Serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital”
Jumat, 23 Juli 2021
Prodi Magister Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan diskusi buku bertajuk “Catatan Lapangan Perspektif dan Pengalaman Perempuan” pada Jumat, 23 Juli 2021. Diskusi ini merupakan seri ketiga dari serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan” terbitan UGM Press.
Pada diskusi seri terakhir ini, hadir tiga narasumber selaku penulis buku dan juga dosen di Dikom UGM. Mereka adalah Lidwina Mutia Sadasri, Mashita Fandia, dan Ardian Indro Yuwono. Hadir pula dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Frida Kusumastuti, sebagai pembahas buku yang merupakan hasil kolaborasi dari dosen, mahasiswa, dan alumnus Prodi Magister Dikom UGM ini. Berlaku sebagai moderator adalah Anna Nurjanah dan sebagai MC adalah Harya Rifki P.
Diskusi dimulai dari penjelasan Lidwina Mutia Sadasri tentang tulisannya yang berjudul “Melawan Information Disorder ala Aktivis Perempuan”. Gambaran umum tulisannya adalah tentang aktivisme dalam klub media sosial Perempuan Tagar Tegar (P#T) dalam melawan disinformasi yang muncul di seputaran isu feminisme.
Topik ini dipilih karena di tahun 2018 sempat melaksanakan riset tentang pernikahan dini dan menemukan akun Perempuan Tagar Tegar di Instagram. Uniknya, muncul akun sister-nya bernama Pria Tagar Tegar karena melihat relasi tidak setara yang dipengaruhi oleh kultur patriarki.
“Tidak hanya selama ini perempuan yang menjadi korban, tetapi laki-laki juga ada yang menjadi korban. Jadi menarik untuk melihat di dua sisinya seperti apa,” ujar Mutia, dosen yang memiliki minat kajian di bidang perempuan, selebriti, dan media baru.
Selanjutnya, topik fenimisme digali lebih dalam oleh Mashita Fandia dalam tulisannya yang berjudul “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial.” Artikel ini berangkat dari temuan risetnya tentang gerakan perempuan di media sosial, khususnya Instagram, seperti pada akun Indonesia Feminis dan Lawan Patriarki.
Isu feminisme adalah isu yang sangat kompleks. Menurut Mashita, tidak hanya keterkaitannya dengan bagaimana perempuan mengalami penindasan dan juga ketidaksetaraan selama ini, tapi juga bagaimana patriarki membuat laki-laki tanpa sadar juga ditempatkan sebagai korban. Bahkan perempuan pun banyak yang tidak merasa telah menjadi korban.
“Itu saking sudah terinternalisasinya patriarki ke dalam kehidupan kita sebagai manusia. Kadang kita dihegemoni tapi kita senang-senang saja, seperti tidak merasa jika kita ditindas haknya sebagai manusia,” lanjutnya.
Yang menarik bagi Mashita dalam gerakan ini adalah komentar netizen tentang kesetaraan gender yang sangat terpolarisasi di kolom komentar akun-akun media sosial tersebut.
“Salah satu pokok perdebatannya adalah tentang feminisme. Banyak sekali kelompok masyarakat yang menilai feminisme bukan budaya Indonesia dan datang dari barat. Padahal nilai-nilai patriarki yang dianut sekarang semuanya adalah produk barat. Sementara apa sih yang kita sebut dengan budaya kita?” ujar Mashita, dosen yang memiliki minat kajian di bidang budaya digital, budaya kaum muda, media sosial, kajian gender, dan seksualitas.
Maka, lapisan-lapisan yang diulas pada tulisan Mashita adalah tentang bagaimana gerakan-gerakan ini serta para pengikutnya di media sosial mengonsepkan feminisme dan kesetaraan gender dalam konteks Indonesia. Lalu juga tentang bagaimana perbedaan penindasan perempuan di Indonesia dengan penindasan perempuan di negara barat.
Diskusi dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Ardian Indro Yuwono, dengan tulisannya yang berjudul “Dita dan Rizka dalam Game: Kompetensi dan Relasi Sosial.” Dari hasil temuan Ardian pada disertasinya, ternyata narasumbernya mampu memanfaatkan gim video sebagai media untuk berekspresi dan berkompetisi, bukan hanya untuk bersenang-senang. Hal ini memantik Ardian untuk lebih menggali dalam konteks literasi media. “Gim video itu kan sama dengan media pada umumnya. Ada institusinya, ada kontennya, dan ada aksesornya yang disebut dengan gamer,” kata Ardian.
Dalam risetnya, jika dikaitkan dengan konteks 10 kompetensi literasi digital dari Japelidi, Dita dan Rizka, memiliki empat dari 10, di antaranya adalah akses, paham, partisipasi, dan kolaborasi. Partisipasi di sini adalah mereka memiliki harapan bahwa gim video dapat mengubah dunia yang awalnya dianggap orang untuk bersenang-senang menjadi dunia yang memberikan manfaat baik terhadap mereka dan terhadap komunitasnya. Lalu, aspek kolaborasinya adalah mereka dengan teman-temannya ingin menciptakan lingkungan yang baik untuk berkembang.
Dita dan Rizka memiliki karakteristik yang berbeda. Dita di sini lebih banyak membangun kompetensi, yakni kemampuan atau kecakapan dalam bermain. Kecapakan ini menjadi salah satu kebutuhan intrinsik manusia, dalam artian pengakuan oleh orang lain. Hal ini kemungkinan bertolak belakang dengan pandangan bahwa gim merupakan produk laki-laki.
Di lain sisi, Rizka bermain untuk mencari ruang sosial. Ia menganggap ruang sosial dalam dunia digital atau yang tercipta karena dia bermain gim bisa lebih cair dan lebih menerima orang lain. Bukan berarti ruang sosial riil tidak mampu menerimnya, hanya dia merasa ruang-ruang sosial dalam gim memiliki tujuan dalam berteman. “Tujuannya jelas, bermain gim untuk menyelesaikan misi, problematika, atau sekedar ngobrol,” sahut Ardian, dosen yang memiliki minat kajian di gim video sebagai newish media.
Ardian menyebutkan, tulisannya tentang perempuan dalam gim video ini hanya mengulas satu dari tiga lokus riset, yaitu aksesor. Mengapa Rizka mencari ruang sosial di dalam gim sama halnya dengan mengapa orang merasa nyaman berinteraksi di media sosial. Lalu, mengapa Dita suka bermain secara kompetitif serta paham bahwa pengakuan menjadi penting bisa ditilik detailnya pada bab ketiga buku Perempuan dan Literasi Digital.
Pembahas dalam diskusi ini, Frida Kusumastuti, mengelompokkan bab ketiga yang berjudul “Catatan Lapangan Pengalaman dan Perspektif Perempuan” menjadi dua.Yang pertama adalah tentang persepsi, penerimaan, dan pemanfaatan teknologi oleh perempuan seperti yang disampaikan pada tulisan Dewa Ayu, Anna, dan Ardian. Lanjut Frida, yang kedua adalah tentang peta gerakan perempuan di era digital seperti laporan riset dari Mutia dan Mashita.
“Saya sebagai pembaca mencoba melihat buku ini sebagai data, tidak semata-mata referensi. Kadang-kadang timbul keinginan untuk menulis berdasarkan data ini,” sahut Frida setelah berdiskusi dengan para penulis, “Mari membeli buku ini untuk dikembangkan menjadi penelitian-penelitian lanjutan.”
Diskusi berlangsung secara hangat dengan banyak tanggapan dari para peserta diskusi. Dengan demikian, diskusi ini menutup serial diskusi buku “Perempuan dan Literasi Digital yang telah diselenggarakan sejak tanggal 9 Juli 2021.
Reporter: Rizqy K. Mayasari
Contact person:
Koordinator Tim Media DIKOM UGM
Mashita (083841068717)