Ketika menghadapi krisis, praktisi humas baik di pemerintahan maupun lembaga dituntut untuk dapat mengatasinya melalui komunikasi yang efektif dan pemanfaatan media yang tepat. Begitupun dengan Covid-19 yang terjadi saat ini menjelma menjadi krisis kesehatan publik. Komunikasi yang efektif dapat mengurangi kompleksitas informasi yang beredar di masyarakat dan dapat menyelamatkan hidup banyak orang. Artikel ini akan membahas mengenai CECR yang dapat menjadi pedoman komunikasi krisis oleh praktisi humas dan pemilihan medianya.
Apa Itu CECR?
Crisis and Emergency Risk Communication atau CECR merupakan kerangka komunikasi yang dibuat oleh CDC (Centers for Disease Control) yang bertujuan untuk membantu organisasi dalam merespons krisis yang berkaitan dengan darurat kesehatan yang mengancam nyawa banyak orang. Barbara R, Penasihat Komunikasi Krisis CDC mengatakan bahwa CERC menjadi sangat penting karena penyampaian pesan pada waktu yang tepat oleh orang yang tepat dapat menyelamatkan nyawa banyak orang (CERC Introduction, 2018). Kerangka CERC dan enam prinsipnya dapat membantu organisasi ketika menyampaikan informasi kepada publik dalam mempersiapkan, merespons, dan pemulihan pasca tanggap darurat kesehatan. Keenam prinsip CERC adalah:
- Be first: menjadi sumber utama dan pertama mengenai informasi
- Be right: informasi yang diberikan akurat
- Be credible: memberikan informasi yang jujur tanpa menutupi fakta
- Express empathy: mengekspresikan empati kepada stakeholders terdampak
- Promote action: memberikan informasi instruksi untuk stakeholders
- Show respect: Menghargai stakeholders yang terdampak
Integrasi dari keenam prinsip CERC membantu memastikan bahwa sumber daya yang terbatas dapat dikelola dengan baik dan organisasi dapat melakukan yang terbaik pada setiap fase tanggap darurat.
Media Selection
Proses pemilihan media dalam komunikasi strategis bersifat multidimensional dan bergantung pada beberapa faktor. Proses multidimensi dalam pemilihan media berarti terjadi saat Humas ingin memilih saluran komunikasi maka ia perlu berpikir secara bersamaan mengenai tingkat efisiensi yang diinginkan dalam komunikasi dan pengalaman sebelumnya dengan kanal komunikasi, mitra, dan juga topik (Klyueva, 2009).
Terdapat tiga teori utama dalam pemilihan media yaitu rich media, channel expansion theory, dan integrated model. Daft dan Lengel (1984) berteori bahwa rich media dibutuhkan untuk memproses informasi mengenai topik yang kompleks atau samar-samar. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan penafsiran pesan, humas akan memilih media yang “kaya”. Karakteristik dari rich media yaitu: dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan. Carlson dan Zmud (1999) mencetuskan channel expansion theory mengatakan bahwa “kaya” atau tidaknya suatu media tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik media tersebut. Pengalaman individu terhadap kanal, orang yang diajak berkomunikasi, dan topik yang justru akan mempengaruhi persepsi individu atas media tersebut. Integrated model datang menjadi penengah bagi keduanya, Klyueva (2009) mengatakan bahwa jikas seorang humas ingin menghindari ambiguitas dan menciptakan komunikasi yang efektif maka pemilihan media harus didasarkan pada seberapa baik ia mengenal media tersebut, pihak yang diajak berkomunikasi, dan topik yang dibicarakan.
Lalu bagaimana implementasinya?
Memasuki era digital dengan banyaknya pilihan platform, sangat membantu praktisi humas dalam menyampaikan pesan. Implementasi CECR dapat dilakukan melalui media konvensional maupun media baru. Namun, salah satu prinsip CECR yaitu be first yang mengharuskan praktisi humas untuk menjadi sumber yang pertama dan utama mendorong perpindahan dari media konvensional ke media baru karena kecepatannya. Selain itu, tingginya tingkat penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 64,8% menjadi faktor praktisi humas untuk menggabungkan media konvensional dengan media baru (Annur, 2019). Apalagi kehadiran media baru seperti media sosial dan website dengan fiturnya yang dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan mampu mengurangi kompleksitas informasi yang ada. Media konvensional tetap dibutuhkan oleh praktisi humas karena tidak semua audiensnya memiliki akses internet. Meskipun kita telah memasuki era digital, perpaduan antara media konvensional dan media baru atau integrated model masih relevan hingga saat ini. Integrated model memungkinkan praktisi humas untuk menjangkau lebih luas audiensnya dan mengurangi kompleksitas informasi sehingga tepat diterapkan dalam menghadapi krisis seperti pandemi Covid-19 ini.
Referensi
Annur, C.M. (2019, 16 Mei). Survei APJII: Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Capai 64,8%. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://katadata.co.id/sortatobing/digital/5e9a51915cd3b/survei-apjii-penetrasi-pengguna-internet-di-indonesia-capai-648.
Carlson, J.R., & Zmud, R.W. 1999. Channel expansion theory and the experiental nature of media richness perceptions. Academy of Management Journal, 42, 153-170
CERC Introduction. 2018. U.S Department of Health and Human Services Center fror Disease Control and Prevention
Daft, R.L., Lengel,R.H. 1984. Information richness: A new approach to managerial behavior and organization design. Research in Organizational Behavior, 6, 191-233
Klyueva, Anna V. 2009. An Integrated Model of Media Selection in Strategic Communication Campaigns. Oklahoma University
Penulis: Rizky Wibawa (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)