Diskusi “Relasi Manusia dan Teknologi di Era Konvergensi Media Digital”
Jumat, 18 Maret 2022
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Magister UGM (Diskoma UGM) edisi pertama dengan topik “Relasi Manusia dan Teknologi di Era Konvergensi Media Digital”. Diskoma UGM diselenggarakan pada hari Jumat, 18 Maret 2022, pukul 15.00-16.30 WIB secara daring melalui platform Zoom dan YouTube Livestream.
Pada diskusi ini, hadir tiga pembicara yaitu Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni., M.Si sebagai Dosen dan Guru Besar Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM, Jalu Wisnu Wirajati, S.E., M.I.Kom sebagai Vice President Content/Strategy Skor Indonesia, dan Moch. Taufik Hidayatullah, S.Ikom sebagai mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM. Pun, berlaku Dyah Seruni Rizqiana, S.I.P. sebagai MC dan Traju Nila Balqist, S.I.Kom. sebagai moderator.
Diskusi diawali oleh Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni dengan materi Humanitas Digital dalam Konvergensi Media. Mengangkat isu budaya konfergensi, beliau merujuk pada buku Convergence Culture karya Henry Jenkins. “Ide konvergensi seharusnya tidak dipahami hanya sebagai sebuah proses teknologi yang menyatu pada multiple media function within the same devices. Tetapi, konvergensi merepresentasikan pergeseran budaya customer karena kemudian customer didorong untuk mencari informasi baru dan make connection dari konten media yang beragam.” ucapnya.
Untuk menjelaskan konvergensi media secara mendalam, ia memaparkan pemikiran para ahli dengan beragam sudut pandang. Mulai dari Ithiel de Sola Pool yang menggambarkan konvergensi sebagai sebuah kekuatan yang membuat garis batas antar media semakin kabur; Pierre Levy yang menyebutkan kata kunci collective intelligence dalam konvergensi; George Gilder dengan pendapat konvergensi bisa menghilangkan media yang sebelumnya; Mizuko Ito yang melihat karakteristik konvergensi dari cerita-cerita sosial mulai dari kehidupan, hubungan, memori, fantasi, hasrat yang mengalir melintasi saluran media; dan pelaku industri yang menyebut terma extension, synergy, dan franchise untuk mendorong industri media merangkul konvergensi.
Beralih pada topik manusia dan teknologi, beliau menyebut filsafat teknologi Heidegger dan Don Ihde. Digambarkan kesadaran akan pengaruh teknologi yang sangat kompleks, di mana kemudian filsafat mempertanyakan hakikat teknologi. Pun, ia melanjutkan dengan pemikiran Neil Postman sebagai media pesimist, juga Faustian Bargain yang menyebut teknologi selalu menghadirkan potential deal with the devil.
Bertentangan dari pandangan sebelumnya, Negroponte, seorang media optimist percaya bahwa sisi gelap teknologi tidak dapat dihindari namun juga tidak perlu dikhawatirkan. Dari perspektif sains, teknologi, dan masyarakat, dibayangkan pula bagaimana teknologi dapat menyumbangkan kebaikan di masyarakat. Terakhir, disebutkan pula digital humanities dengan dua gelombang; digital humaniora dan humaniora digital.
Beralih pada konvergensi dalam refleksi autopoesis, beliau mendefinisikan autopoesis sebagai satu sistem yang mempercayai bahwa semua sistem memiliki kodenya masing-masing. Dibutuhkan kemampuan adaptif dalam bentuk zona interpenetrasi, pengembangan struktur ganda dari dua atau lebih sistem.
Melanjutkan poin sistem autopoesis “Sui generi” konvergensi dua sistem, beliau menuturkan “Saya melihat bahwa akan lahir cara merespon yang sangat khas, berbasis konteks yang berbeda-beda, merujuk pada orientasi diri dan kebutuhannya sendiri-sendiri.” “Komunikasi sebagai refleksi dari dimensi sosial akan mengangkat problem-problem yang muncul dari praktik konvergensi dua atau lebih sistem.” tambahnya. Dengan empat poin penutup terkait konvergensi, beliau mengakhiri pemaparan Humanitas Digital dalam Konvergensi Media.
Diskusi kedua dilanjutkan oleh Moch. Taufik Hidayatullah, S.Ikom yang membahas tentang Konvergensi Media, Aktivitas dan Ruang Selama Masa Pandemi Covid-19. Beliau menyoroti relasi penggunaan media konvergen di tengah menguatnya kultur konvergensi, sebuah dinamika konvergensi berlapis di era pandemi dalam konteks bekerja dari rumah.
Ia berangkat dari riset-riset pandemi Covid-19 dan perilaku penggunaan media digital. Hasil temuan menyatakan pandemi Covid-19 secara kondisional menciptakan situasi yang mengharuskan orang-orang terhubung secara daring dengan media-media digital.
Membahas digital media multitasking, ia menuturkan, “Ketika pandemi terjadi, maka orang-orang dikondisikan untuk semakin intensif menggunakan media digital yang notabene juga media konvergen.” Kemudian, ia melanjutkan, “kebiasaan digital media multitasking terbentuk karena media bersifat konvergen dan digital dan sifat media inilah yang membentuk bagaimana perilaku manusia sebagai penggunanya dalam konteks relasi dengan media tersebut.” Lebih lanjut, ia membahas pengondisian digital media multitasking yang berlangsung terus menerus dan menjadi tradisi yang melanggeng sehingga menimbulkan pewajaran yang disebut sebagai digital habit prevalence.
Temuan terkait konsekuensi dari penggunaan media konvergen menjadi topik lanjutan. “Temuan-temuan ini kian memperkuat asumsi awal saya bahwa sejatinya, penggunaan media konvergen akan mengonstruksi perilaku lanjutan, yakni, bentuk-bentuk konvergensi lainnya.” ungkapnya. Bentuk konvergensi tersebut mencakup konvergensi ruang dan konvergensi aktivitas. Beliau juga memberikan pemaparan singkat terkait faktor penyebab pengguna media konvergen terisolasi, pola penggunaan media konvergen, serta dampak penggunaan media konvergen di masa pandemi Covid-19.
Sebagai penutup uraiannya, ia menyimpulkan, “Konvergensi media di masa pandemi Covid-19 memiliki daya dan kekuatan untuk membentuk, menata, maupun mengkonstruksi kehidupan kita yang notabene menggantungkan hajat hidup dari fasilitas-fasilitas media konvergen, dengan memunculkan konvergensi ruang dan konvergensi aktivitas dalam kehidupan sosial yang ternyata merujuk pada keadaan di mana diri kita ini terisolir dari lingkungan, komunitas, dan kehidupan sosial.”
Diskusi ketiga dibuka oleh pembicara Jalu Wisnu Wirajati, S.E., M.I.Kom sebagai Vice President Content/Strategy Skor Indonesia yang akan mengangkat tentang Konvergensi Media bukan cuma Pindah Platform. Pada awal pemaparan, ia membahas tentang transformasi media Skor Indonesia di era konvergensi media. Beliau menyebut perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari pembentukan media dengan nama Harian TopSkor, berubah menjadi TopSkor.id, dan kemudian menjadi Skor Indonesia hingga kini.
Menjelaskan konvergensi media Skor Indonesia, ia mengungkapkan “Konvergensi dilakukan tanpa menghilangkan nilai-nilai penting dari media sebelumnya,” merujuk pada karakteristik artikelnya yang in-depth, hanya saja melalui tampilan dan medium yang berbeda.
“Selera pasar selalu berubah sehingga media selalu dituntut untuk adaptif tiap perubahan yang terjadi di pasar,” tuturnya ketika menjawab tantangan kompetisi digital. Ia melanjutkan pula bahwa penggunaan Google Trends dan Google Analytics diperlukan untuk melihat kebutuhan audiens.
Berbicara mengenai pencapaian media Skor Indonesia, ia menyebut bahwa kini, Skor Indonesia bukan hanya media olahraga, melainkan platform digital olahraga. Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa selain sebagai media, Skor Indonesia pun berkembang menjadi agensi marketing.
Menyikapi konvergensi yang ada, beliau menyampaikan inovasi lanjutan Skor Indonesia. “Konten harus interaktif dan bersifat engaging dengan audiens yang lebih besar. Dalam konvergensi media kita tidak bisa hidup sendiri, harus ada networking. Yang terpenting, ada konvergensi dari sisi struktural media.”
Topik konvergensi media diakhiri dengan pemaparan dari Jalu Wisnu Wirajati. Setelah sesi tanya jawab dan diskusi hangat dari penonton dan pembicara, diskusi Relasi Manusia dan Teknologi di Era Konvergensi Media Digital oleh Diskoma UGM resmi ditutup.
Reporter: Putri Devina Dyani