., dan Kamran, S. 2011. Sms Advertising: Youth Attitudes Toward Perceived Informativeness, Irritation, and Credibility. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business. 3(1). 230-245. Diakses pada 18 Oktober 2020.

Ngafifi, Muhamad. 2014. “Kemajuan Teknologi dan Pola Hidup Manusia dalam Perspektif Sosial Budaya”. Jurnal Pembangynan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Vol. 2, No.1. Halaman 34. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari https://journal.uny.ac.id/

Nuraeni, Reni dan D. S. Puspitarini. 2019. “Pemanfaatan Media Sosial Sebagai Media Promosi”. Jurnal Common. Volume 3, Nomor 1. Halaman 72. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari search.unikom.ac.id

Prasetyo, D. D., Sunarti, dan Edy Yulianto. 2016. “Pengaruh Iklan Secara Online Terhadap Kepuasan Pembelian (Survey Pada Mahasiswa Pengguna Produk Telkomsel Internet 4G LTE)” Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). Vol. 41, No. 1. Hal. 172. Diakses tanggal 19 Oktober 2020, dari https://docplayer.info/43113978

Ramadhan, Bagus. 2020. Data Internet dan Perilakunya Tahun 2020. Diakses tanggal 18 Oktober 2020, dari URL https://teknoia.com/data-internet-di-indonesia-dan-perilakunya-880c7bc7cd19

 

Penulis: Kevida Aida | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

PERAN VITAL KOMUNIKASI KRISIS DALAM PENANGANAN PANDEMI COVID-19

Perspektif Senin, 30 November 2020

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020 lalu. Covid-19 sendiri terjadi akibat infeksi virus korona yang menyerang sistem pernapasan manusia. Gejala awal infeksi virus korona ini hampir sama dengan flu biasa, yaitu batuk, demam, pilek, dan sakit tenggorokan. Pandemi ini bermula di Kota Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019 sebelum akhirnya menyebar ke negara lain.

Harian Kompas (18 April 2020) memberitakan rangkuman peristiwa pertama Covid-19. Di luar Cina, kasus positif Covid-19 pertama terjadi di Thailand pada 13 Januari 2020. Disusul Prancis dan Australia pada 25 Januari 2020. Uni Emirat Arab menjadi negara di kawasan Timur Tengah pertama yang mengkonfirmasi kasus positif pada 29 Januari 2020. Selanjutnya, pandemi Covid-19 mulai merambah Benua Afrika dengan ditemukannya kasus positif di Mesir pada 14 Februari 2020. Sebelas hari berselang, negara di Benua Afrika lainnya yaitu Aljazair melaporkan kasus Covid-19 pertamanya.

Sementara itu, kemunculan kasus positif Covid-19 pertama di Thailand tidak membuat pemerintah  bersiap dan mengambil langkah antisipatif bilamana pandemi tersebut menular hingga ke Indonesia. Padahal, seperti kita ketahui  bersama, Thailand merupakan negara tetangga yang mempunyai letak cukup dekat dengan Indonesia. Menurut Direktur Center untuk Media LP3ES, Wijayanto, seperti yang dikutip Detik.com (6 April 2020), Pemerintah Indonesia cenderung menyangkal, bahkan terkesan menolak peringatan – peringatan tentang bahaya virus korona dari lembaga – lembaga dunia. Hal ini terlihat dari pernyataan – pernyataan kontroversial dari beberapa pejabat pemerintahan.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto cenderung denial saat menanggapi rekomendasi Universitas Harvard pada 11 Februari lalu yang menyatakan virus korona seharusnya sudah masuk ke Indonesia. Hal senada juga diungkapkan Mahfud M.D. melalui kelakarnya di media sosial yang mengatakan bahwa Covid tidak sampai ke Indonesia karena perizinannya berbelit – belit  (Wijayanto, Detik.com, 6 April 2020). Selain itu, pemerintah juga malah menganggarkan 72 miliar rupiah untuk membayar jasa influencer dan promosi media demi menggenjot pariwisata Indonesia yang lesu akibat penyebaran pandemi Covid-19 (Kompas.com, 2 September 2020). Hal ini langsung menuai reaksi negatif dari masyarakat. Pemerintah dianggap tidak serius dalam mencegah pandemi Covid-19 karena malah membuka akses untuk masuk ke Indonesia disaat banyak negara yang sudah menutup akses untuk wisatawan asing demi mencegah penularan virus korona.

Pemerintah baru tanggap dalam menangani pandemi Covid-19 saat ditemukannya kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020. Melalui juru bicara pemerintah untuk penanganan wabah corona, Achmad Yurianto, pemerintah melakukan update reguler tentang perkembangan virus korona di Indonesia. Selain Ahmad Yurianto, dalam konferensi pers tersebut juga terselip beberapa keterangan dari tokoh masyarakat dan orang – orang atau pihak yang berwenang memberikan informasi. Hal ini perlu kita apresiasi menilik buruknya komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah sebelum adanya kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Sayangnya, komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dinilai tidak cukup baik. Ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang menganggap remeh pandemi Covid-19 dan tidak menerapkan protokol kesehatan. Keadaan ini disinyalir merupakan buntut dari pernyataan – pernyataan kontroversial para pejabat pemerintahan yang pada awal pandemi mengeluarkan statement yang terkesan menyepelekan bahaya virus korona. Masyarakat yang awam akan bahaya Covid-19 pun akhirnya banyak yang tergiring opininya dan ikut berpendapat sama. Hal ini diperparah dengan banyaknya hoaks dan teori – teori konspirasi yang berkembang.

Selain itu, ada kesangsian terhadap data jumlah kasus yang disampaikan pemerintah dari hari ke hari. Sikap pemerintah yang terkesan menutup – nutupi jumlah pasien positif Covid-19 menjadi andil besar dalam hal ini. Akibatnya banyak masyarakat yang menuntut transparansi data. Menurut pakar komunikasi massa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Gilang Desti Parahita, seperti yang dilansir Katadata (23 Juni 2020) mungkin pemerintah ingin menghindari kepanikan, namun sense of crisis-nya lemah sehingga maksudnya tidak tersampaikan dengan baik.

Pada awal terjadinya pandemi, masyarakat juga sempat kebingungan akibat adanya kebijakan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Contohnya saat itu kita sempat dihebohkan dengan beberapa pemerintah daerah yang memberlakukan karantina wilayah (lockdown) untuk daerahnya masing – masing. Sementara itu, pemerintah pusat melalui Presiden Jokowi mengemukakan bahwa kebijakan karantina wilayah (lockdown) baik di tingkat nasional maupun daerah adalah kewenangan pemerintah pusat dan tidak boleh diambil pemerintah daerah (CNN Indonesia, 28 Maret 2020). Selain itu, komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah juga dinilai tidak efektif karena menggunakan ragam istilah asing yang sulit dipahami masyarakat awam.

Dari pernyataan – pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 bisa dikatakan tidak cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah, pernyataan para pejabat yang terkesan menyepelekan bahaya Covid-19, hingga tidak adanya transparansi data tentang jumlah pasien positif Covid-19. Atas dasar itu, perlu adanya perbaikan mengenai komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.

 

Referensi

Baskara, Bima. (2020, April 18). Rangkaian Peristiwa Pertama Covid-19. Kompas.id. Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/18/rangkaian-peristiwa-pertama-covid-19/

Bayu, Dimas Jarot. (2020, Juni 23). Komunikasi Krisis Pemerintah Menangani Pandemi Corona dinilai Buruk. Katadata. Diakses dari  https://katadata.co.id/agungjatmiko/berita/5ef1e78ac2977/komunikasi-krisis-pemerintah-menangani-pandemi-corona-dinilai-buruk

Hakim, Rakhmat Nur. (2020, September 2). Kilas Balik 6 Bulan Covid-19: Pernyataan Kontroversial Pejabat soal Virus Corona. Kompas.com. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/09/02/09285111/kilas-balik-6-bulan-covid-19-pernyataan-kontroversial-pejabat-soal-virus?page=all

Lockdown Daerah, Simbol Karut – marut Penanganan Corona. (2020, Maret 28). CNN Indonesia. Diakses dari 

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200327161721-20-487625/lockdown-daerah-simbol-karut-marut-penanganan-corona

Mawardi, Isal. (2020, April 6). Ini Daftar 37 Pernyataan Blunder Pemerintah Soal Corona Versi LP3ES. Detik.com. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4967416/ini-daftar-37-pernyataan-blunder-pemerintah-soal-corona-versi-lp3es/3

 

Penulis: Firyal | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Humas VS Pandemi Covid-19: Komunikasi Krisis Gojek melalui Instagram

Perspektif Senin, 30 November 2020

Pandemi Covid-19 merupakan krisis utama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia pada tahun 2020. Istilah krisis, menurut Fearn-Banks (2016, h.1), berarti kejadian abnormal yang dapat mengganggu keberlangsungan organisasi, perusahaan, atau industri sehingga dapat menimbulkan kerugian.  Gojek merupakan salah satu perusahaan yang terkena dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia.  Kebijakan-kebijakan seperti Work from Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghambat Gojek sebagai salah satu penyedia layanan jasa untuk beroperasi. Pada awal tahun pun Gojek sempat harus melepas 9% dari total karyawannya akibat kerugian yang dialami (Zaenudin, 2020).

Untuk mengatasi krisis tersebut, dalam bidang hubungan masyarakat (selanjutnya akan ditulis humas), Gojek ditantang untuk meningkatkan relevansi serta reputasinya di tengah masyarakat. Selain itu, humas harus berupaya untuk menjaga kepercayaan pelanggan dalam menggunakan jasanya selama pandemi agar dapat meminimalisir kerugian. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut—dalam ranah kehumasan—diperlukan penerapan manajemen krisis dan komunikasi krisis.

Di kala pandemi, manajemen krisis menjadi salah satu komponen utama humas dalam memastikan organisasi dapat melangkah secara strategis. Manajemen krisis sendiri merupakan seperangkat upaya untuk melindungi organisasi, pemegang kepentingan serta industri dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh sebuah krisis. (Coombs, 2014, h.5).  Namun, tidak cukup berupaya, manajemen krisis harus dipastikan dapat memberikan output yang setara dengan upaya yang telah dikeluarkan perusahaan. Oleh karena itu, dalam ranah kehumasan, upaya manajemen krisis harus diiringi dengan penerapan komunikasi krisis.

Krisis merupakan peristiwa mendadak yang sangat berpotensi menciptakan keriuhan dan misinformasi. Penerapan komunikasi krisis bertujuan untuk mengatur jalannya komunikasi dan persebaran informasi baik di dalam, maupun di luar perusahaan selama krisis terjadi. Menurut Coombs (2010, h.20), komunikasi krisis merupakan distribusi informasi berisi respons perusahaan yang telah diproses terlebih dahulu. Melalui penerapan komunikasi krisis, humas dapat menjembatani komunikasi antara perusahaan dan pemegang kepentingan sehingga upaya manajemen krisis tidak menjadi sia-sia.

Di era digitalisasi ini, mayoritas humas sudah beralih dari penggunaan media tradisional menuju media baru, khususnya media sosial (Grunig, 2009, h.1). Selama pandemi Covid-19, Gojek pun memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk berkomunikasi. Dengan jumlah pengikut yang hampir menyentuh satu juta, akun Instagram @gojekindonesia digunakan sebagai pusat persebaran informasi perusahaan.

Dalam akun Instagram Gojek, terdapat beberapa informasi perusahaan yang diunggah humas dalam rangka mensukseskan upaya manajemen krisis Gojek. Informasi tersebut dapat dikategorisasi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok informasi kegiatan perusahaan, kelompok informasi kebijakan, dan kelompok informasi kampanye protokol kesehatan.

Kelompok informasi kegiatan perusahaan mengacu pada informasi-informasi tentang usaha yang telah dilaksanakan perusahaan dalam rangka menciptakan ekosistem yang aman bagi mitra kerja dan pelanggan. Misalnya, pada 20 Maret 2020, Gojek mengunggah dokumentasi kegiatan pembekalan protokol kesehatan Covid-19 kepada para mitra kerja pada akun Instagramnya. Pada 2 April 2020, akun Instagram Gojek juga mengunggah inisiatif mereka dalam mengimpor lima juta masker medis sebagai bantuan kepada mitra kerja dan tenaga kesehatan di Indonesia.

Beralih ke kelompok kedua, Instagram Gojek pun menyediakan kelompok informasi kebijakan pada akun Instagram mereka. Kelompok informasi kebijakan berisi tentang kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Gojek untuk beradaptasi selama pandemi Covid-19. Salah satunya, pada 23 Maret 2020, Instagram Gojek mengunggah foto prosedur baru GoFood (layanan pesan antar makanan) dengan memerhatikan psotokol kesehatan Covid-19. Pada 13 Juni 2020, Gojek kembali mengunggah foto kebijakan baru berupa fitur sekat plastik yang membatasi mitra kerja dan pelanggan pada GoCar (layanan transportasi roda empat).

Terakhir, kelompok informasi kampanye protokol kesehatan turut meramaikan profil Instagram Gojek. Pada 27 Juni 2020, Gojek meluncurkan kampanye protokol kesehatan yang bernama J3K (Jaga Kesehatan, Jaga Kebersihan, Jaga Keamanan) melalui unggahan infografis pada akun Instagramnya. Pada deskripsi, Gojek menulis penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan dari diadakannya kampanye protokol kesehatan J3K. “Jadi, J3K adalah upaya #GoJ3K” dalam menjaga kesehatan, kebersihan, keamanan kamu dan seluruh mitra demi memastikan kenyamanan kamu saat menikmati semua layanan Gojek, kayak tiga gambar yang kamu liat di atas” (Gojek, 2020). Pada 30 Juni, Gojek melanjutkan kampanye dengan mengunggah video pada berisi tindak lanjut dari protokol J3K berupa Posko Aman J3K yang tersebar di dua ratus area layanan di Indonesia.

Ketiga kelompok informasi tersebut secara aktif diungggah oleh Gojek hingga bulan Oktober 2020. Tercatat pada 1 Oktober 2020, Gojek kembali mengunggah kelompok informasi kampanye protokol kesehatan dengan mengangkat isu masker.

Dengan mengatur distribusi ketiga kelompok informasi tersebut pada Instagram, humas Gojek dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan reputasi dan relevansi Gojek di tengah pandemi. Melalui Instagram, informasi-informasi tersebut dapat menjangkau masyarakat dalam skala yang besar. Misalnya salah satu unggahan yang sukses meraih publisitas tinggi adalah video tentang bantuan masker yang telah disebutkan sebelumnya. Tertanda sejak 2 April 2020, video tersebut telah ditonton sebanyak 1,1 juta kali oleh para pengguna Instagram. Bahkan, video seorang mitra yang sedang menjelaskan fitur baru GoJek (layanan transportasi roda dua) berhasil mencapai angka yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 10,9 juta kali ditonton. Pada bulan Mei 2020, beberapa layanan jasa Gojek, yaitu GoFood, GoMart (layanan belanja), dan GoSend (layanan kirim barang) pun berhasil mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat (Noviyanti, 2020).

Meskipun demikian, masih banyak yang harus dibenahi dari kinerja humas Gojek dalam menghadapi krisis dan menerapkan komunikasi krisis. Seharusnya komunikasi krisis tidak hanya mengatur jalannya informasi dengan pelanggan, tetapi juga kepada para mitra kerja. Namun, apabila ditelaah pada kolom komentar Instagram Gojek, banyak sekali mitra kerja yang meminta kejelasan informasi, khususnya dari kalangan mitra supir GoJek dan GoCar. Mengutip salah satu komentar mitra di salah satu unggahan Gojek, “Sekarang kok dapat masker trs.. kadang ga dapat.. Cuma cek suhu.. klo sebelumnya suka dapet shampo Clear botol gede (besar), sanitizer, pembersih muka..” (@djoni.hartono, 2020), dapat diketahui bahwa terjadi kekurangan komunikasi antara perusahaan dan mitra kerja. Padahal, mitra kerja adalah salah satu pemegang kepentingan utama di kala krisis yang membutuhkan informasi. Kolom komentar yang berisi kritikan seperti di atas pun dapat menjadi ancaman tersendiri bagi reputasi Gojek sebagai perusahaan.

Oleh karena itu, dibutuhkan penerapan komunikasi krisis yang dapat menjangkau berbagai pemegang kepentingan. Informasi harus dipastikan mencapai seluruh pemegang kepentingan agar humas dapat memastikan kinerja perusahaan yang lebih efisien di kala krisis. Dengan demikian, upaya-upaya manajemen krisis yang telah dilakukan perusahaan dapat bermanfaat sebagai mana mestinya.

 

 

Referensi

Coombs, W. T. (2010). Parameters for crisis communication. The handbook of crisis communication, 17-53. Blackwell Publishing, ltd. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=mt0F2LBNPa8C&oi=fnd&pg=PA17&ots=DqM2aoKVGN&sig=5R6NQjTfP3eJC90lyUlaqYwZJCs

Coombs, W. T. (2014). Ongoing crisis communication: Planning, managing, and responding. Sage Publications. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=CkkXBAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=Coombs,+W.+T.+(2007b).+Ongoing+crisis+communication:+Planning,+managing,+and+responding+(2nd+edn.).+Los+Angeles:+Sage.&ots=NIu84hen6f&sig=CNNbEXY2Tz8CQ5xC8kr9-fcmnN0

DjoniHartono. [@djoni.hartono]. (2020, 31 Agustus). Sekarang kok dapat masker trs.. kadang ga dapat.. Cuma cek suhu.. klo sebelumnya suka dapet sampo Clear botol gede (besar). Oleh @djoni.hartono [Komentar Instagram]. https://www.instagram.com/p/CEWG3ObAuev/?utm_source=ig_web_copy_link

Fearn-Banks, K. (2016). Crisis communications: A casebook approach. Routledge. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=aOPLDAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=s+Communications:+A+Casebook+Approach&ots=Ee6ZXYq7MG&sig=GKMDQ8ZdPD4w9z9Vobt0wLrm5T8

GojekIndonesia. [@gojekindonesia]. (2020, Juni 27). Gaes, kenalin ini protokol J3K dari Gojek. Iya, kamu gak salah liat kok. Itu bukan huruf “E” kebalik. Oleh @gojekindonesia [Foto Instagram]. https://www.instagram.com/p/CB7vkDXH8Pp/?utm_source=ig_web_copy_link

GojekIndonesia. [@gojekindonesia]. (n.d.). Unggahan-unggahan [Profil Instagram]. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://www.instagram.com/gojekindonesia/

Grunig, J. E. (2009). Paradigms of global public relations in an age of digitalisation. PRism, 6(2), 1-19. https://www.researchgate.net/profile/James_Grunig/publication/46280145_Paradigms_of_Public_Relations_in_an_Age_of_Digitalization/links/00b4952b20ceba16ba000000/Paradigms-of-Public-Relations-in-an-Age-of-Digitalization.pdf

Noviyanti, S. (2020, Juli 13). Jadi Andalan, 5 Layanan Gojek Meningkat Penggunaannya. Money Kompas. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://money.kompas.com/read/2020/07/13/184100626/jadi-andalan-5-layanan-gojek-meningkat-penggunaannya-selama-pandemi

Zaenudin, A. (2020, Juni 24). Kala Grab dan Gojek Goyah Akibat Corona. Tirto.id. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://tirto.id/kala-grab-dan-gojek-goyah-akibat-corona-fKxg

 

Penulis: Kusuma Nabila | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Buzzer Sebagai Wujud Periklanan Digital

Perspektif Senin, 30 November 2020

Dunia seiring perputarannya selalu berubah dan memunculkan era-era baru. Perjalanan dunia dari masa ke masa tentu telah mengubah banyak hal. Cara berkomunikasi atau bertukar informasi antar individu menjadi suatu hal sederhana yang tampak nyata perubahannya. Bersamaan dengan revolusi industri, komunikasi dan pertukaran informasi juga terkena dampak besar sekaligus turut berevolusi di dalamnya. Salah satunya, perkembangan teknologi informasi pada bidang komunikasi yang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Teknologi mobile menjadi faktor utama dalam perkembangan tersebut. Sedikitnya terdapat dua teknologi meliputi telepon seluler dan ponsel atau komputer berjaring internet sebagai pendorong revolusi di bidang tersebut.

Pertama, telepon seluler menjadi cikal perkembangan pesat dari teknologi mobile. Perkembangan diawali dengan penemuan teknologi 1G yang menggunakan AMPS (Advance Mobile Phone System) pada pertengahan tahun 90-an. Selang sepuluh tahun setelahnya, muncul teknologi 2G meliputi TDMA (Time Division Multiple Access) dan CDMA (Code Division Multiple Access). Penemuan teknologi berbasis 1G dan 2G ini mendorong perkembangan teknologi berikutnya dengan cepat. Teknologi berikutnya dikembangkan dengan memunculkan fitur internet pada telepon seluler yang menggunakan teknologi GSM (Global System for Mobile Communications). Kedua, ponsel atau komputer berjaring internet menjadi lanjutan dari perkembangan teknologi seluler. Melalui internet, individu dapat terhubung secara virtual tanpa batas ruang dan waktu

Revolusi industri juga mendorong tingginya proses industrialisasi di berbagai bidang. Seiring pesatnya dunia industri berkembang perusahaan-perusahaan besar muncul perlu adanya pemasaran dari produk-produk tersebut. Pemasaran produk dapat dilakukan dengan strategi promosi yang disebut dengan iklan. Dunn dan Barban (1978) berpendapat, bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar uang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada konsumen, oleh perusahaan, lembaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan (Widyatama, 2007:15). Melalui iklan suatu produk dapat menarik perhatian individu terhadap produk tersebut.

Perkembangan pesat antara dunia industri dan teknologi mobile berdampak pada cara pemasaran suatu produk. Media periklanan juga turut berkembang di dalamnya. Pada awalnya pemasaran dilakukan dengan bertemunya pihak yang ingin memasarkan produknya dengan individu sebagai sasaran dari produk tersebut. Akan tetapi, teknologi mobile memudahkan proses tersebut dengan pemasangan iklan melalui media digital, seperti: televisi, radio, dan media sosial.

Memasuki era digital, periklanan jauh lebih banyak merambah media sosial. Pemasaran secara digital (digital marketing) lebih banyak digunakan pada masa sekarang. Menurut Kotler (2012) pemasaran online adalah pemasaran yang dilakukan melalui sistem komputer online secara interaktif yang menghubungkan antara konsumen dan penjual secara elektronik (Kotler, 2012). Melalui pemasaran digital praktik pemasaran dapat dilakukan secara luas dan mengikuti zaman. Pemasaran digital memunculkan istilah buzzer dalam dunia bisnis digital. Kotler dan Keller menyatakan pendapatnya mengenai Word of Mouth Communication (WOM) atau komunikasi dari mulut ke mulut sebagai proses komunikasi berupa pemberian rekomendasi baik secara individu maupun kelompok terhadap suatu produk atau jasa yang bertujuan untuk memberikan informasi secara personal. Word of Mouth kemudian di adaptasikan secara digital melalui munculnya para buzzer. Dengan kata lain buzzer media sosial lebih identik dengan upaya memperkuat suatu pesan (Arianto, 2019).

Riset oleh CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) pada tahun 2017 memaparkan beberapa karakter yang dimiliki oleh buzzer. Buzzer memiliki jaringan yang luas dan memiliki pengikut dalam jumlah besar untuk dapat mengumpulkan informasi-informasi penting. Buzzer memiliki kemampuan untuk melakukan perbincangan dengan khalayak di media sosial agar pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi. Kemampuan memproduksi konten meliputi pengetahuan jurnalistik dan pembingkaian atau pemilihan informasi. Terakhir, pembentukan motif dalam memproduksi konten.

Pada penelitian yang dilakukan Bambang Arianto, aktivitas buzzer dalam memperkuat suatu konten terbagi dalam tiga kategori, yakni membangun citra positif (supporting), mengklarifikasi citra (defensif), dan menyerang dan merusak citra pesaing (offensive). Peran supporting dan defensif  dalam dunia bisnis menjadi peran yang paling kerap dilakukan. Bergeser pada konteks politik, buzzer bergerak pada peran offensive memanfaatkan informasi baik fakta maupun hasil investigasi individual. Amplifikasi pesan dapat bergerak dengan cepat dan memunculkan motif tertentu. Dengan demikian inilah yang membuat pesan yang disampaikan bisa cepat viral atau tersebar secara luas kepada warganet (Arianto, 2019).

Teknik periklanan dalam perkembangan teknologi mobile memiliki dampak pada dunia industri. Dampak positif ditimbulkan dalam proses pemasaran online ini. Menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pemasaran suatu produk secara online. Mempublikasi dan mempromosikan produk meningkatkan kerjasama suatu industri. Selain itu, pemasaran secara digital memantik cara industri untuk terus kreatif dan inovatif dalam melakukan promosi di berbagai media.

Bersamaan dengan dampak negatif, terdapat dampak negatif yang ditimbulkan atas munculnya buzzer dalam periklanan digital. Peran buzzer semakin meluas cakupannya hingga ke ranah politik. Buzzer melancarkan doxing atau penyerangan secara personal terhadap individu yang dianggap lawan. Selain itu, buzzer dijadikan sebagai alat penggiringan opini, menyebarkan fitnah berdasarkan hoaks, dan kabar yang misleading untuk menjegal lawan politiknya. Aktivitas tersebut semakin besar dampak negatifnya saat para buzzer tidak memperhatikan kondisi masyarakat.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa perkembangan dunia industri diiringi dengan perkembangan teknologi mobile. Penemuan jejaring sosial mendorong perpindahan cara pemasaran secara digital. Buzzer menjadi salah satu wujud perkembangan periklanan dalam media digital. Menuntut para individu yang berkecimpung di dunia periklanan untuk terus inovatif dan kreatif membuat konten menjadi dampak positif dari adanya buzzer. Akan tetapi, peran buzzer yang kian bergeser ke ranah politik juga dapat menimbulkan dampak negatif, yakni munculnya sebaran berita hoax untuk saling menjatuhkan antar individu. Maka dari itu, perlu adanya batasan-batasan tertentu dalam penggunaan jasa buzzer sebagai media periklanan.

 

Referensi

Arianto, B. (2019) Buzzer Media Sosial dan Branding Produk UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal UMKM Dewantara. Volume 2 Nomor 1 Juli.

Arianto, B. (2020). Peran Buzzer Media Sosial Dalam Memperkuat Ekosistem Pemasaran Digital. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Volume 10 Nomor 1.

Dewita, Azrika. 2020. Pemanfaatan Buzzer Sebagai Media Promosi untuk Mengembangkan Ekonomu Kreatif di Dinas Pariwisata Provinsi Riau. Skripsi. Riau: Universitas Negeri Islam Sultan Syarif Kasim.

Kasemin, Kasiyanto. 2015. Agresi Perkembangan Teknologi Informasi. Jakarta: Prenemedia Group

Kotler & Armstrong. (2012). Principles of Marketing 14th Edition. New Jearsey: Pearson Education Inc.

Awal Hasan, (2020, September 20). Tirto: Yang Toksik dari Buzzer Politik. Diakses dari https://tirto.id/yang-toksik-dari-buzzer-politik-f4QD

 

Penulis: Fitri Tsalisa | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Representasi Difabel dalam Sinema dan Layar Kaca Indonesia

Perspektif Senin, 30 November 2020

Disabilitas merupakan isu yang kurang disorot dalam sinema dan layar kaca Indonesia. Dalam penyorotannya, seringkali terjadi representasi yang keliru sehingga menciptakan stereotip mengenai penyandang disabilitas atau difabel. Porsi penyorotan dan stereotip ini menentukan cara pandang masyarakat tentang penyandang disabilitas.

Difabel sebenarnya telah disorot sebagai hiburan sebelum populernya media digital, tepatnya di acara hiburan seperti pertunjukan orang aneh (freak show). Freak show sendiri merupakan pertunjukan atau pameran manusia yang memiliki kelainan atau disabilitas fisik (Bogdan, 1990 : 267). Kelainan dan disabilitas ini meliputi  manusia kerdil, gigantisme, progressive muscular atrophy, dan albinisme.

Salah satu pameran manusia aneh digelar di The American Museum oleh Phineas Taylor Barnum yang kemudian dimodifikasi menjadi sirkus keliling. Dalam pameran tersebut, Barnum melibatkan para penyandang disabilitas seperti manusia kerdil (Tom Thumb),  manusia gigantik (Anna Swan), manusia tengkorak atau living skeleton (Isaac Sprague), serta keluarga albino (The Lucasies). Pameran manusia aneh ini turut berperan dalam meningkatkan popularitas The American Museum yang terus dimodifikasi hingga dikenal dengan The Greatest Show on Earth (Saxon, 1989). Dapat dikatakan bahwa pameran tersebut merupakan bentuk eksploitasi penyandang disabilitas dalam dunia hiburan dan berperan dalam menciptakan stereotip bagi para difabel, yaitu sebagai manusia aneh.

Sementara pada program hiburan jam tayang utama di Amerika Serikat, Henderson & Heinz-Knowles pada 2003 (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) menemukan bahwa hanya 0,6% dari karakter tokoh di televisi yang merupakan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan kurangnya porsi representasi penyandang disabilitas di layar kaca.

Representasi penyandang disabilitas juga terdapat dalam media hiburan Indonesia. Representasi ini dapat ditemukan dalam beberapa film seperti “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” (2011), “Hafalan Shalat Delisa” (2011), “Rumah Tanpa Kaca” (2011), dan “Pengabdi Setan” (2017). Selain itu, representasi difabel juga ditemukan dalam beberapa program televisi seperti sinetron “Si Cecep” (2004), acara situasi komedi “Opera Van Java” (2008), dan acara gelar wicara komedi “Ini Talkshow” (2014).

Representasi dalam media hiburan layar kaca berperan dalam konstruksi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap disabilitas serta penyandangnya. Representasi inilah yang akhirnya menciptakan stereotip karena sifatnya yang cenderung memarginalkan penyandang disabilitas.

Longmore (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) mendeskripsikan marginal penyandang disabilitas atau difabel dalam televisi dan sinema dalami lima potret utama. Yang pertama adalah potret penyandang disabilitas sebagai orang jahat atau kriminal. Potret ini dapat ditemukan dalam film “Gundala” (2019) yang direpresentasikan oleh tokoh Pengkor (Bront Palarae). Tokoh Pengkor menggambarkan sosok mafia dengan luka bakar di bagian kanan tubuhnya dan kaki yang pincang. Sosok Pengkor sendiri merupakan tokoh antagonis yang berseberangan dengan Gundala—tokoh pahlawan di film ini.

Yang selanjutnya adalah potret penyandang disabilitas sebagai monster atau sosok yang menakutkan. Potret ini ditemukan dalam sinetron “Tuyul dan Mbak Yul” (1997) yang direpresentasikan tokoh tuyul bernama Ucil. Selain itu, Ucil juga diperankan oleh Ony Syahrial yang sebenarnya memiliki disabilitas berupa kondisi tubuh lebih kecil daripada umumnya atau biasa dikenal dengan sebutan manusia kerdil. Walaupun Ucil memiliki karakter yang humoris, masyarakat tetap mengidentikkan tuyul dengan hal-hal mistis yang menakutkan.

Karakter Azis Gagap dalam “Opera Van Java” (2008) merupakan potret difabel sebagai manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted) dengan lingkungannya. Tokoh Azis Gagap merepresentasikan disabilitas berbicara (gagap). Potret maladjusted ini terlihat dalam skenario perundungan terhadap tokoh Azis Gagap yang didasarkan pada disabilitas yang dimiliki tokohnya. Tokoh Azis Gagap kerap terlihat kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawan bermainnya yang biasanya dalam jumlah banyak.

Difabel juga kerap direpresentasikan sebagai pahlawan dan memiliki kekuatan super. Contohnya adalah tokoh Ceking dalam sinetron “Ronaldowati” (2008). Tokoh Ceking menggambarkan seorang anak dengan tubuh yang kurus kering. Tubuh Ceking membuatnya dapat berlari cepat sehingga ia turut berperan dalam memenangkan beberapa pertandingan sepak bola dalam sinetron tersebut.

Yang terakhir adalah potret penyandang disabilitas sebagai manusia dengan penyimpangan seksual. Potret ini jarang disorot oleh media Indonesia, mengetahui sensitivitas Indonesia terhadap isu penyimpangan seksual. Namun, potret penyimpangan seksual dapat ditemukan pada tokoh Cecep dalam sinetron “Wah Cantiknya” (2001). Tokoh Cecep menggambarkan seorang laki-laki dengan keterbelakangan mental yang kerap asyik dalam dunianya. Hal ini menyebabkan Cecep cenderung tidak memiliki ketertarikan seksual kepada tokoh-tokoh wanita  yang jatuh hati padanya.

Masyarakat cenderung meyakini stereotip difabel yang diberikan oleh media. Stereotip yang diyakini masyarakat ini juga menentukan interaksi masyarakat dengan difabel. Penelitian Paul Hunt (dikutip oleh Pirsl & Popovska, 2013) menunjukkan sepuluh stereotip mengenai difabel dalam media yang diyakini masyarakat. Stereotip ini meliputi difabel sebagai komunitas yang harus dikasihani; sebagai objek rasa penasaran atau kekerasan; sebagai komunitas yang bersifat kejam atau jahat; diidentikkan dengan pincang; sebagai pusat perhatian; sebagai bahan tertawaan; sebagai musuh; sebagai beban; sebagai manusia non seksual; dan diidentikkan dengan kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Stereotip ini merugikan bagi penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan media membingkai karakter mereka menjadi bagian-bagian kecil sederhana. Bahkan bingkai sederhana tersebut cenderung mengarah ke citra negatif. Pada kenyataannya, difabel merupakan manusia yang lebih kompleks dan beragam (Ross, 1997).

Media sebagai penentu pandangan masyarakat (Zhang, 2010) semestinya memberikan porsi penyorotan difabel yang cukup dengan representasi bervariasi seperti difabel dalam dunia nyata. Dengan harapan masyarakat dapat mendapat gambaran yang lebih realistis mengenai penyandang disabilitas. Dengan begitu, difabel tidak lagi diidentikkan dengan konotasi negatif dan dapat dipandang seperti manusia pada umumnya.

 

Referensi

Bogdan, R. (1990). Conclusion: Freak Encounter. Notes on the Sociology of Deviance and Disability. In Freak Show: Presenting Human Oddities for Amusement and Profit (p. 267). The University of Chicago Press.

Pirsl, D., & Popovska, S. (2013). Media Mediated Disability : How to Avoid Stereotypes. International Journal of Scientific Engineering and Research (IJSER), 1(4), 42-45.

Ross, K. (1997). But where’s me in it? Disability, broadcasting and the audience. Media, Culture and Society. https://doi.org/10.1177/016344397019004009

Saito, S., & Ishiyama, R. (2005). The invisible minority: Under-representation of people with disabilities in prime-time TV dramas in Japan. Disability and Society. https://doi.org/10.1080/09687590500086591

Saxon, A. H. (1989). P. T. Barnum and the American Museum. The Wilson Quarterly, 13(4), 130–139. https://doi.org/10.2307/40257964

Zhang, Q. (2010). Asian americans beyond the model minority stereotype: The nerdy and the left out. Journal of International and Intercultural Communication. https://doi.org/10.1080/17513050903428109

 

Penulis: Annisa Gissena | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Penawaran Menggiurkan Mobile Advertising

Perspektif Senin, 30 November 2020

Seiring dengan kemajuan zaman, teknologi komunikasi juga mengalami perkembangan pesat. Terutama pada teknologi komunikasi bergerak atau mobile technology. Mobile technology merupakan bagian dari teknologi yang melibatkan pergerakan (Mau & Thein, 2009). Teknologi ini telah berkembang pesat pada beberapa tahun terakhir. Kehadirannya memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Mobilitas manusia yang semakin banyak berdampak pada meningkatnya kebutuhan manusia akan teknologi bergerak (seluler). Dalam presentasi yang berjudul “Mobile is Eating The World” oleh Benedic Evans di Tech Summit 2014, ditunjukkan data bahwa pembelian smartphone hampir mencapai 50 persen dari konsumsi dunia dalam industri elektronik (Columbus, 2014). Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari manusia terhadap teknologi seluler.

Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi seluler disebabkan oleh adanya sifat personalisasi. Sifat personalisasi menjadikan telepon seluler selalu dibawa kemanapun dan kapanpun oleh pemiliknya. Dengan adanya personalisasi ini, akan tercipta peluang besar bagi perusahaan untuk dapat melakukan komunikasi one on one kepada konsumen (Iskandar, 2014). Komunikasi one on one merupakan peluang yang dimanfaatkan oleh praktisi pemasaran. Berkaitan dengan hal itu, praktisi pemasaran perlu bekerja sama dengan operator seluler. Kerja sama antara praktisi pemasaran dengan operator seluler membuat teknologi seluler menjadi target pasar media periklanan.

Periklanan dalam teknologi seluler atau biasa disebut mobile advertising memang belum menjadi primadona. Menurut data IAB (2017), belanja iklan terbesar berada di industri televisi dengan jumlah 60 persen. Sisanya berada di media cetak dengan jumlah 18,9 persen dan media digital sejumlah 17 persen (Partawidjaja, 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa periklanan dalam teknologi seluler atau media digital masih kurang diminati, padahal mobile advertising mempunyai banyak kelebihan yang ditawarkan.

Periklanan di televisi memang masih mendominasi. Hal tersebut dikarenakan media televisi merupakan media yang digandrungi sebelum masuknya teknologi seluler. Orang-orang memilih melihat televisi karena memiliki gambar bergerak sehingga menarik. Namun, tentu saja hal itu mulai tergantikan oleh perkembangan teknologi. Bentuk televisi yang terlalu besar membuatnya tidak bisa dibawa kemana-mana dan tidak mendukung mobilitas manusia, sehingga orang-orang hanya menonton televisi pada saat tertentu. Selain itu, biaya yang relatif mahal menjadi kekurangan industri periklanan dalam televisi. Penonton juga sangat mudah mengganti channel pada saat iklan diputar (Suroto, 2016). Semua kekurangan itu dapat dijawab oleh keunggulan yang ada pada mobile advertising.

Mobile advertising akan sangat membantu perusahaan untuk dapat bergerak maju. Cakupan target konsumen yang luas dengan harga yang belum terlalu mahal menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, keberagaman model iklan yang dapat digunakan juga menambah poin plus mobile advertising. Selain iklan berbentuk gambar dan video, telah ditemukan sebuah inovasi iklan berbentuk game. Iklan ini seperti trial game sehingga calon konsumen diberi kesempatan untuk menjajal satu level dari game tersebut (Partawidjaja, 2017). Oleh karena itu, mobile advertising mampu menjadi sebuah media yang strategis.

Efisiensi dari mobile advertising juga baik karena di dalamnya terdapat sebuah fitur yang bernama targeting capability. Sistem kerja mobile advertising akan memberikan data yang didapatkan dari para konsumen untuk membuat fitur targeting capability dapat bekerja. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dari historical data dan user profile-nya. Analisis tersebut akan menghasilkan data tentang kebiasaan atau ketertarikan seorang konsumen (Partawidjaja, 2017). Lebih lanjut, iklan yang diluncurkan akan disesuaikan dengan data tersebut sehingga diharapkan dapat tepat sasaran. Dengan begitu perusahaan akan lebih tertarik menggunakan media mobile advertising untuk mempromosikan produknya.

Semua keunggulan yang ditawarkan mobile advertisement memanglah sangat menjanjikan. Namun, mobile advertising masih belum menjadi media utama dalam industri periklanan. Hal itu dikarenakan jaringan internet belum merata. Selain itu, banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam mobile advertising menyulitkan perusahaan yang belum terbiasa dengan teknologi terkini.  Oleh karena itu, mobile advertising masih memerlukan beberapa perbaikan dan pembaruan strategi.

Penyedia jasa mobile advertising perlu serius dalam mengerjakan perbaikan sistem, meningkat potensinya yang besar di Indonesia. Indonesia yang termasuk dalam 10 besar konsumen teknologi seluler menjadikannya sebuah pasar yang menjanjikan bagi mobile advertising. Selain itu, menurut penelitian yang ditulis PwC, jumlah pendapatan mobile advertising di indonesia meningkat empat kali lipat di tahun 2018 (Eka, 2017). Namun, potensi tersebut masih belum optimal, karena menurut We Are Social pada Januari 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 64 persen dari total penduduk (Haryanto, 2020). Jika internet sudah bisa diakses oleh seluruh warga Indonesia itu akan menjadikan potensi mobile advertising optimal.

Mobile advertising di Indonesia akan membawa dampak yang baik. Pemanfaatan mobile advertising akan membawa dampak bagi banyak sektor. Jika Indonesia dapat melakukan optimalisasi pemerataan internet dan UMKM serta perusahaan sadar akan seberapa menguntungkannya mobile advertising maka Indonesia akan memilki pendapatan besar dari sektor ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya optimalisasi oleh pemerintah untuk membantu perkembangan mobile advertising di Indonesia.

Kesempatan emas ini harus dapat dimanfaatkan Indonesia dengan baik. Di masa medatang pengembangan usaha dalam negeri atau penanaman investor luar akan semakin gencar. Dengan begitu, hal ini dapat membukakan jalan menuju lapangan kerja yang luas. Adanya lapangan kerja yang luas akan mengurangi jumlah pengangguran dan menambah pendapatan perkapita negara.

 

Referensi

Columbus, L. (2014, November 9). Mobile is Eating The World. Forbes. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/louiscolumbus/2014/11/09/mobile-is-eating-the-world/#18453bfe647d

Eka, R. (2017, Mei 26). Memahami Potensi dan Tantangan “Mobile Advertising” di Indonesia. Dailysocial. Diakses dari https://dailysocial.id/post/memahami-potensi-dan-tantangan-mobile-advertising-di-indonesia

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia. Detik. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Iskandar, D. (2014). Analisa Pengaruh Mobile Advertising Pada Industri Telekomunikasi. IncomTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer , 106.

Mau, S. Y., & Thein, N. L. (2009). Multi-Agent Mobile Tourism System. Di Information Science and Technology (pp. 2722-2728). Pennsylvania: IGI Global.

Partawidjaja, D. (2017, November 28). Selamat datang di Era Mobile Advertising. Kontan. Diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/selamat-datang-di-era-mobile-advertising?

Suroto, H. L. (2016, Juli 9). Kelebihan dan Kelemahan Iklan Televisi Sebagai Media Periklanan. gomarketingstrategic. Diakses dari https://www.gomarketingstrategic.com/kelebihan-dan-kelemahan-iklan-televisi-sebagai-media-periklanan/

 

Penulis: Alfin Zain | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Pengaruh Stereotip dalam Film terhadap Karakter Anak

Perspektif Senin, 30 November 2020

Menonton film merupakan kegiatan yang menyenangkan untuk anak-anak. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sebuah film dapat memberikan gejolak emosi bagi mereka. Tak jarang kemudian anak-anak dibuat terpukau dan terinspirasi oleh perilaku tokoh di dalam film tersebut. Ada yang berimajinasi menjadi tokoh pahlawan super, peri dan kurcaci, atau seorang kesatria dan putri kerajaan.

Berbicara mengenai film anak-anak tentu tidak bisa lepas dari eksistensi Disney. Perusahaan konglomerat asal Amerika ini menghasilkan banyak film untuk anak-anak sejak didirikan pada 16 Oktober 1923. Namun dalam perkembangannya, film-film garapan Disney sering mendapat kritik karena adanya stereotip terhadap gender dan budaya di dalamnya.

Manstead dan Hewstone (dikutip oleh Murdianto, 2018) dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology, mendefinisikan stereotip sebagai: …societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups and their members. Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial.

Karakter Disney biasanya dikutip dalam literatur psikologi sosial sebagai bukti stereotip yang dikenal sebagai “apa yang indah itu baik” (Dion, Berscheid, & Walster, 1972). Sebagai contoh, Eagly, Ashmore, Makhijani, dan Longo (1991) mengusulkan bahwa contoh stereotip tercermin dalam buku anak-anak dan televisi di mana pangeran heroik dan putri berbudi luhur itu menarik, tetapi penyihir jahat dan raksasa jahat itu jelek. Lebih khusus lagi, Myers (2002) menegaskan, “Anak-anak mempelajari stereotip cukup dini. Putri Salju dan Cinderella itu cantik dan baik hati. Penyihir dan saudara tirinya jelek dan jahat.” (Bazzini D. dkk, 2010)

Penggambaran yang begitu jelas mengenai perbedaan sifat ini menjadi salah satu stereotip yang meresahkan. Anak-anak akan terbiasa mengaitkan orang jahat dengan buruk rupa dan orang baik dengan kecantikan. Padahal sebenarnya rupa seseorang tidak dapat dijadikan tolak ukur sifat asli orang tersebut. Untuk mengetahui sifat orang lain, tentu seseorang harus memulai interaksi antara satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang anak membuka diri jika mereka sudah terlebih dahulu memberikan stereotip tertentu terhadap orang lain?

Selain stereotip terhadap penampilan, stereotip lain yang juga dominan dalam industri perfilman Disney adalah stereotip terhadap karakter perempuan. Dilansir dari bbc.com, Gray (2019) mengatakan bahwa karakter wanita seperti Snow White, Sleeping Beauty dan Cinderella digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya beres-beres dan butuh diselamatkan oleh laki-laki. Hal ini menjadi salah satu bentuk penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam mengatasi permasalahannya sendiri.

Stereotip ini sempat dipatahkan dengan diluncurkannya film Brave pada tahun 2012 yang menjadi hasil kerjasama Walt Disney dan Pixar Animation Studios. Dalam film tersebut tokoh utama diceritakan sebagai seorang putri yang memiliki karakter bebas dan kuat. Sayangnya, ketidakberdayaan perempuan muncul kembali di saat Merida—sang tokoh utama—terpaksa menjalani perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya.  

Hal ini terjadi pula pada karakter Ariel di The Little Mermaid, Putri Jasmine di Aladdin, dan Pocahontas. Ketiganya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk bebas dan melepaskan diri dari tradisi yang menjerat mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya tetap saja tokoh laki-laki dalam film tersebut berperan jauh lebih dominan. Bahkan para putri ini dibuat rela melakukan apapun untuk sang tokoh lelaki.

Berbeda dengan serial Disney Princess lainnya, kisah Mulan digambarkan dengan lebih sedikit porsi stereotip di dalamnya. Walaupun begitu, tetap ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa stereotip tersebut tidak benar-benar hilang. Jaber dalam artikelnya Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan, mengatakan pendapatnya tentang film Mulan: …the film makes great strides in the corporation’s portrayal of the typical Disney princess and sends a message of female empowerment, individuality, and independence to its audience. Film ini membuat langkah besar dalam penggambaran perusahaan tentang putri Disney yang khas dan mengirimkan pesan tentang pemberdayaan, individualitas, dan kemandirian wanita kepada pemirsanya.

Kisah tentang Mulan berasal dari sebuah puisi berjudul The Ballad of Mulan (Ode of Mulan). Asia for Educators (n.d.) menjelaskan bahwa puisi ini disusun pada abad kelima atau keenam M. Dalam kisah Disney, Mulan diceritakan sebagai seorang perempuan yang pergi ke kemah pelatihan untuk bertarung menggantikan ayahnya yang sakit. Mulan terpaksa menyembunyikan identitas aslinya sebagai perempuan dan menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Ping (Hua Jun dalam versi live action 2020). Ia pergi secara diam-diam dari rumah dengan kuda, pedang, serta baju zirah milik ayahnya.

Selama berada di kemah pelatihan, Mulan diceritakan mengalami banyak kesulitan. Fisiknya yang digambarkan lebih kecil dibanding rekan-rekannya membuat ia harus berusaha lebih keras dalam berlatih bela diri. Ia juga diceritakan sering terjatuh saat angkat beban karena ia tidak sekuat rekannya yang lain. Penggambaran kelemahan Mulan ini kembali menunjukkan stereotip terhadap ketidakberdayaan perempuan dalam serial Disney.

Namun, di sisi lain, keberhasilan Mulan dalam menghadapi rintangan-rintangan ini justru menjadi salah satu perombak stereotip tersebut. Keberhasilannya menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya memiliki peluang yang sama selama mereka berusaha. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa Mulan adalah sosok yang membuat pasukannya memenangkan pertarungan dengan kaum Hun.

Dibanding versi kartunnya di tahun 1998, versi live action yang dirilis pada Maret 2020 ini lebih berfokus untuk menunjukkan kekuatan perempuan. Sosok Mulan dalam versi baru diceritakan memiliki kemampuan chi yang luar biasa yang memudahkannya selama pelatihan. Mulan tidak lagi diceritakan kesulitan dalam latihan bela diri ataupun sering terjatuh saat angkat beban. Bahkan terdapat salah satu adegan bertarung antara Mulan dan Honghui yang semakin menunjukkan kekuatan chi yang Mulan miliki. Dalam versi ini juga tidak terdapat adegan ketika penyamaran Mulan terungkap, justru Mulan sendirilah yang mengakui dirinya perempuan di hadapan komandan dan rekan-rekannya.

Walaupun stereotip terhadap perempuan dalam film Mulan belum sepenuhnya hilang, cerita ini membawa gebrakan baru bagi industri perfilman. Penghapusan stereotip terhadap suatu kelompok dalam cerita, terutama cerita yang dibuat untuk anak-anak, akan menguatkan karakter para penontonnya. Terlebih lagi, karakter yang dibentuk saat anak-anak akan menjadi karakter yang dominan ketika dewasa nanti. Dengan adanya penghapusan ini, mereka tidak akan lagi menilai orang dari tampilan luarnya saja melainkan mulai mencoba mengenali orang tersebut. Selain itu, kesetaraan gender di dalam masyarakat juga akan semakin dihormati karena karakter kuat yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

 

Referensi

Asia for Educators. n.d. “THE BALLAD OF MULAN (ODE OF MULAN)”.  http://afe.easia.columbia.edu/ps/china/mulan.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 10.08 WIB.

Bazzini, D., Curtin, L., Joslin, S., Regan, S., & Martz, D. (2010). Do Animated Disney Characters Portray and Promote the Beauty-Goodness Stereotype? Journal of Applied Social Psychology, 40(10), 2687–2709. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2010.00676.x

Gray, R. 2019. Bagaimana Film-Film Disney Membentuk Cara Pandang Penontonnya. Diunggah pada 3 Oktober 2019. Terarsip pada https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-49908186

Jaber, H. Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan. Terarsip pada https://heatherjay.wordpress.com/ml-4-dissecting-stereotypes-disneys-mulan/. Diakses 15 Oktober 2020 pukul 08.38 WIB.

 Murdianto. 2018. Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia), Vol. 10, No. 2, halaman 141.

 

Penulis: Charisma | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Jurnalisme Membentuk Masyarakat Siaga Bencana

Perspektif Senin, 30 November 2020

Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Hasil dari kegiatan jurnalisme adalah berita.  Berita merupakan sebuah informasi yang berisi fakta mengenai peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Berita disampaikan melalui perantara berupa media cetak ataupun elektronik. informasi yang disampaikan mengenal urutan waktu atau biasa disebut kronologis. Peristiwa disampaikan dari bagaimana hal itu berawal dan bagaimana dampaknya. Jurnalisme diharapkan menjadi pembuka wawasan setiap masyarakat mengetahui dunia yang luas ini. Dengan terbukanya pemikiran manusia melalui informasi yang didapatkan,tidak ada lagi terjadi yang terjadi akibat kesalahpahaman.

Jurnalisme memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan hidup masyarakat. Pemberitaan yang sudah dilakukan sangat mempengaruhi apa yang akan dilakukan oleh masyarakat. Salah satu informasi yang penting disampaikan oleh  jurnalisme adalah berita mengenai bencana. Bencana merupakan salah satu peristiwa yang sangat merugikan bagi orang yang terdampak. Kerugian materi dan korban jiwa bukan hal yang biasa ketika bencana datang. Di Indonesia, peristiwa bencana sering termuat di dalam pemberitaan media massa baik media konvensional maupun media online.

Media sebagai instrumen jurnalisme diharapkan mengambil peran yang kuat untuk memberi informasi tentang bencana. Media terutama media massa harus menjadi penghubung antara semua pihak seperti pemerintah, badan yang berkepentingan, masyarakat yang terdampak,dan masyarakat yang tidak terdampak. Semua pihak tersebut sangat membutuhkan media untuk menyampaikan dan menerima arahan.

Bencana jelas akan merugikan masyarakat yang mengalami Kerugian yang sangat berat adalah ketika masyarakat harus kehilangan nyawanya. Dilihat dari lingkup keluarga,jika terdapat salah satu orang terdekat meninggal akibat bencana akan menyebabkan dampak ekonomi dan psikis. Contohnya ketika seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga harus meregang nyawa,kemiskinan akan timbul jika istri dan anaknya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut ada kaitannya dengan munculnya kasus kemiskinan. Selain itu,dampak psikis yang akan dialami adalah adanya trauma yang kemudian menimbulkan stress oleh korban bencana.

Untuk mencegah kerugian yang semakin banyak, jurnalisme harus membentuk masyarakat yang siaga bencana. Rattien (1990) dalam jurnal Sanusi (2018) menjelaskan media massa bisa berperan lebih jauh dalam mengedukasi khalayak tentang kebencanaan, meningkatkan kesadaran publik melalui isu mitigasi bencana, bagaimana menghadapi bencana dan melakukan evakuasi, termasuk berkontribusi dalam proses rekonstruksi pasca-bencana.

Mitigasi bencana bisa di kampanyekan melalui media massa. Mitigasi bencana sendiri merupakan kegiatan untuk mengurangi risiko bencana. Melalui media massa,lembaga pemerintah maupun nonpemerinah bisa memberi himbauan dan pelatihan kepada masyarakat. himbauan yang bisa dilakukan adalah dengan memberi data hasil penelitan dan pengawasan suatu daerah. Salah satu contohnya adalah memberikan peta daerah rawan longsor kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Adapun pelatihan yang dapat di kampanyekan seperti cara melindungi diri saat terjadi gempa.

Selain siaga dari kerugian materi,pentingnya siaga dalam aspek mental tidak kalah penting. Kebanyakan hasil penelitian menunjukkan pola pemberitaan media-media mainstream dalam meliput bencana cenderung mengikuti pola-pola yang sudah umum yakni memberikan fokus lebih besar pada dampak peristiwa bencana. Dampak tersebut menggunakan perspektif korban seperti berapa banyak korban tewas dan luka, seberapa besar kerusakan materi yang ditimbulkan dan seterusnya (Houston, 2012; Pantti, 2012) dalam jurnal Sanusi (2018).  Fokus yang lebih mengarah banyaknya korban daripada penyebab bencana menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Memberitakan penyebab dan solusi lebih menenangkan masyarakat. Tidak hanya itu,masyarakat akan lebih kreatif dalam melakukan perubahan.

Pranuju (2018) mengatakan bahwa khalayak informasi tidak sekadar menempatkan pemberitaan sebagai sumber informasi tentang peristiwa, namun juga sebagai pedoman penyusunan agenda. Hal ini sesuai dengan fungsi utama jurnalisme bencana, yaitu membantu masyarakat dan pihak lain dalam penanggulangan bencana. Jurnalisme harus benar-benar bisa mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan baik yang berhubungan dengan alam. Selain itu,rencana jangka panjang bisa dibuat oleh pemerintah dengan memperhitungkan media sebagai tempat aspirasi dari masyarakat sampai kaum intelektual.

Jurnalisme dapat berperan sebagai kontrol dengan memberi sanksi sosial. Beberapa bencana disebabkan oleh tangan manusia seperti pembakaran hutan. Pelaku yang membuat bencana tersebut perlu disorot sehingga diketahui oleh publik. Cara seperti itu akan membuat semua pihak lebih berhati-hati dalam bertindak, terlebih berhubungan dengan alam.

Dengan demikian, jurnalisme tidak hanya mengenai mencari dan menyampaikan informasi. Lebih luas daripada itu, jurnalisme dapat membentuk pikiran masyarakat kepada suatu tujuan positif. Berhubungan dengan bencana, masyarakat dapat lebih siaga menghadapi fenomena tersebut. Kesiagaan bisa didapatkan melalui instrumen jurnalisme yaitu media. Kesiagaan masyarakat tentu sangat berpengaruh terhadap kerugian ketika terjadi bencana. Masyarakat yang siaga akan meminimalisir kerugian materi dan korban jiwa.

 

Referensi

Abrar, A. N. 2008. “Memberdayakan masyarakat lewat penyiaran berita bencana alam.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11(3), 379-396. https://www.neliti.com/publications diakses pada 17 Oktober 2020

Panuju, R. 2018. “Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal Berita Balipost. com.”. Jurnal Ilmu Komunikasi. https://www.researchgate.net/ diakses pada 17 Oktober 2020.

Sanusi, H. 2018. “JURNALISME DAN BENCANA: Refleksi Peran Jurnalis dalam Liputan Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi Palu-Donggala”. Jurnal Jurnalisa: Jurnal Jurusan Jurnalistik, 4(2). http://journal.uin-alauddin.ac.id/ diakses pada 17 Oktober 2020

 

Penulis: Firdaus Damai Rusadi | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

November 2020
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  
« Sep   Des »
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY