Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menutup rangkaian webinar Hilirisasi Riset Departemen dengan topik umum “Manajemen Komunikasi & Komunikasi Strategis II” pada 14 Desember 2021 pukul 13.30-16.00 WIB. Sesi ini merupakan lanjutan dari topik yang sama pada 9 Desember 2021 pukul 13.00-16.00 WIB. Program Hilirisasi Riset ini merupakan bagian penutup dari rangkaian skema Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPkM) oleh Dikom UGM.
Sesi kedua pada kali ini diisi oleh dosen-dosen Dikom UGM yang berkecimpung di bidang Manajemen Komunikasi dan Komunikasi Strategis, mereka adalah Syaifa Tania, Syafrizal, Dr. Widodo Agus Setianto, serta Dr. Muhamad Sulhan sebagai tuan rumah webinar.
Syafrizal, sebagai narasumber pertama, menjelaskan hasil risetnya yang berjudul “Multitugas Media dalam Perspektif Diginatives: Disrupsi atau Kecakapan?”. Riset ini bertujuan untuk memetakan perspektif mahasiswa sebagai digital natives (diginatives) dalam memaknai pengalaman multitugas media (media multitasking) di masa ensitiv Covid-19.
Riset ini mengumpulkan data dengan wawancara daring dengan paradigma Grounded Theory yang melibatkan 22 mahasiswa dari lima perguruan tinggi terbaik versi Webometrics Juli 2021. Perguruan-perguruan tinggi tersebut yakni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Brawijaya.
Syafrizal yang dibantu oleh mahasiswa S1 Dikom UGM, Rizki Dwi Wibawa, menemukan gambaran bahwa latar belakang yang meneguhkan rutinitas multitugas media oleh mahasiswa adalah situasi sensitif dan digitalisasi proses pembelajaran, magang, dan kegiatan organisasi yang dilakukan melalui media digital.
“Dimensi yang lain lagi bahwa multitugas media ini berhubungan dengan aspek bagaimana cara membentuk, misalkan relaksasi diri, yakni apakah orang memutuskan menjalankan multitugas ini untuk merelaksasi diri mereka atau untuk escapism, untuk membuat mereka melarikan diri dari kejenuhan,” ucap Syafrizal, “Fenomena multitugas ini adalah sebuah paradoks pilihan, misalkan antara disrupsi atau sebagai fluency (kecakapan) sensitif diperdebatkan.”
Syaifa Tania, yang meneliti bersama dua mahasiswi Dikom, dengan penelitiannya yang berjudul “Gap Generasional dan Kesadaran Merespon Iklan Digital di Media Sosial”, menyatakan bahwa generasi Y dan Z saat ini dianggap memiliki karakteristik unggul dibandingkan generasi sebelumnya. Meskipun keduanya merupakan generasi diginatives, cara pandang mereka terhadap iklan secara sosio-teknologi berbeda, khususnya praktik periklanan digital oleh influencer.
Hasil studinya menunjukkan adanya perbedaan generasional yang muncul pada tataran preferensi jenis media komunikasi serta penilaian mereka terhadap sosok influencer dalam periklanan. Perbedaan ini berpusat pada cara pandang kedua generasi pada aspek realness persona dan substansi informasi yang disampaikan influencer.
“Cara kedua generasi ini [dalam] memahami aspek kredibilitas itu berbeda,” lanjut Tania. Generasi Y cenderung menganggap seorang influencer kredibilitas karena memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, atau konteks background yang selaras dengan bidangnya. Bagi Generasi Z hal-hal itu penting, tetapi hal yang jauh lebih penting adalah autentisitas diri, termasuk keberanian untuk mengakui tindakan yang tercela menurut masyarakat.
Masih dalam bidang periklanan, Dr. Widodo Agus Setianto turut memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Iklan dan Kearifan Lokal” melalui rekaman video. Beliau menganalisis bagaimana iklan-iklan di YouTube dinilai dan diberikan penghargaan karena popularitasnya serta relevansinya dengan kearifan lokal di Indonesia.
“Munculnya iklan-iklan dengan kearifan lokal merupakan antitesis dari iklan berstandarisasi internasional,” lanjut Widodo, “iklan-iklan lokal berbasis kearifan lokal merupakan perkembangan dari konsep iklan adaptasi atau specialty.”
Dalam iklan-iklan yang menggunakan pendekatan adaptasi, perlu adanya pertimbangan akan budaya, selera, ekonomi, dan pertimbangan ketersediaan sumber-sumber lainnya. Maka bagian visual dan verbal dari iklan kreatif harus sensitif dalam penggunaan bahasa lokal dan model atau brand ambassador.
Penulis: Rizqy K. Mayasari