• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu

PERAN VITAL KOMUNIKASI KRISIS DALAM PENANGANAN PANDEMI COVID-19

Perspektif Senin, 30 November 2020

Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020 lalu. Covid-19 sendiri terjadi akibat infeksi virus korona yang menyerang sistem pernapasan manusia. Gejala awal infeksi virus korona ini hampir sama dengan flu biasa, yaitu batuk, demam, pilek, dan sakit tenggorokan. Pandemi ini bermula di Kota Wuhan, Cina pada akhir tahun 2019 sebelum akhirnya menyebar ke negara lain.

Harian Kompas (18 April 2020) memberitakan rangkuman peristiwa pertama Covid-19. Di luar Cina, kasus positif Covid-19 pertama terjadi di Thailand pada 13 Januari 2020. Disusul Prancis dan Australia pada 25 Januari 2020. Uni Emirat Arab menjadi negara di kawasan Timur Tengah pertama yang mengkonfirmasi kasus positif pada 29 Januari 2020. Selanjutnya, pandemi Covid-19 mulai merambah Benua Afrika dengan ditemukannya kasus positif di Mesir pada 14 Februari 2020. Sebelas hari berselang, negara di Benua Afrika lainnya yaitu Aljazair melaporkan kasus Covid-19 pertamanya.

Sementara itu, kemunculan kasus positif Covid-19 pertama di Thailand tidak membuat pemerintah  bersiap dan mengambil langkah antisipatif bilamana pandemi tersebut menular hingga ke Indonesia. Padahal, seperti kita ketahui  bersama, Thailand merupakan negara tetangga yang mempunyai letak cukup dekat dengan Indonesia. Menurut Direktur Center untuk Media LP3ES, Wijayanto, seperti yang dikutip Detik.com (6 April 2020), Pemerintah Indonesia cenderung menyangkal, bahkan terkesan menolak peringatan – peringatan tentang bahaya virus korona dari lembaga – lembaga dunia. Hal ini terlihat dari pernyataan – pernyataan kontroversial dari beberapa pejabat pemerintahan.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto cenderung denial saat menanggapi rekomendasi Universitas Harvard pada 11 Februari lalu yang menyatakan virus korona seharusnya sudah masuk ke Indonesia. Hal senada juga diungkapkan Mahfud M.D. melalui kelakarnya di media sosial yang mengatakan bahwa Covid tidak sampai ke Indonesia karena perizinannya berbelit – belit  (Wijayanto, Detik.com, 6 April 2020). Selain itu, pemerintah juga malah menganggarkan 72 miliar rupiah untuk membayar jasa influencer dan promosi media demi menggenjot pariwisata Indonesia yang lesu akibat penyebaran pandemi Covid-19 (Kompas.com, 2 September 2020). Hal ini langsung menuai reaksi negatif dari masyarakat. Pemerintah dianggap tidak serius dalam mencegah pandemi Covid-19 karena malah membuka akses untuk masuk ke Indonesia disaat banyak negara yang sudah menutup akses untuk wisatawan asing demi mencegah penularan virus korona.

Pemerintah baru tanggap dalam menangani pandemi Covid-19 saat ditemukannya kasus positif Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020. Melalui juru bicara pemerintah untuk penanganan wabah corona, Achmad Yurianto, pemerintah melakukan update reguler tentang perkembangan virus korona di Indonesia. Selain Ahmad Yurianto, dalam konferensi pers tersebut juga terselip beberapa keterangan dari tokoh masyarakat dan orang – orang atau pihak yang berwenang memberikan informasi. Hal ini perlu kita apresiasi menilik buruknya komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah sebelum adanya kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Sayangnya, komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dinilai tidak cukup baik. Ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang menganggap remeh pandemi Covid-19 dan tidak menerapkan protokol kesehatan. Keadaan ini disinyalir merupakan buntut dari pernyataan – pernyataan kontroversial para pejabat pemerintahan yang pada awal pandemi mengeluarkan statement yang terkesan menyepelekan bahaya virus korona. Masyarakat yang awam akan bahaya Covid-19 pun akhirnya banyak yang tergiring opininya dan ikut berpendapat sama. Hal ini diperparah dengan banyaknya hoaks dan teori – teori konspirasi yang berkembang.

Selain itu, ada kesangsian terhadap data jumlah kasus yang disampaikan pemerintah dari hari ke hari. Sikap pemerintah yang terkesan menutup – nutupi jumlah pasien positif Covid-19 menjadi andil besar dalam hal ini. Akibatnya banyak masyarakat yang menuntut transparansi data. Menurut pakar komunikasi massa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Gilang Desti Parahita, seperti yang dilansir Katadata (23 Juni 2020) mungkin pemerintah ingin menghindari kepanikan, namun sense of crisis-nya lemah sehingga maksudnya tidak tersampaikan dengan baik.

Pada awal terjadinya pandemi, masyarakat juga sempat kebingungan akibat adanya kebijakan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. Contohnya saat itu kita sempat dihebohkan dengan beberapa pemerintah daerah yang memberlakukan karantina wilayah (lockdown) untuk daerahnya masing – masing. Sementara itu, pemerintah pusat melalui Presiden Jokowi mengemukakan bahwa kebijakan karantina wilayah (lockdown) baik di tingkat nasional maupun daerah adalah kewenangan pemerintah pusat dan tidak boleh diambil pemerintah daerah (CNN Indonesia, 28 Maret 2020). Selain itu, komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah juga dinilai tidak efektif karena menggunakan ragam istilah asing yang sulit dipahami masyarakat awam.

Dari pernyataan – pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 bisa dikatakan tidak cukup baik. Hal ini terlihat dari adanya kebijakan yang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah, pernyataan para pejabat yang terkesan menyepelekan bahaya Covid-19, hingga tidak adanya transparansi data tentang jumlah pasien positif Covid-19. Atas dasar itu, perlu adanya perbaikan mengenai komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.

 

Referensi

Baskara, Bima. (2020, April 18). Rangkaian Peristiwa Pertama Covid-19. Kompas.id. Diakses dari https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/04/18/rangkaian-peristiwa-pertama-covid-19/

Bayu, Dimas Jarot. (2020, Juni 23). Komunikasi Krisis Pemerintah Menangani Pandemi Corona dinilai Buruk. Katadata. Diakses dari  https://katadata.co.id/agungjatmiko/berita/5ef1e78ac2977/komunikasi-krisis-pemerintah-menangani-pandemi-corona-dinilai-buruk

Hakim, Rakhmat Nur. (2020, September 2). Kilas Balik 6 Bulan Covid-19: Pernyataan Kontroversial Pejabat soal Virus Corona. Kompas.com. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/09/02/09285111/kilas-balik-6-bulan-covid-19-pernyataan-kontroversial-pejabat-soal-virus?page=all

Lockdown Daerah, Simbol Karut – marut Penanganan Corona. (2020, Maret 28). CNN Indonesia. Diakses dari 

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20200327161721-20-487625/lockdown-daerah-simbol-karut-marut-penanganan-corona

Mawardi, Isal. (2020, April 6). Ini Daftar 37 Pernyataan Blunder Pemerintah Soal Corona Versi LP3ES. Detik.com. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4967416/ini-daftar-37-pernyataan-blunder-pemerintah-soal-corona-versi-lp3es/3

 

Penulis: Firyal | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Humas VS Pandemi Covid-19: Komunikasi Krisis Gojek melalui Instagram

Perspektif Senin, 30 November 2020

Pandemi Covid-19 merupakan krisis utama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia pada tahun 2020. Istilah krisis, menurut Fearn-Banks (2016, h.1), berarti kejadian abnormal yang dapat mengganggu keberlangsungan organisasi, perusahaan, atau industri sehingga dapat menimbulkan kerugian.  Gojek merupakan salah satu perusahaan yang terkena dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia.  Kebijakan-kebijakan seperti Work from Home (WFH) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghambat Gojek sebagai salah satu penyedia layanan jasa untuk beroperasi. Pada awal tahun pun Gojek sempat harus melepas 9% dari total karyawannya akibat kerugian yang dialami (Zaenudin, 2020).

Untuk mengatasi krisis tersebut, dalam bidang hubungan masyarakat (selanjutnya akan ditulis humas), Gojek ditantang untuk meningkatkan relevansi serta reputasinya di tengah masyarakat. Selain itu, humas harus berupaya untuk menjaga kepercayaan pelanggan dalam menggunakan jasanya selama pandemi agar dapat meminimalisir kerugian. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut—dalam ranah kehumasan—diperlukan penerapan manajemen krisis dan komunikasi krisis.

Di kala pandemi, manajemen krisis menjadi salah satu komponen utama humas dalam memastikan organisasi dapat melangkah secara strategis. Manajemen krisis sendiri merupakan seperangkat upaya untuk melindungi organisasi, pemegang kepentingan serta industri dari dampak negatif yang dapat diakibatkan oleh sebuah krisis. (Coombs, 2014, h.5).  Namun, tidak cukup berupaya, manajemen krisis harus dipastikan dapat memberikan output yang setara dengan upaya yang telah dikeluarkan perusahaan. Oleh karena itu, dalam ranah kehumasan, upaya manajemen krisis harus diiringi dengan penerapan komunikasi krisis.

Krisis merupakan peristiwa mendadak yang sangat berpotensi menciptakan keriuhan dan misinformasi. Penerapan komunikasi krisis bertujuan untuk mengatur jalannya komunikasi dan persebaran informasi baik di dalam, maupun di luar perusahaan selama krisis terjadi. Menurut Coombs (2010, h.20), komunikasi krisis merupakan distribusi informasi berisi respons perusahaan yang telah diproses terlebih dahulu. Melalui penerapan komunikasi krisis, humas dapat menjembatani komunikasi antara perusahaan dan pemegang kepentingan sehingga upaya manajemen krisis tidak menjadi sia-sia.

Di era digitalisasi ini, mayoritas humas sudah beralih dari penggunaan media tradisional menuju media baru, khususnya media sosial (Grunig, 2009, h.1). Selama pandemi Covid-19, Gojek pun memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk berkomunikasi. Dengan jumlah pengikut yang hampir menyentuh satu juta, akun Instagram @gojekindonesia digunakan sebagai pusat persebaran informasi perusahaan.

Dalam akun Instagram Gojek, terdapat beberapa informasi perusahaan yang diunggah humas dalam rangka mensukseskan upaya manajemen krisis Gojek. Informasi tersebut dapat dikategorisasi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok informasi kegiatan perusahaan, kelompok informasi kebijakan, dan kelompok informasi kampanye protokol kesehatan.

Kelompok informasi kegiatan perusahaan mengacu pada informasi-informasi tentang usaha yang telah dilaksanakan perusahaan dalam rangka menciptakan ekosistem yang aman bagi mitra kerja dan pelanggan. Misalnya, pada 20 Maret 2020, Gojek mengunggah dokumentasi kegiatan pembekalan protokol kesehatan Covid-19 kepada para mitra kerja pada akun Instagramnya. Pada 2 April 2020, akun Instagram Gojek juga mengunggah inisiatif mereka dalam mengimpor lima juta masker medis sebagai bantuan kepada mitra kerja dan tenaga kesehatan di Indonesia.

Beralih ke kelompok kedua, Instagram Gojek pun menyediakan kelompok informasi kebijakan pada akun Instagram mereka. Kelompok informasi kebijakan berisi tentang kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Gojek untuk beradaptasi selama pandemi Covid-19. Salah satunya, pada 23 Maret 2020, Instagram Gojek mengunggah foto prosedur baru GoFood (layanan pesan antar makanan) dengan memerhatikan psotokol kesehatan Covid-19. Pada 13 Juni 2020, Gojek kembali mengunggah foto kebijakan baru berupa fitur sekat plastik yang membatasi mitra kerja dan pelanggan pada GoCar (layanan transportasi roda empat).

Terakhir, kelompok informasi kampanye protokol kesehatan turut meramaikan profil Instagram Gojek. Pada 27 Juni 2020, Gojek meluncurkan kampanye protokol kesehatan yang bernama J3K (Jaga Kesehatan, Jaga Kebersihan, Jaga Keamanan) melalui unggahan infografis pada akun Instagramnya. Pada deskripsi, Gojek menulis penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan dari diadakannya kampanye protokol kesehatan J3K. “Jadi, J3K adalah upaya #GoJ3K” dalam menjaga kesehatan, kebersihan, keamanan kamu dan seluruh mitra demi memastikan kenyamanan kamu saat menikmati semua layanan Gojek, kayak tiga gambar yang kamu liat di atas” (Gojek, 2020). Pada 30 Juni, Gojek melanjutkan kampanye dengan mengunggah video pada berisi tindak lanjut dari protokol J3K berupa Posko Aman J3K yang tersebar di dua ratus area layanan di Indonesia.

Ketiga kelompok informasi tersebut secara aktif diungggah oleh Gojek hingga bulan Oktober 2020. Tercatat pada 1 Oktober 2020, Gojek kembali mengunggah kelompok informasi kampanye protokol kesehatan dengan mengangkat isu masker.

Dengan mengatur distribusi ketiga kelompok informasi tersebut pada Instagram, humas Gojek dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan reputasi dan relevansi Gojek di tengah pandemi. Melalui Instagram, informasi-informasi tersebut dapat menjangkau masyarakat dalam skala yang besar. Misalnya salah satu unggahan yang sukses meraih publisitas tinggi adalah video tentang bantuan masker yang telah disebutkan sebelumnya. Tertanda sejak 2 April 2020, video tersebut telah ditonton sebanyak 1,1 juta kali oleh para pengguna Instagram. Bahkan, video seorang mitra yang sedang menjelaskan fitur baru GoJek (layanan transportasi roda dua) berhasil mencapai angka yang lebih tinggi, yaitu sebanyak 10,9 juta kali ditonton. Pada bulan Mei 2020, beberapa layanan jasa Gojek, yaitu GoFood, GoMart (layanan belanja), dan GoSend (layanan kirim barang) pun berhasil mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat (Noviyanti, 2020).

Meskipun demikian, masih banyak yang harus dibenahi dari kinerja humas Gojek dalam menghadapi krisis dan menerapkan komunikasi krisis. Seharusnya komunikasi krisis tidak hanya mengatur jalannya informasi dengan pelanggan, tetapi juga kepada para mitra kerja. Namun, apabila ditelaah pada kolom komentar Instagram Gojek, banyak sekali mitra kerja yang meminta kejelasan informasi, khususnya dari kalangan mitra supir GoJek dan GoCar. Mengutip salah satu komentar mitra di salah satu unggahan Gojek, “Sekarang kok dapat masker trs.. kadang ga dapat.. Cuma cek suhu.. klo sebelumnya suka dapet shampo Clear botol gede (besar), sanitizer, pembersih muka..” (@djoni.hartono, 2020), dapat diketahui bahwa terjadi kekurangan komunikasi antara perusahaan dan mitra kerja. Padahal, mitra kerja adalah salah satu pemegang kepentingan utama di kala krisis yang membutuhkan informasi. Kolom komentar yang berisi kritikan seperti di atas pun dapat menjadi ancaman tersendiri bagi reputasi Gojek sebagai perusahaan.

Oleh karena itu, dibutuhkan penerapan komunikasi krisis yang dapat menjangkau berbagai pemegang kepentingan. Informasi harus dipastikan mencapai seluruh pemegang kepentingan agar humas dapat memastikan kinerja perusahaan yang lebih efisien di kala krisis. Dengan demikian, upaya-upaya manajemen krisis yang telah dilakukan perusahaan dapat bermanfaat sebagai mana mestinya.

 

 

Referensi

Coombs, W. T. (2010). Parameters for crisis communication. The handbook of crisis communication, 17-53. Blackwell Publishing, ltd. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=mt0F2LBNPa8C&oi=fnd&pg=PA17&ots=DqM2aoKVGN&sig=5R6NQjTfP3eJC90lyUlaqYwZJCs

Coombs, W. T. (2014). Ongoing crisis communication: Planning, managing, and responding. Sage Publications. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=CkkXBAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PR1&dq=Coombs,+W.+T.+(2007b).+Ongoing+crisis+communication:+Planning,+managing,+and+responding+(2nd+edn.).+Los+Angeles:+Sage.&ots=NIu84hen6f&sig=CNNbEXY2Tz8CQ5xC8kr9-fcmnN0

DjoniHartono. [@djoni.hartono]. (2020, 31 Agustus). Sekarang kok dapat masker trs.. kadang ga dapat.. Cuma cek suhu.. klo sebelumnya suka dapet sampo Clear botol gede (besar). Oleh @djoni.hartono [Komentar Instagram]. https://www.instagram.com/p/CEWG3ObAuev/?utm_source=ig_web_copy_link

Fearn-Banks, K. (2016). Crisis communications: A casebook approach. Routledge. https://www.google.com/books?hl=en&lr=&id=aOPLDAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=s+Communications:+A+Casebook+Approach&ots=Ee6ZXYq7MG&sig=GKMDQ8ZdPD4w9z9Vobt0wLrm5T8

GojekIndonesia. [@gojekindonesia]. (2020, Juni 27). Gaes, kenalin ini protokol J3K dari Gojek. Iya, kamu gak salah liat kok. Itu bukan huruf “E” kebalik. Oleh @gojekindonesia [Foto Instagram]. https://www.instagram.com/p/CB7vkDXH8Pp/?utm_source=ig_web_copy_link

GojekIndonesia. [@gojekindonesia]. (n.d.). Unggahan-unggahan [Profil Instagram]. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://www.instagram.com/gojekindonesia/

Grunig, J. E. (2009). Paradigms of global public relations in an age of digitalisation. PRism, 6(2), 1-19. https://www.researchgate.net/profile/James_Grunig/publication/46280145_Paradigms_of_Public_Relations_in_an_Age_of_Digitalization/links/00b4952b20ceba16ba000000/Paradigms-of-Public-Relations-in-an-Age-of-Digitalization.pdf

Noviyanti, S. (2020, Juli 13). Jadi Andalan, 5 Layanan Gojek Meningkat Penggunaannya. Money Kompas. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://money.kompas.com/read/2020/07/13/184100626/jadi-andalan-5-layanan-gojek-meningkat-penggunaannya-selama-pandemi

Zaenudin, A. (2020, Juni 24). Kala Grab dan Gojek Goyah Akibat Corona. Tirto.id. Diakses 18 Oktober 2020 pada https://tirto.id/kala-grab-dan-gojek-goyah-akibat-corona-fKxg

 

Penulis: Kusuma Nabila | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Buzzer Sebagai Wujud Periklanan Digital

Perspektif Senin, 30 November 2020

Dunia seiring perputarannya selalu berubah dan memunculkan era-era baru. Perjalanan dunia dari masa ke masa tentu telah mengubah banyak hal. Cara berkomunikasi atau bertukar informasi antar individu menjadi suatu hal sederhana yang tampak nyata perubahannya. Bersamaan dengan revolusi industri, komunikasi dan pertukaran informasi juga terkena dampak besar sekaligus turut berevolusi di dalamnya. Salah satunya, perkembangan teknologi informasi pada bidang komunikasi yang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Teknologi mobile menjadi faktor utama dalam perkembangan tersebut. Sedikitnya terdapat dua teknologi meliputi telepon seluler dan ponsel atau komputer berjaring internet sebagai pendorong revolusi di bidang tersebut.

Pertama, telepon seluler menjadi cikal perkembangan pesat dari teknologi mobile. Perkembangan diawali dengan penemuan teknologi 1G yang menggunakan AMPS (Advance Mobile Phone System) pada pertengahan tahun 90-an. Selang sepuluh tahun setelahnya, muncul teknologi 2G meliputi TDMA (Time Division Multiple Access) dan CDMA (Code Division Multiple Access). Penemuan teknologi berbasis 1G dan 2G ini mendorong perkembangan teknologi berikutnya dengan cepat. Teknologi berikutnya dikembangkan dengan memunculkan fitur internet pada telepon seluler yang menggunakan teknologi GSM (Global System for Mobile Communications). Kedua, ponsel atau komputer berjaring internet menjadi lanjutan dari perkembangan teknologi seluler. Melalui internet, individu dapat terhubung secara virtual tanpa batas ruang dan waktu

Revolusi industri juga mendorong tingginya proses industrialisasi di berbagai bidang. Seiring pesatnya dunia industri berkembang perusahaan-perusahaan besar muncul perlu adanya pemasaran dari produk-produk tersebut. Pemasaran produk dapat dilakukan dengan strategi promosi yang disebut dengan iklan. Dunn dan Barban (1978) berpendapat, bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar uang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada konsumen, oleh perusahaan, lembaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan (Widyatama, 2007:15). Melalui iklan suatu produk dapat menarik perhatian individu terhadap produk tersebut.

Perkembangan pesat antara dunia industri dan teknologi mobile berdampak pada cara pemasaran suatu produk. Media periklanan juga turut berkembang di dalamnya. Pada awalnya pemasaran dilakukan dengan bertemunya pihak yang ingin memasarkan produknya dengan individu sebagai sasaran dari produk tersebut. Akan tetapi, teknologi mobile memudahkan proses tersebut dengan pemasangan iklan melalui media digital, seperti: televisi, radio, dan media sosial.

Memasuki era digital, periklanan jauh lebih banyak merambah media sosial. Pemasaran secara digital (digital marketing) lebih banyak digunakan pada masa sekarang. Menurut Kotler (2012) pemasaran online adalah pemasaran yang dilakukan melalui sistem komputer online secara interaktif yang menghubungkan antara konsumen dan penjual secara elektronik (Kotler, 2012). Melalui pemasaran digital praktik pemasaran dapat dilakukan secara luas dan mengikuti zaman. Pemasaran digital memunculkan istilah buzzer dalam dunia bisnis digital. Kotler dan Keller menyatakan pendapatnya mengenai Word of Mouth Communication (WOM) atau komunikasi dari mulut ke mulut sebagai proses komunikasi berupa pemberian rekomendasi baik secara individu maupun kelompok terhadap suatu produk atau jasa yang bertujuan untuk memberikan informasi secara personal. Word of Mouth kemudian di adaptasikan secara digital melalui munculnya para buzzer. Dengan kata lain buzzer media sosial lebih identik dengan upaya memperkuat suatu pesan (Arianto, 2019).

Riset oleh CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) pada tahun 2017 memaparkan beberapa karakter yang dimiliki oleh buzzer. Buzzer memiliki jaringan yang luas dan memiliki pengikut dalam jumlah besar untuk dapat mengumpulkan informasi-informasi penting. Buzzer memiliki kemampuan untuk melakukan perbincangan dengan khalayak di media sosial agar pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi. Kemampuan memproduksi konten meliputi pengetahuan jurnalistik dan pembingkaian atau pemilihan informasi. Terakhir, pembentukan motif dalam memproduksi konten.

Pada penelitian yang dilakukan Bambang Arianto, aktivitas buzzer dalam memperkuat suatu konten terbagi dalam tiga kategori, yakni membangun citra positif (supporting), mengklarifikasi citra (defensif), dan menyerang dan merusak citra pesaing (offensive). Peran supporting dan defensif  dalam dunia bisnis menjadi peran yang paling kerap dilakukan. Bergeser pada konteks politik, buzzer bergerak pada peran offensive memanfaatkan informasi baik fakta maupun hasil investigasi individual. Amplifikasi pesan dapat bergerak dengan cepat dan memunculkan motif tertentu. Dengan demikian inilah yang membuat pesan yang disampaikan bisa cepat viral atau tersebar secara luas kepada warganet (Arianto, 2019).

Teknik periklanan dalam perkembangan teknologi mobile memiliki dampak pada dunia industri. Dampak positif ditimbulkan dalam proses pemasaran online ini. Menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pemasaran suatu produk secara online. Mempublikasi dan mempromosikan produk meningkatkan kerjasama suatu industri. Selain itu, pemasaran secara digital memantik cara industri untuk terus kreatif dan inovatif dalam melakukan promosi di berbagai media.

Bersamaan dengan dampak negatif, terdapat dampak negatif yang ditimbulkan atas munculnya buzzer dalam periklanan digital. Peran buzzer semakin meluas cakupannya hingga ke ranah politik. Buzzer melancarkan doxing atau penyerangan secara personal terhadap individu yang dianggap lawan. Selain itu, buzzer dijadikan sebagai alat penggiringan opini, menyebarkan fitnah berdasarkan hoaks, dan kabar yang misleading untuk menjegal lawan politiknya. Aktivitas tersebut semakin besar dampak negatifnya saat para buzzer tidak memperhatikan kondisi masyarakat.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa perkembangan dunia industri diiringi dengan perkembangan teknologi mobile. Penemuan jejaring sosial mendorong perpindahan cara pemasaran secara digital. Buzzer menjadi salah satu wujud perkembangan periklanan dalam media digital. Menuntut para individu yang berkecimpung di dunia periklanan untuk terus inovatif dan kreatif membuat konten menjadi dampak positif dari adanya buzzer. Akan tetapi, peran buzzer yang kian bergeser ke ranah politik juga dapat menimbulkan dampak negatif, yakni munculnya sebaran berita hoax untuk saling menjatuhkan antar individu. Maka dari itu, perlu adanya batasan-batasan tertentu dalam penggunaan jasa buzzer sebagai media periklanan.

 

Referensi

Arianto, B. (2019) Buzzer Media Sosial dan Branding Produk UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal UMKM Dewantara. Volume 2 Nomor 1 Juli.

Arianto, B. (2020). Peran Buzzer Media Sosial Dalam Memperkuat Ekosistem Pemasaran Digital. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Volume 10 Nomor 1.

Dewita, Azrika. 2020. Pemanfaatan Buzzer Sebagai Media Promosi untuk Mengembangkan Ekonomu Kreatif di Dinas Pariwisata Provinsi Riau. Skripsi. Riau: Universitas Negeri Islam Sultan Syarif Kasim.

Kasemin, Kasiyanto. 2015. Agresi Perkembangan Teknologi Informasi. Jakarta: Prenemedia Group

Kotler & Armstrong. (2012). Principles of Marketing 14th Edition. New Jearsey: Pearson Education Inc.

Awal Hasan, (2020, September 20). Tirto: Yang Toksik dari Buzzer Politik. Diakses dari https://tirto.id/yang-toksik-dari-buzzer-politik-f4QD

 

Penulis: Fitri Tsalisa | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Representasi Difabel dalam Sinema dan Layar Kaca Indonesia

Perspektif Senin, 30 November 2020

Disabilitas merupakan isu yang kurang disorot dalam sinema dan layar kaca Indonesia. Dalam penyorotannya, seringkali terjadi representasi yang keliru sehingga menciptakan stereotip mengenai penyandang disabilitas atau difabel. Porsi penyorotan dan stereotip ini menentukan cara pandang masyarakat tentang penyandang disabilitas.

Difabel sebenarnya telah disorot sebagai hiburan sebelum populernya media digital, tepatnya di acara hiburan seperti pertunjukan orang aneh (freak show). Freak show sendiri merupakan pertunjukan atau pameran manusia yang memiliki kelainan atau disabilitas fisik (Bogdan, 1990 : 267). Kelainan dan disabilitas ini meliputi  manusia kerdil, gigantisme, progressive muscular atrophy, dan albinisme.

Salah satu pameran manusia aneh digelar di The American Museum oleh Phineas Taylor Barnum yang kemudian dimodifikasi menjadi sirkus keliling. Dalam pameran tersebut, Barnum melibatkan para penyandang disabilitas seperti manusia kerdil (Tom Thumb),  manusia gigantik (Anna Swan), manusia tengkorak atau living skeleton (Isaac Sprague), serta keluarga albino (The Lucasies). Pameran manusia aneh ini turut berperan dalam meningkatkan popularitas The American Museum yang terus dimodifikasi hingga dikenal dengan The Greatest Show on Earth (Saxon, 1989). Dapat dikatakan bahwa pameran tersebut merupakan bentuk eksploitasi penyandang disabilitas dalam dunia hiburan dan berperan dalam menciptakan stereotip bagi para difabel, yaitu sebagai manusia aneh.

Sementara pada program hiburan jam tayang utama di Amerika Serikat, Henderson & Heinz-Knowles pada 2003 (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) menemukan bahwa hanya 0,6% dari karakter tokoh di televisi yang merupakan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan kurangnya porsi representasi penyandang disabilitas di layar kaca.

Representasi penyandang disabilitas juga terdapat dalam media hiburan Indonesia. Representasi ini dapat ditemukan dalam beberapa film seperti “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” (2011), “Hafalan Shalat Delisa” (2011), “Rumah Tanpa Kaca” (2011), dan “Pengabdi Setan” (2017). Selain itu, representasi difabel juga ditemukan dalam beberapa program televisi seperti sinetron “Si Cecep” (2004), acara situasi komedi “Opera Van Java” (2008), dan acara gelar wicara komedi “Ini Talkshow” (2014).

Representasi dalam media hiburan layar kaca berperan dalam konstruksi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap disabilitas serta penyandangnya. Representasi inilah yang akhirnya menciptakan stereotip karena sifatnya yang cenderung memarginalkan penyandang disabilitas.

Longmore (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) mendeskripsikan marginal penyandang disabilitas atau difabel dalam televisi dan sinema dalami lima potret utama. Yang pertama adalah potret penyandang disabilitas sebagai orang jahat atau kriminal. Potret ini dapat ditemukan dalam film “Gundala” (2019) yang direpresentasikan oleh tokoh Pengkor (Bront Palarae). Tokoh Pengkor menggambarkan sosok mafia dengan luka bakar di bagian kanan tubuhnya dan kaki yang pincang. Sosok Pengkor sendiri merupakan tokoh antagonis yang berseberangan dengan Gundala—tokoh pahlawan di film ini.

Yang selanjutnya adalah potret penyandang disabilitas sebagai monster atau sosok yang menakutkan. Potret ini ditemukan dalam sinetron “Tuyul dan Mbak Yul” (1997) yang direpresentasikan tokoh tuyul bernama Ucil. Selain itu, Ucil juga diperankan oleh Ony Syahrial yang sebenarnya memiliki disabilitas berupa kondisi tubuh lebih kecil daripada umumnya atau biasa dikenal dengan sebutan manusia kerdil. Walaupun Ucil memiliki karakter yang humoris, masyarakat tetap mengidentikkan tuyul dengan hal-hal mistis yang menakutkan.

Karakter Azis Gagap dalam “Opera Van Java” (2008) merupakan potret difabel sebagai manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted) dengan lingkungannya. Tokoh Azis Gagap merepresentasikan disabilitas berbicara (gagap). Potret maladjusted ini terlihat dalam skenario perundungan terhadap tokoh Azis Gagap yang didasarkan pada disabilitas yang dimiliki tokohnya. Tokoh Azis Gagap kerap terlihat kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawan bermainnya yang biasanya dalam jumlah banyak.

Difabel juga kerap direpresentasikan sebagai pahlawan dan memiliki kekuatan super. Contohnya adalah tokoh Ceking dalam sinetron “Ronaldowati” (2008). Tokoh Ceking menggambarkan seorang anak dengan tubuh yang kurus kering. Tubuh Ceking membuatnya dapat berlari cepat sehingga ia turut berperan dalam memenangkan beberapa pertandingan sepak bola dalam sinetron tersebut.

Yang terakhir adalah potret penyandang disabilitas sebagai manusia dengan penyimpangan seksual. Potret ini jarang disorot oleh media Indonesia, mengetahui sensitivitas Indonesia terhadap isu penyimpangan seksual. Namun, potret penyimpangan seksual dapat ditemukan pada tokoh Cecep dalam sinetron “Wah Cantiknya” (2001). Tokoh Cecep menggambarkan seorang laki-laki dengan keterbelakangan mental yang kerap asyik dalam dunianya. Hal ini menyebabkan Cecep cenderung tidak memiliki ketertarikan seksual kepada tokoh-tokoh wanita  yang jatuh hati padanya.

Masyarakat cenderung meyakini stereotip difabel yang diberikan oleh media. Stereotip yang diyakini masyarakat ini juga menentukan interaksi masyarakat dengan difabel. Penelitian Paul Hunt (dikutip oleh Pirsl & Popovska, 2013) menunjukkan sepuluh stereotip mengenai difabel dalam media yang diyakini masyarakat. Stereotip ini meliputi difabel sebagai komunitas yang harus dikasihani; sebagai objek rasa penasaran atau kekerasan; sebagai komunitas yang bersifat kejam atau jahat; diidentikkan dengan pincang; sebagai pusat perhatian; sebagai bahan tertawaan; sebagai musuh; sebagai beban; sebagai manusia non seksual; dan diidentikkan dengan kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Stereotip ini merugikan bagi penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan media membingkai karakter mereka menjadi bagian-bagian kecil sederhana. Bahkan bingkai sederhana tersebut cenderung mengarah ke citra negatif. Pada kenyataannya, difabel merupakan manusia yang lebih kompleks dan beragam (Ross, 1997).

Media sebagai penentu pandangan masyarakat (Zhang, 2010) semestinya memberikan porsi penyorotan difabel yang cukup dengan representasi bervariasi seperti difabel dalam dunia nyata. Dengan harapan masyarakat dapat mendapat gambaran yang lebih realistis mengenai penyandang disabilitas. Dengan begitu, difabel tidak lagi diidentikkan dengan konotasi negatif dan dapat dipandang seperti manusia pada umumnya.

 

Referensi

Bogdan, R. (1990). Conclusion: Freak Encounter. Notes on the Sociology of Deviance and Disability. In Freak Show: Presenting Human Oddities for Amusement and Profit (p. 267). The University of Chicago Press.

Pirsl, D., & Popovska, S. (2013). Media Mediated Disability : How to Avoid Stereotypes. International Journal of Scientific Engineering and Research (IJSER), 1(4), 42-45.

Ross, K. (1997). But where’s me in it? Disability, broadcasting and the audience. Media, Culture and Society. https://doi.org/10.1177/016344397019004009

Saito, S., & Ishiyama, R. (2005). The invisible minority: Under-representation of people with disabilities in prime-time TV dramas in Japan. Disability and Society. https://doi.org/10.1080/09687590500086591

Saxon, A. H. (1989). P. T. Barnum and the American Museum. The Wilson Quarterly, 13(4), 130–139. https://doi.org/10.2307/40257964

Zhang, Q. (2010). Asian americans beyond the model minority stereotype: The nerdy and the left out. Journal of International and Intercultural Communication. https://doi.org/10.1080/17513050903428109

 

Penulis: Annisa Gissena | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Penawaran Menggiurkan Mobile Advertising

Perspektif Senin, 30 November 2020

Seiring dengan kemajuan zaman, teknologi komunikasi juga mengalami perkembangan pesat. Terutama pada teknologi komunikasi bergerak atau mobile technology. Mobile technology merupakan bagian dari teknologi yang melibatkan pergerakan (Mau & Thein, 2009). Teknologi ini telah berkembang pesat pada beberapa tahun terakhir. Kehadirannya memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Mobilitas manusia yang semakin banyak berdampak pada meningkatnya kebutuhan manusia akan teknologi bergerak (seluler). Dalam presentasi yang berjudul “Mobile is Eating The World” oleh Benedic Evans di Tech Summit 2014, ditunjukkan data bahwa pembelian smartphone hampir mencapai 50 persen dari konsumsi dunia dalam industri elektronik (Columbus, 2014). Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari manusia terhadap teknologi seluler.

Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi seluler disebabkan oleh adanya sifat personalisasi. Sifat personalisasi menjadikan telepon seluler selalu dibawa kemanapun dan kapanpun oleh pemiliknya. Dengan adanya personalisasi ini, akan tercipta peluang besar bagi perusahaan untuk dapat melakukan komunikasi one on one kepada konsumen (Iskandar, 2014). Komunikasi one on one merupakan peluang yang dimanfaatkan oleh praktisi pemasaran. Berkaitan dengan hal itu, praktisi pemasaran perlu bekerja sama dengan operator seluler. Kerja sama antara praktisi pemasaran dengan operator seluler membuat teknologi seluler menjadi target pasar media periklanan.

Periklanan dalam teknologi seluler atau biasa disebut mobile advertising memang belum menjadi primadona. Menurut data IAB (2017), belanja iklan terbesar berada di industri televisi dengan jumlah 60 persen. Sisanya berada di media cetak dengan jumlah 18,9 persen dan media digital sejumlah 17 persen (Partawidjaja, 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa periklanan dalam teknologi seluler atau media digital masih kurang diminati, padahal mobile advertising mempunyai banyak kelebihan yang ditawarkan.

Periklanan di televisi memang masih mendominasi. Hal tersebut dikarenakan media televisi merupakan media yang digandrungi sebelum masuknya teknologi seluler. Orang-orang memilih melihat televisi karena memiliki gambar bergerak sehingga menarik. Namun, tentu saja hal itu mulai tergantikan oleh perkembangan teknologi. Bentuk televisi yang terlalu besar membuatnya tidak bisa dibawa kemana-mana dan tidak mendukung mobilitas manusia, sehingga orang-orang hanya menonton televisi pada saat tertentu. Selain itu, biaya yang relatif mahal menjadi kekurangan industri periklanan dalam televisi. Penonton juga sangat mudah mengganti channel pada saat iklan diputar (Suroto, 2016). Semua kekurangan itu dapat dijawab oleh keunggulan yang ada pada mobile advertising.

Mobile advertising akan sangat membantu perusahaan untuk dapat bergerak maju. Cakupan target konsumen yang luas dengan harga yang belum terlalu mahal menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, keberagaman model iklan yang dapat digunakan juga menambah poin plus mobile advertising. Selain iklan berbentuk gambar dan video, telah ditemukan sebuah inovasi iklan berbentuk game. Iklan ini seperti trial game sehingga calon konsumen diberi kesempatan untuk menjajal satu level dari game tersebut (Partawidjaja, 2017). Oleh karena itu, mobile advertising mampu menjadi sebuah media yang strategis.

Efisiensi dari mobile advertising juga baik karena di dalamnya terdapat sebuah fitur yang bernama targeting capability. Sistem kerja mobile advertising akan memberikan data yang didapatkan dari para konsumen untuk membuat fitur targeting capability dapat bekerja. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dari historical data dan user profile-nya. Analisis tersebut akan menghasilkan data tentang kebiasaan atau ketertarikan seorang konsumen (Partawidjaja, 2017). Lebih lanjut, iklan yang diluncurkan akan disesuaikan dengan data tersebut sehingga diharapkan dapat tepat sasaran. Dengan begitu perusahaan akan lebih tertarik menggunakan media mobile advertising untuk mempromosikan produknya.

Semua keunggulan yang ditawarkan mobile advertisement memanglah sangat menjanjikan. Namun, mobile advertising masih belum menjadi media utama dalam industri periklanan. Hal itu dikarenakan jaringan internet belum merata. Selain itu, banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam mobile advertising menyulitkan perusahaan yang belum terbiasa dengan teknologi terkini.  Oleh karena itu, mobile advertising masih memerlukan beberapa perbaikan dan pembaruan strategi.

Penyedia jasa mobile advertising perlu serius dalam mengerjakan perbaikan sistem, meningkat potensinya yang besar di Indonesia. Indonesia yang termasuk dalam 10 besar konsumen teknologi seluler menjadikannya sebuah pasar yang menjanjikan bagi mobile advertising. Selain itu, menurut penelitian yang ditulis PwC, jumlah pendapatan mobile advertising di indonesia meningkat empat kali lipat di tahun 2018 (Eka, 2017). Namun, potensi tersebut masih belum optimal, karena menurut We Are Social pada Januari 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 64 persen dari total penduduk (Haryanto, 2020). Jika internet sudah bisa diakses oleh seluruh warga Indonesia itu akan menjadikan potensi mobile advertising optimal.

Mobile advertising di Indonesia akan membawa dampak yang baik. Pemanfaatan mobile advertising akan membawa dampak bagi banyak sektor. Jika Indonesia dapat melakukan optimalisasi pemerataan internet dan UMKM serta perusahaan sadar akan seberapa menguntungkannya mobile advertising maka Indonesia akan memilki pendapatan besar dari sektor ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya optimalisasi oleh pemerintah untuk membantu perkembangan mobile advertising di Indonesia.

Kesempatan emas ini harus dapat dimanfaatkan Indonesia dengan baik. Di masa medatang pengembangan usaha dalam negeri atau penanaman investor luar akan semakin gencar. Dengan begitu, hal ini dapat membukakan jalan menuju lapangan kerja yang luas. Adanya lapangan kerja yang luas akan mengurangi jumlah pengangguran dan menambah pendapatan perkapita negara.

 

Referensi

Columbus, L. (2014, November 9). Mobile is Eating The World. Forbes. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/louiscolumbus/2014/11/09/mobile-is-eating-the-world/#18453bfe647d

Eka, R. (2017, Mei 26). Memahami Potensi dan Tantangan “Mobile Advertising” di Indonesia. Dailysocial. Diakses dari https://dailysocial.id/post/memahami-potensi-dan-tantangan-mobile-advertising-di-indonesia

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia. Detik. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Iskandar, D. (2014). Analisa Pengaruh Mobile Advertising Pada Industri Telekomunikasi. IncomTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer , 106.

Mau, S. Y., & Thein, N. L. (2009). Multi-Agent Mobile Tourism System. Di Information Science and Technology (pp. 2722-2728). Pennsylvania: IGI Global.

Partawidjaja, D. (2017, November 28). Selamat datang di Era Mobile Advertising. Kontan. Diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/selamat-datang-di-era-mobile-advertising?

Suroto, H. L. (2016, Juli 9). Kelebihan dan Kelemahan Iklan Televisi Sebagai Media Periklanan. gomarketingstrategic. Diakses dari https://www.gomarketingstrategic.com/kelebihan-dan-kelemahan-iklan-televisi-sebagai-media-periklanan/

 

Penulis: Alfin Zain | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Pengaruh Stereotip dalam Film terhadap Karakter Anak

Perspektif Senin, 30 November 2020

Menonton film merupakan kegiatan yang menyenangkan untuk anak-anak. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sebuah film dapat memberikan gejolak emosi bagi mereka. Tak jarang kemudian anak-anak dibuat terpukau dan terinspirasi oleh perilaku tokoh di dalam film tersebut. Ada yang berimajinasi menjadi tokoh pahlawan super, peri dan kurcaci, atau seorang kesatria dan putri kerajaan.

Berbicara mengenai film anak-anak tentu tidak bisa lepas dari eksistensi Disney. Perusahaan konglomerat asal Amerika ini menghasilkan banyak film untuk anak-anak sejak didirikan pada 16 Oktober 1923. Namun dalam perkembangannya, film-film garapan Disney sering mendapat kritik karena adanya stereotip terhadap gender dan budaya di dalamnya.

Manstead dan Hewstone (dikutip oleh Murdianto, 2018) dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology, mendefinisikan stereotip sebagai: …societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups and their members. Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial.

Karakter Disney biasanya dikutip dalam literatur psikologi sosial sebagai bukti stereotip yang dikenal sebagai “apa yang indah itu baik” (Dion, Berscheid, & Walster, 1972). Sebagai contoh, Eagly, Ashmore, Makhijani, dan Longo (1991) mengusulkan bahwa contoh stereotip tercermin dalam buku anak-anak dan televisi di mana pangeran heroik dan putri berbudi luhur itu menarik, tetapi penyihir jahat dan raksasa jahat itu jelek. Lebih khusus lagi, Myers (2002) menegaskan, “Anak-anak mempelajari stereotip cukup dini. Putri Salju dan Cinderella itu cantik dan baik hati. Penyihir dan saudara tirinya jelek dan jahat.” (Bazzini D. dkk, 2010)

Penggambaran yang begitu jelas mengenai perbedaan sifat ini menjadi salah satu stereotip yang meresahkan. Anak-anak akan terbiasa mengaitkan orang jahat dengan buruk rupa dan orang baik dengan kecantikan. Padahal sebenarnya rupa seseorang tidak dapat dijadikan tolak ukur sifat asli orang tersebut. Untuk mengetahui sifat orang lain, tentu seseorang harus memulai interaksi antara satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang anak membuka diri jika mereka sudah terlebih dahulu memberikan stereotip tertentu terhadap orang lain?

Selain stereotip terhadap penampilan, stereotip lain yang juga dominan dalam industri perfilman Disney adalah stereotip terhadap karakter perempuan. Dilansir dari bbc.com, Gray (2019) mengatakan bahwa karakter wanita seperti Snow White, Sleeping Beauty dan Cinderella digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya beres-beres dan butuh diselamatkan oleh laki-laki. Hal ini menjadi salah satu bentuk penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam mengatasi permasalahannya sendiri.

Stereotip ini sempat dipatahkan dengan diluncurkannya film Brave pada tahun 2012 yang menjadi hasil kerjasama Walt Disney dan Pixar Animation Studios. Dalam film tersebut tokoh utama diceritakan sebagai seorang putri yang memiliki karakter bebas dan kuat. Sayangnya, ketidakberdayaan perempuan muncul kembali di saat Merida—sang tokoh utama—terpaksa menjalani perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya.  

Hal ini terjadi pula pada karakter Ariel di The Little Mermaid, Putri Jasmine di Aladdin, dan Pocahontas. Ketiganya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk bebas dan melepaskan diri dari tradisi yang menjerat mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya tetap saja tokoh laki-laki dalam film tersebut berperan jauh lebih dominan. Bahkan para putri ini dibuat rela melakukan apapun untuk sang tokoh lelaki.

Berbeda dengan serial Disney Princess lainnya, kisah Mulan digambarkan dengan lebih sedikit porsi stereotip di dalamnya. Walaupun begitu, tetap ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa stereotip tersebut tidak benar-benar hilang. Jaber dalam artikelnya Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan, mengatakan pendapatnya tentang film Mulan: …the film makes great strides in the corporation’s portrayal of the typical Disney princess and sends a message of female empowerment, individuality, and independence to its audience. Film ini membuat langkah besar dalam penggambaran perusahaan tentang putri Disney yang khas dan mengirimkan pesan tentang pemberdayaan, individualitas, dan kemandirian wanita kepada pemirsanya.

Kisah tentang Mulan berasal dari sebuah puisi berjudul The Ballad of Mulan (Ode of Mulan). Asia for Educators (n.d.) menjelaskan bahwa puisi ini disusun pada abad kelima atau keenam M. Dalam kisah Disney, Mulan diceritakan sebagai seorang perempuan yang pergi ke kemah pelatihan untuk bertarung menggantikan ayahnya yang sakit. Mulan terpaksa menyembunyikan identitas aslinya sebagai perempuan dan menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Ping (Hua Jun dalam versi live action 2020). Ia pergi secara diam-diam dari rumah dengan kuda, pedang, serta baju zirah milik ayahnya.

Selama berada di kemah pelatihan, Mulan diceritakan mengalami banyak kesulitan. Fisiknya yang digambarkan lebih kecil dibanding rekan-rekannya membuat ia harus berusaha lebih keras dalam berlatih bela diri. Ia juga diceritakan sering terjatuh saat angkat beban karena ia tidak sekuat rekannya yang lain. Penggambaran kelemahan Mulan ini kembali menunjukkan stereotip terhadap ketidakberdayaan perempuan dalam serial Disney.

Namun, di sisi lain, keberhasilan Mulan dalam menghadapi rintangan-rintangan ini justru menjadi salah satu perombak stereotip tersebut. Keberhasilannya menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya memiliki peluang yang sama selama mereka berusaha. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa Mulan adalah sosok yang membuat pasukannya memenangkan pertarungan dengan kaum Hun.

Dibanding versi kartunnya di tahun 1998, versi live action yang dirilis pada Maret 2020 ini lebih berfokus untuk menunjukkan kekuatan perempuan. Sosok Mulan dalam versi baru diceritakan memiliki kemampuan chi yang luar biasa yang memudahkannya selama pelatihan. Mulan tidak lagi diceritakan kesulitan dalam latihan bela diri ataupun sering terjatuh saat angkat beban. Bahkan terdapat salah satu adegan bertarung antara Mulan dan Honghui yang semakin menunjukkan kekuatan chi yang Mulan miliki. Dalam versi ini juga tidak terdapat adegan ketika penyamaran Mulan terungkap, justru Mulan sendirilah yang mengakui dirinya perempuan di hadapan komandan dan rekan-rekannya.

Walaupun stereotip terhadap perempuan dalam film Mulan belum sepenuhnya hilang, cerita ini membawa gebrakan baru bagi industri perfilman. Penghapusan stereotip terhadap suatu kelompok dalam cerita, terutama cerita yang dibuat untuk anak-anak, akan menguatkan karakter para penontonnya. Terlebih lagi, karakter yang dibentuk saat anak-anak akan menjadi karakter yang dominan ketika dewasa nanti. Dengan adanya penghapusan ini, mereka tidak akan lagi menilai orang dari tampilan luarnya saja melainkan mulai mencoba mengenali orang tersebut. Selain itu, kesetaraan gender di dalam masyarakat juga akan semakin dihormati karena karakter kuat yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

 

Referensi

Asia for Educators. n.d. “THE BALLAD OF MULAN (ODE OF MULAN)”.  http://afe.easia.columbia.edu/ps/china/mulan.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 10.08 WIB.

Bazzini, D., Curtin, L., Joslin, S., Regan, S., & Martz, D. (2010). Do Animated Disney Characters Portray and Promote the Beauty-Goodness Stereotype? Journal of Applied Social Psychology, 40(10), 2687–2709. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2010.00676.x

Gray, R. 2019. Bagaimana Film-Film Disney Membentuk Cara Pandang Penontonnya. Diunggah pada 3 Oktober 2019. Terarsip pada https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-49908186

Jaber, H. Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan. Terarsip pada https://heatherjay.wordpress.com/ml-4-dissecting-stereotypes-disneys-mulan/. Diakses 15 Oktober 2020 pukul 08.38 WIB.

 Murdianto. 2018. Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia), Vol. 10, No. 2, halaman 141.

 

Penulis: Charisma | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Jurnalisme Membentuk Masyarakat Siaga Bencana

Perspektif Senin, 30 November 2020

Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Hasil dari kegiatan jurnalisme adalah berita.  Berita merupakan sebuah informasi yang berisi fakta mengenai peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Berita disampaikan melalui perantara berupa media cetak ataupun elektronik. informasi yang disampaikan mengenal urutan waktu atau biasa disebut kronologis. Peristiwa disampaikan dari bagaimana hal itu berawal dan bagaimana dampaknya. Jurnalisme diharapkan menjadi pembuka wawasan setiap masyarakat mengetahui dunia yang luas ini. Dengan terbukanya pemikiran manusia melalui informasi yang didapatkan,tidak ada lagi terjadi yang terjadi akibat kesalahpahaman.

Jurnalisme memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan hidup masyarakat. Pemberitaan yang sudah dilakukan sangat mempengaruhi apa yang akan dilakukan oleh masyarakat. Salah satu informasi yang penting disampaikan oleh  jurnalisme adalah berita mengenai bencana. Bencana merupakan salah satu peristiwa yang sangat merugikan bagi orang yang terdampak. Kerugian materi dan korban jiwa bukan hal yang biasa ketika bencana datang. Di Indonesia, peristiwa bencana sering termuat di dalam pemberitaan media massa baik media konvensional maupun media online.

Media sebagai instrumen jurnalisme diharapkan mengambil peran yang kuat untuk memberi informasi tentang bencana. Media terutama media massa harus menjadi penghubung antara semua pihak seperti pemerintah, badan yang berkepentingan, masyarakat yang terdampak,dan masyarakat yang tidak terdampak. Semua pihak tersebut sangat membutuhkan media untuk menyampaikan dan menerima arahan.

Bencana jelas akan merugikan masyarakat yang mengalami Kerugian yang sangat berat adalah ketika masyarakat harus kehilangan nyawanya. Dilihat dari lingkup keluarga,jika terdapat salah satu orang terdekat meninggal akibat bencana akan menyebabkan dampak ekonomi dan psikis. Contohnya ketika seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga harus meregang nyawa,kemiskinan akan timbul jika istri dan anaknya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut ada kaitannya dengan munculnya kasus kemiskinan. Selain itu,dampak psikis yang akan dialami adalah adanya trauma yang kemudian menimbulkan stress oleh korban bencana.

Untuk mencegah kerugian yang semakin banyak, jurnalisme harus membentuk masyarakat yang siaga bencana. Rattien (1990) dalam jurnal Sanusi (2018) menjelaskan media massa bisa berperan lebih jauh dalam mengedukasi khalayak tentang kebencanaan, meningkatkan kesadaran publik melalui isu mitigasi bencana, bagaimana menghadapi bencana dan melakukan evakuasi, termasuk berkontribusi dalam proses rekonstruksi pasca-bencana.

Mitigasi bencana bisa di kampanyekan melalui media massa. Mitigasi bencana sendiri merupakan kegiatan untuk mengurangi risiko bencana. Melalui media massa,lembaga pemerintah maupun nonpemerinah bisa memberi himbauan dan pelatihan kepada masyarakat. himbauan yang bisa dilakukan adalah dengan memberi data hasil penelitan dan pengawasan suatu daerah. Salah satu contohnya adalah memberikan peta daerah rawan longsor kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Adapun pelatihan yang dapat di kampanyekan seperti cara melindungi diri saat terjadi gempa.

Selain siaga dari kerugian materi,pentingnya siaga dalam aspek mental tidak kalah penting. Kebanyakan hasil penelitian menunjukkan pola pemberitaan media-media mainstream dalam meliput bencana cenderung mengikuti pola-pola yang sudah umum yakni memberikan fokus lebih besar pada dampak peristiwa bencana. Dampak tersebut menggunakan perspektif korban seperti berapa banyak korban tewas dan luka, seberapa besar kerusakan materi yang ditimbulkan dan seterusnya (Houston, 2012; Pantti, 2012) dalam jurnal Sanusi (2018).  Fokus yang lebih mengarah banyaknya korban daripada penyebab bencana menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Memberitakan penyebab dan solusi lebih menenangkan masyarakat. Tidak hanya itu,masyarakat akan lebih kreatif dalam melakukan perubahan.

Pranuju (2018) mengatakan bahwa khalayak informasi tidak sekadar menempatkan pemberitaan sebagai sumber informasi tentang peristiwa, namun juga sebagai pedoman penyusunan agenda. Hal ini sesuai dengan fungsi utama jurnalisme bencana, yaitu membantu masyarakat dan pihak lain dalam penanggulangan bencana. Jurnalisme harus benar-benar bisa mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan baik yang berhubungan dengan alam. Selain itu,rencana jangka panjang bisa dibuat oleh pemerintah dengan memperhitungkan media sebagai tempat aspirasi dari masyarakat sampai kaum intelektual.

Jurnalisme dapat berperan sebagai kontrol dengan memberi sanksi sosial. Beberapa bencana disebabkan oleh tangan manusia seperti pembakaran hutan. Pelaku yang membuat bencana tersebut perlu disorot sehingga diketahui oleh publik. Cara seperti itu akan membuat semua pihak lebih berhati-hati dalam bertindak, terlebih berhubungan dengan alam.

Dengan demikian, jurnalisme tidak hanya mengenai mencari dan menyampaikan informasi. Lebih luas daripada itu, jurnalisme dapat membentuk pikiran masyarakat kepada suatu tujuan positif. Berhubungan dengan bencana, masyarakat dapat lebih siaga menghadapi fenomena tersebut. Kesiagaan bisa didapatkan melalui instrumen jurnalisme yaitu media. Kesiagaan masyarakat tentu sangat berpengaruh terhadap kerugian ketika terjadi bencana. Masyarakat yang siaga akan meminimalisir kerugian materi dan korban jiwa.

 

Referensi

Abrar, A. N. 2008. “Memberdayakan masyarakat lewat penyiaran berita bencana alam.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11(3), 379-396. https://www.neliti.com/publications diakses pada 17 Oktober 2020

Panuju, R. 2018. “Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal Berita Balipost. com.”. Jurnal Ilmu Komunikasi. https://www.researchgate.net/ diakses pada 17 Oktober 2020.

Sanusi, H. 2018. “JURNALISME DAN BENCANA: Refleksi Peran Jurnalis dalam Liputan Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi Palu-Donggala”. Jurnal Jurnalisa: Jurnal Jurusan Jurnalistik, 4(2). http://journal.uin-alauddin.ac.id/ diakses pada 17 Oktober 2020

 

Penulis: Firdaus Damai Rusadi | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Pendaftaran Lomba “Indonesia Periksa Fakta” Dibuka!

Informasi Umum Minggu, 22 November 2020

Lomba “INDONESIA PERIKSA FAKTA” dimulai.

Kali ini MAFINDO kembali mengadakan lomba periksa fakta untuk dua kategori, yakni kategori mahasiswa dan jurnalis muda.

Untuk kategori mahasiswa, ada beberapa persyaratan:

– Merupakan mahasiswa aktif tingkat D3 dan S1.
– Membentuk tim berjumlah empat (4) orang dari satu perguruan tinggi atau universitas.
– Belum pernah memenangi lomba periksa fakta yang pernah diadakan sebelumnya.

Sementara persyaratan untuk jurnalis muda adalah:

– Aktif bekerja pada satu media massa.
– Batas usia maksimal yakni 30 tahun.
– Mempunyai kartu pers.

Selain persyaratan tersebut, yang perlu diperhatikan juga adalah dalam lomba ini dibagi menjadi dua babak, yaitu babak penyisihan dan kemudian babak final.

Peserta yang ingin berpartisipasi dalam lomba ini dipersilakan untuk memilih waktu penyisihan yang telah ditentukan oleh panitia, yakni pada Jumat 20 November, Selasa 24 November dan Jumat 27 November. Adapun babak final diselenggarakan pada Kamis 3 Desember 2020.

Tim dan jurnalis muda yang terpilih masuk ke dalam babak final ialah mereka yang menjadi juara 3 besar pada setiap babak penyisihan.

Menjadi catatan bagi para peserta adalah diberikan kesempatan mendaftar hingga H-1, sesuai dengan waktu penyisihan yang dipilihnya.

berikut link pendaftarannya:

Untuk mahasiswa : https://bit.ly/PesertaMahasiswa

Untuk jurnalis muda : https://bit.ly/PesertaJurnalis

Jika ada informasi yang ingin ditanyakan lebih lanjut oleh para calon peserta, silakan menghubungi Bentang di
081808448517.

Silakan mendaftar dan dapatkan hadiah menarik bernilai jutaan rupiah bagi pemenang di babak final.

Salam

#MAFINDO
#Lombaperiksafakta2020
#Turnbackhoax

PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI Tingkat Fakultas Universitas Gadjah Mada 2020/2021

Informasi Umum Rabu, 4 November 2020

Pendaftaran Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas se-UGM sudah dibuka kembali!
Bagi mahasiswa/mahasiswi aktif Prodi S1 Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM yang merasa memenuhi persyaratan, dipersilakan untuk mendaftarkan diri melalui laman pendaftaran:

bit.ly/PemilihanMapresUGM

Meninjau Ulang Kebiasaan Bermedia Sosial Melalui Serial Black Mirror: “Nosedive”

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Dunia ini panggung sandiwara — paling tidak, begitu kata Shakespeare dan Nicky Astria. Terlebih di zaman serba instan dan digital seperti sekarang ini. Apa-apa yang tampak di layar gawai kita, semua terlihat indah dan berbahagia. Tapi, apa benar begitu adanya?

 

Pertanyaan tersebut dijawab secara satir oleh serial Black Mirror dari Netflix, dalam salah satu episodenya yang berjudul Nosedive. Serial Black Mirror, secara keseluruhan, memang mengangkat isu tentang kejamnya dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat modern. Dalam episode Nosedive, isu tersebut kemudian mengerucut pada “betapa dunia ini penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan” – yang semakin terfasilitasi dengan hadirnya media sosial.

 

Sang tokoh utama, Lacie Pound, tampak selalu menyunggingkan senyum dan tawa manisnya yang palsu, serta berbasa-basi dan memberi skor sosial tinggi pada orang lain, hanya supaya orang tersebut juga melakukan hal yang sama padanya. “Skor sosial” di sini, menurut saya, adalah penggambaran impresi, strata, dan citra seseorang di dunia maya maupun nyata – semacam personal branding dan jumlah followers di media sosial, serta bagaimana kesan orang lain terhadap seseorang tersebut ketika mereka saling bertemu di kenyataan.

 

Lacie semakin gencar mengejar skor setelah mengetahui banyaknya “kenikmatan” yang bisa ia dapatkan jika memiliki skor di atas rata-rata. Diskon untuk membeli rumah di komplek mewah, akses ke bandara dan persewaan taksi, serta yang paling penting adalah akses untuk hadir ke pernikahan teman kecilnya yang berisikan tamu-tamu undangan dari kalangan atas – mereka-mereka yang memiliki skor tinggi dan nyaris sempurna.

 

Segala tuntutan untuk menjadi impresif dan manis telah Lacie lakukan. Namun, apa daya, pada akhirnya dia menyerah pada kefanaan dunia dan memilih untuk menjadi dirinya sendiri meski dengan skor rendah.

 

Apa yang dikisahkan dalam Nosedive tentu sangat lekat dengan keseharian kita. Sebagian dari kita mungkin melakukan, mengorbankan, dan bahkan menutup-nutupi banyak hal hanya demi terlihat manis dan bahagia di mata dunia. Sebagai insan Komunikasi, relevansi kisah dalam film Nosedive dengan kehidupan sehari-hari ini tentu sangat menarik untuk di-ulik.

 

Hasil survei dari Hootsuite melaporkan bahwa ada 3.800 milyar pengguna aktif media sosial di dunia. Indonesia menyumbang 160 juta pengguna, dengan akses ke media sosial rata-rata 3 jam 26 menit, setiap harinya. Begitu banyak orang yang langsung terjun untuk menggunakan media sosial dengan alasan yang beragam. Bersosial, jelas. Namun tak jarang, haluannya berubah menjadi ajang pamer status sosial, yang ujung-ujungnya malah menciptakan segregasi dan konflik sosial.

 

Tak hanya itu, konflik pun dapat terjadi pada batin diri sendiri. Tujuan awal bersosial dengan mencari tahu keberadaan dan menanyakan kabar pada kawan lama, kadang justru membawa seseorang pada kompetisi yang tercipta oleh pikirannya sendiri. “Wah, dia cakep banget ya. Skincare-nya pasti mahal”, “Wah, keren banget deh, seumuran tapi dia udah S2”, “Wah, promosi jabatan di usia 25?!”, dan masih banyak “wah-wah” lainnya. Kompetisi membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, merupakan salah satu dampak psikologis yang muncul karena adanya media sosial.

 

Jan, Soomro, dan Ahmad (2017) dalam penelitian mereka yang berjudul Impact of Social Media on Self-Esteem menyebutkan bahwa media sosial memiliki dampak yang sangat penting terhadap harga atau kepercayaan diri seseorang (self-esteem). Meski utamanya media sosial digunakan untuk mencari informasi serta menjalin komunikasi dan hubungan, namun sebagian besar penggunanya akan – secara tidak langsung – membandingkan dirinya terhadap orang lain, baik “ke atas” maupun “ke bawah”. Perbandingan ke atas berarti melihat orang yang dirasa “lebih baik” dan “lebih berhasil” dibanding dirinya, sementara perbandingan ke bawah berarti melihat mereka yang dianggap “kurang” atau “tidak selevel” dengan dirinya.

 

Hal serupa juga dikemukakan oleh Julia T. Wood dalam bukunya, Communication Mosaics, pada bab yang mengulas tentang Controversies about Personal and Social Media. Bahkan, tak hanya soal membanding-bandingkan diri Beberapa hal lain yang diulas dalam buku ini sangat relevan dengan kejadian dalam film Nosedive dan keseharian kita.

 

Pertama, dinyatakan bahwa kehadiran teknologi telah mengubah cara seseorang berpikir. Salah satunya, dengan membuat kita terbiasa bereaksi terhadap sesuatu dari eksternal atau visualnya – alias dari luarnya saja, bahkan sebelum mengerti atau paham tentang apa yang kita lihat. Jelas, karena semua serba instan dan dapat dengan cepat muncul di hadapan kita, sehingga “judging a book by its cover” menjadi sesuatu yang biasa.

 

Kedua, media sosial dan hubungan yang kita jalin di dalamnya mampu menimbulkan krisis identitas dan kepercayaan diri. Banyaknya figur yang kita lihat, serta banyaknya fitur yang bisa kita gunakan, tentu telah memberi kita kebebasan untuk menjadi persona yang berbeda dari siapa kita sebenarnya – entah sebagai bentuk personal branding atau eskapisme dari dunia nyata. Namun, apabila kemudian kita justru menampilkan dua kepribadian yang bertolak belakang, justru akan berbahaya bagi diri sendiri dan orang sekitar.

 

Melihat betapa dekatnya fenomena dalam film Nosedive dengan kehidupan, ada baiknya kita melakukan refleksi dan “menata ulang” perilaku kita di media sosial, supaya fananya dunia maya tidak membuat kita terlena. Beberapa cara seperti mematikan notifikasi, mengunci aplikasi, membatasi waktu penggunaan, serta mencari distraksi baru, dianggap efektif untuk mengurangi – bahkan menghilangkan – adiksi terhadap media sosial.

Cara lain adalah dengan melakukan Dopamine Detox, yakni melatih otak kita supaya “terprogram ulang” untuk menyukai hal-hal yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi intensitas konsumsi hiburan – terutama bermain ponsel dan media sosial. Saya pun masih berusaha untuk bisa terlepas dari adiksi media sosial. Tentunya tanpa perlu melewati pengalaman pahit seperti Lacie. Kalau Sobat Dikom mengalami hal yang sama, yuk kita bangun ulang kebiasaan yang lebih baik, selagi masih bisa.

 

Daftar Pustaka

https://today.line.me/id/article/Daya+Pikat+Black+Mirror+Kisah+Satire+tentang+Manusia+dan+Teknologi-r09Lr8

https://www.businessinsider.com/psychology-black-mirror-nosedive-social-media-2016-10?r=US&IR=T

‘Black Mirror’s Nosedive’: Media Sosial dan Tuntutan Hidup Masa Kini

https://medium.com/@galihkenyoasti/review-series-nosedive-black-mirror-13e3c6f5729b

https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-42679432

Jan, M., Soomro, S. A., & Ahmad, N. (2017). Impact of Social Media on Self-Esteem. European Scientific Journal , 13 (23), 329-341.

Wood, J. T. (2010). Communication Mosaics : An Introduction to the Field of Communication, Sixth Edition. Boston, USA: Wadsworth Publishing.

https://www.bustle.com/articles/144893-7-ways-to-stop-your-social-media-addiction

https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2018/05/02/five-steps-to-break-your-social-media-addiction/#2d051faa38be

How I Tricked My Brain To Like Doing Hard Things (dopamine detox) by Better Than Yesterday: https://www.youtube.com/watch?v=9QiE-M1LrZk

DOPAMINE DETOX – RESET OTAK – HALAU MALAS by Rianto Astono: https://www.youtube.com/watch?v=kO622GyHa28

Puasa Hiburan, Reset Otak Agar Produktif (Mengenal Dopamine Detox) by Satu Persen – Indonesian Life School: https://www.youtube.com/watch?v=nydaG-kL-w0

 

Penulis: Rosehasna Wirastomo (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

1…2122232425…27

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Juni 2025
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  
« Mei    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY