Rilis Berita “SIARAN PERS DISKOMA EDISI KE-20”

Yogyakarta, 27 Maret 2025 – Isu kebebasan berekspresi dalam dunia seni Indonesia kembali menjadi sorotan dalam Diskoma edisi ke-20 bertajuk “Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA) Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini menghadirkan dua narasumber, yakni Irham Nur Anshari (Dosen FISIPOL UGM) dan Hernandes Saranela (Seniman Yogyakarta), serta dimoderatori oleh Syifa Maulida Hajiri (Mahasiswa S2 UGM).

Dalam forum daring ini, kedua narasumber mengupas tuntas bagaimana seni dan sensor saling berkelindan dalam dinamika sosial-politik Indonesia. Hernandes Saranela mengungkap bahwa dalam sejarahnya sensor terhadap seni sudah ada sejak lama, sebagaimana tercermin dalam karya-karya seni dari tokoh seperti Iwan Fals, Pramoedya Ananta Toer, hingga R.A. Kartini. Menurutnya, sensor bukan semata-mata ancaman, melainkan bisa menjadi filter yang mempertajam ide. Dalam menghadapi proses sensor saat ini, ia melihat bahwa seni abstrak dan simbolis menjadi alat perlawanan pada seniman. “Mereka tidak langsung menunjukkannya secara gamblang. Karya-karya seni mereka dirumuskan dalam bentuk metafora sehingga menjadi lebih menarik,” ujarnya. Hernandes menegaskan bahwa seniman idealnya memiliki kesadaran diri terhadap karya dan dampaknya, serta mampu mengemas pesan seni secara baik untuk menghindari pembredelan tanpa kehilangan substansi.

Irham Nur Anshari memaparkan adanya pergeseran mekanisme sensor di era digital. Ia menjelaskan fenomena techno-surveillance, yakni praktik pengawasan konten publik melalui teknologi digital. Salah satu bentuknya adalah penggunaan algoritma mesin yang menyaring bahasa atau konten yang dianggap sensitif. Selain itu, Irham menyoroti bagaimana sensor saat ini tidak hanya dilakukan oleh institusi pemerintah (sensor vertikal), tetapi juga oleh tekanan kelompok sipil atau masyarakat (sensor horizontal), yang justru memainkan peran lebih dominan. Irham menambahkan, “sensor vertikal dan horizontal ini terkadang bisa bermesraan atau, sebaliknya, saling bertentangan.” Ia juga menekankan bahwa fenomena self-censorship menjadi tantangan besar ketika seniman, kurator, hingga sponsor secara halus mulai mengatur batas-batas kreativitas.

Diskusi juga menyinggung peran relasi komunitas seni lokal dan global, media, hingga festival sebagai ruang alternatif yang memperkuat solidaritas antar-seniman dan menjaga kebebasan berekspresi. Seniman tidak pernah benar-benar bebas dalam berkreasi seni karena terikat norma dan etika. Strategi kolaborasi antara seniman, media, dan komunitas bisa menjadi jalan keluar dalam menyiasati atau melawan sensor. 

Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube Dikom UGM ini memberikan ruang dialog yang hangat mengenai bagaimana seni tetap bisa hidup di tengah arus sensor dan tekanan sosial. Para peserta diajak merenungkan ulang peran etika, norma, serta kesadaran diri dalam menciptakan karya yang jujur dan bermakna. Diskoma ke-20 ini menegaskan bahwa seni, di tengah berbagai bentuk kontrol, selalu menemukan jalannya untuk berbicara.

 

-SELESAI-

 

Siaran lebih lengkap dapat diakses melalui YouTube Dikom UGM

Hendy Nabil Rais – 082136362624