• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • Perspektif
  • hal. 2
Arsip:

Perspektif

Buzzer Sebagai Wujud Periklanan Digital

Perspektif Senin, 30 November 2020

Dunia seiring perputarannya selalu berubah dan memunculkan era-era baru. Perjalanan dunia dari masa ke masa tentu telah mengubah banyak hal. Cara berkomunikasi atau bertukar informasi antar individu menjadi suatu hal sederhana yang tampak nyata perubahannya. Bersamaan dengan revolusi industri, komunikasi dan pertukaran informasi juga terkena dampak besar sekaligus turut berevolusi di dalamnya. Salah satunya, perkembangan teknologi informasi pada bidang komunikasi yang mengalami pertumbuhan sangat pesat. Teknologi mobile menjadi faktor utama dalam perkembangan tersebut. Sedikitnya terdapat dua teknologi meliputi telepon seluler dan ponsel atau komputer berjaring internet sebagai pendorong revolusi di bidang tersebut.

Pertama, telepon seluler menjadi cikal perkembangan pesat dari teknologi mobile. Perkembangan diawali dengan penemuan teknologi 1G yang menggunakan AMPS (Advance Mobile Phone System) pada pertengahan tahun 90-an. Selang sepuluh tahun setelahnya, muncul teknologi 2G meliputi TDMA (Time Division Multiple Access) dan CDMA (Code Division Multiple Access). Penemuan teknologi berbasis 1G dan 2G ini mendorong perkembangan teknologi berikutnya dengan cepat. Teknologi berikutnya dikembangkan dengan memunculkan fitur internet pada telepon seluler yang menggunakan teknologi GSM (Global System for Mobile Communications). Kedua, ponsel atau komputer berjaring internet menjadi lanjutan dari perkembangan teknologi seluler. Melalui internet, individu dapat terhubung secara virtual tanpa batas ruang dan waktu

Revolusi industri juga mendorong tingginya proses industrialisasi di berbagai bidang. Seiring pesatnya dunia industri berkembang perusahaan-perusahaan besar muncul perlu adanya pemasaran dari produk-produk tersebut. Pemasaran produk dapat dilakukan dengan strategi promosi yang disebut dengan iklan. Dunn dan Barban (1978) berpendapat, bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan lewat media dengan membayar uang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada konsumen, oleh perusahaan, lembaga non-komersial, maupun pribadi yang berkepentingan (Widyatama, 2007:15). Melalui iklan suatu produk dapat menarik perhatian individu terhadap produk tersebut.

Perkembangan pesat antara dunia industri dan teknologi mobile berdampak pada cara pemasaran suatu produk. Media periklanan juga turut berkembang di dalamnya. Pada awalnya pemasaran dilakukan dengan bertemunya pihak yang ingin memasarkan produknya dengan individu sebagai sasaran dari produk tersebut. Akan tetapi, teknologi mobile memudahkan proses tersebut dengan pemasangan iklan melalui media digital, seperti: televisi, radio, dan media sosial.

Memasuki era digital, periklanan jauh lebih banyak merambah media sosial. Pemasaran secara digital (digital marketing) lebih banyak digunakan pada masa sekarang. Menurut Kotler (2012) pemasaran online adalah pemasaran yang dilakukan melalui sistem komputer online secara interaktif yang menghubungkan antara konsumen dan penjual secara elektronik (Kotler, 2012). Melalui pemasaran digital praktik pemasaran dapat dilakukan secara luas dan mengikuti zaman. Pemasaran digital memunculkan istilah buzzer dalam dunia bisnis digital. Kotler dan Keller menyatakan pendapatnya mengenai Word of Mouth Communication (WOM) atau komunikasi dari mulut ke mulut sebagai proses komunikasi berupa pemberian rekomendasi baik secara individu maupun kelompok terhadap suatu produk atau jasa yang bertujuan untuk memberikan informasi secara personal. Word of Mouth kemudian di adaptasikan secara digital melalui munculnya para buzzer. Dengan kata lain buzzer media sosial lebih identik dengan upaya memperkuat suatu pesan (Arianto, 2019).

Riset oleh CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) pada tahun 2017 memaparkan beberapa karakter yang dimiliki oleh buzzer. Buzzer memiliki jaringan yang luas dan memiliki pengikut dalam jumlah besar untuk dapat mengumpulkan informasi-informasi penting. Buzzer memiliki kemampuan untuk melakukan perbincangan dengan khalayak di media sosial agar pesan yang disampaikan menjadi persuasif dan dapat dipersonifikasi. Kemampuan memproduksi konten meliputi pengetahuan jurnalistik dan pembingkaian atau pemilihan informasi. Terakhir, pembentukan motif dalam memproduksi konten.

Pada penelitian yang dilakukan Bambang Arianto, aktivitas buzzer dalam memperkuat suatu konten terbagi dalam tiga kategori, yakni membangun citra positif (supporting), mengklarifikasi citra (defensif), dan menyerang dan merusak citra pesaing (offensive). Peran supporting dan defensif  dalam dunia bisnis menjadi peran yang paling kerap dilakukan. Bergeser pada konteks politik, buzzer bergerak pada peran offensive memanfaatkan informasi baik fakta maupun hasil investigasi individual. Amplifikasi pesan dapat bergerak dengan cepat dan memunculkan motif tertentu. Dengan demikian inilah yang membuat pesan yang disampaikan bisa cepat viral atau tersebar secara luas kepada warganet (Arianto, 2019).

Teknik periklanan dalam perkembangan teknologi mobile memiliki dampak pada dunia industri. Dampak positif ditimbulkan dalam proses pemasaran online ini. Menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pemasaran suatu produk secara online. Mempublikasi dan mempromosikan produk meningkatkan kerjasama suatu industri. Selain itu, pemasaran secara digital memantik cara industri untuk terus kreatif dan inovatif dalam melakukan promosi di berbagai media.

Bersamaan dengan dampak negatif, terdapat dampak negatif yang ditimbulkan atas munculnya buzzer dalam periklanan digital. Peran buzzer semakin meluas cakupannya hingga ke ranah politik. Buzzer melancarkan doxing atau penyerangan secara personal terhadap individu yang dianggap lawan. Selain itu, buzzer dijadikan sebagai alat penggiringan opini, menyebarkan fitnah berdasarkan hoaks, dan kabar yang misleading untuk menjegal lawan politiknya. Aktivitas tersebut semakin besar dampak negatifnya saat para buzzer tidak memperhatikan kondisi masyarakat.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa perkembangan dunia industri diiringi dengan perkembangan teknologi mobile. Penemuan jejaring sosial mendorong perpindahan cara pemasaran secara digital. Buzzer menjadi salah satu wujud perkembangan periklanan dalam media digital. Menuntut para individu yang berkecimpung di dunia periklanan untuk terus inovatif dan kreatif membuat konten menjadi dampak positif dari adanya buzzer. Akan tetapi, peran buzzer yang kian bergeser ke ranah politik juga dapat menimbulkan dampak negatif, yakni munculnya sebaran berita hoax untuk saling menjatuhkan antar individu. Maka dari itu, perlu adanya batasan-batasan tertentu dalam penggunaan jasa buzzer sebagai media periklanan.

 

Referensi

Arianto, B. (2019) Buzzer Media Sosial dan Branding Produk UMKM Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal UMKM Dewantara. Volume 2 Nomor 1 Juli.

Arianto, B. (2020). Peran Buzzer Media Sosial Dalam Memperkuat Ekosistem Pemasaran Digital. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Volume 10 Nomor 1.

Dewita, Azrika. 2020. Pemanfaatan Buzzer Sebagai Media Promosi untuk Mengembangkan Ekonomu Kreatif di Dinas Pariwisata Provinsi Riau. Skripsi. Riau: Universitas Negeri Islam Sultan Syarif Kasim.

Kasemin, Kasiyanto. 2015. Agresi Perkembangan Teknologi Informasi. Jakarta: Prenemedia Group

Kotler & Armstrong. (2012). Principles of Marketing 14th Edition. New Jearsey: Pearson Education Inc.

Awal Hasan, (2020, September 20). Tirto: Yang Toksik dari Buzzer Politik. Diakses dari https://tirto.id/yang-toksik-dari-buzzer-politik-f4QD

 

Penulis: Fitri Tsalisa | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Representasi Difabel dalam Sinema dan Layar Kaca Indonesia

Perspektif Senin, 30 November 2020

Disabilitas merupakan isu yang kurang disorot dalam sinema dan layar kaca Indonesia. Dalam penyorotannya, seringkali terjadi representasi yang keliru sehingga menciptakan stereotip mengenai penyandang disabilitas atau difabel. Porsi penyorotan dan stereotip ini menentukan cara pandang masyarakat tentang penyandang disabilitas.

Difabel sebenarnya telah disorot sebagai hiburan sebelum populernya media digital, tepatnya di acara hiburan seperti pertunjukan orang aneh (freak show). Freak show sendiri merupakan pertunjukan atau pameran manusia yang memiliki kelainan atau disabilitas fisik (Bogdan, 1990 : 267). Kelainan dan disabilitas ini meliputi  manusia kerdil, gigantisme, progressive muscular atrophy, dan albinisme.

Salah satu pameran manusia aneh digelar di The American Museum oleh Phineas Taylor Barnum yang kemudian dimodifikasi menjadi sirkus keliling. Dalam pameran tersebut, Barnum melibatkan para penyandang disabilitas seperti manusia kerdil (Tom Thumb),  manusia gigantik (Anna Swan), manusia tengkorak atau living skeleton (Isaac Sprague), serta keluarga albino (The Lucasies). Pameran manusia aneh ini turut berperan dalam meningkatkan popularitas The American Museum yang terus dimodifikasi hingga dikenal dengan The Greatest Show on Earth (Saxon, 1989). Dapat dikatakan bahwa pameran tersebut merupakan bentuk eksploitasi penyandang disabilitas dalam dunia hiburan dan berperan dalam menciptakan stereotip bagi para difabel, yaitu sebagai manusia aneh.

Sementara pada program hiburan jam tayang utama di Amerika Serikat, Henderson & Heinz-Knowles pada 2003 (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) menemukan bahwa hanya 0,6% dari karakter tokoh di televisi yang merupakan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan kurangnya porsi representasi penyandang disabilitas di layar kaca.

Representasi penyandang disabilitas juga terdapat dalam media hiburan Indonesia. Representasi ini dapat ditemukan dalam beberapa film seperti “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” (2011), “Hafalan Shalat Delisa” (2011), “Rumah Tanpa Kaca” (2011), dan “Pengabdi Setan” (2017). Selain itu, representasi difabel juga ditemukan dalam beberapa program televisi seperti sinetron “Si Cecep” (2004), acara situasi komedi “Opera Van Java” (2008), dan acara gelar wicara komedi “Ini Talkshow” (2014).

Representasi dalam media hiburan layar kaca berperan dalam konstruksi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap disabilitas serta penyandangnya. Representasi inilah yang akhirnya menciptakan stereotip karena sifatnya yang cenderung memarginalkan penyandang disabilitas.

Longmore (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) mendeskripsikan marginal penyandang disabilitas atau difabel dalam televisi dan sinema dalami lima potret utama. Yang pertama adalah potret penyandang disabilitas sebagai orang jahat atau kriminal. Potret ini dapat ditemukan dalam film “Gundala” (2019) yang direpresentasikan oleh tokoh Pengkor (Bront Palarae). Tokoh Pengkor menggambarkan sosok mafia dengan luka bakar di bagian kanan tubuhnya dan kaki yang pincang. Sosok Pengkor sendiri merupakan tokoh antagonis yang berseberangan dengan Gundala—tokoh pahlawan di film ini.

Yang selanjutnya adalah potret penyandang disabilitas sebagai monster atau sosok yang menakutkan. Potret ini ditemukan dalam sinetron “Tuyul dan Mbak Yul” (1997) yang direpresentasikan tokoh tuyul bernama Ucil. Selain itu, Ucil juga diperankan oleh Ony Syahrial yang sebenarnya memiliki disabilitas berupa kondisi tubuh lebih kecil daripada umumnya atau biasa dikenal dengan sebutan manusia kerdil. Walaupun Ucil memiliki karakter yang humoris, masyarakat tetap mengidentikkan tuyul dengan hal-hal mistis yang menakutkan.

Karakter Azis Gagap dalam “Opera Van Java” (2008) merupakan potret difabel sebagai manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted) dengan lingkungannya. Tokoh Azis Gagap merepresentasikan disabilitas berbicara (gagap). Potret maladjusted ini terlihat dalam skenario perundungan terhadap tokoh Azis Gagap yang didasarkan pada disabilitas yang dimiliki tokohnya. Tokoh Azis Gagap kerap terlihat kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawan bermainnya yang biasanya dalam jumlah banyak.

Difabel juga kerap direpresentasikan sebagai pahlawan dan memiliki kekuatan super. Contohnya adalah tokoh Ceking dalam sinetron “Ronaldowati” (2008). Tokoh Ceking menggambarkan seorang anak dengan tubuh yang kurus kering. Tubuh Ceking membuatnya dapat berlari cepat sehingga ia turut berperan dalam memenangkan beberapa pertandingan sepak bola dalam sinetron tersebut.

Yang terakhir adalah potret penyandang disabilitas sebagai manusia dengan penyimpangan seksual. Potret ini jarang disorot oleh media Indonesia, mengetahui sensitivitas Indonesia terhadap isu penyimpangan seksual. Namun, potret penyimpangan seksual dapat ditemukan pada tokoh Cecep dalam sinetron “Wah Cantiknya” (2001). Tokoh Cecep menggambarkan seorang laki-laki dengan keterbelakangan mental yang kerap asyik dalam dunianya. Hal ini menyebabkan Cecep cenderung tidak memiliki ketertarikan seksual kepada tokoh-tokoh wanita  yang jatuh hati padanya.

Masyarakat cenderung meyakini stereotip difabel yang diberikan oleh media. Stereotip yang diyakini masyarakat ini juga menentukan interaksi masyarakat dengan difabel. Penelitian Paul Hunt (dikutip oleh Pirsl & Popovska, 2013) menunjukkan sepuluh stereotip mengenai difabel dalam media yang diyakini masyarakat. Stereotip ini meliputi difabel sebagai komunitas yang harus dikasihani; sebagai objek rasa penasaran atau kekerasan; sebagai komunitas yang bersifat kejam atau jahat; diidentikkan dengan pincang; sebagai pusat perhatian; sebagai bahan tertawaan; sebagai musuh; sebagai beban; sebagai manusia non seksual; dan diidentikkan dengan kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.

Stereotip ini merugikan bagi penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan media membingkai karakter mereka menjadi bagian-bagian kecil sederhana. Bahkan bingkai sederhana tersebut cenderung mengarah ke citra negatif. Pada kenyataannya, difabel merupakan manusia yang lebih kompleks dan beragam (Ross, 1997).

Media sebagai penentu pandangan masyarakat (Zhang, 2010) semestinya memberikan porsi penyorotan difabel yang cukup dengan representasi bervariasi seperti difabel dalam dunia nyata. Dengan harapan masyarakat dapat mendapat gambaran yang lebih realistis mengenai penyandang disabilitas. Dengan begitu, difabel tidak lagi diidentikkan dengan konotasi negatif dan dapat dipandang seperti manusia pada umumnya.

 

Referensi

Bogdan, R. (1990). Conclusion: Freak Encounter. Notes on the Sociology of Deviance and Disability. In Freak Show: Presenting Human Oddities for Amusement and Profit (p. 267). The University of Chicago Press.

Pirsl, D., & Popovska, S. (2013). Media Mediated Disability : How to Avoid Stereotypes. International Journal of Scientific Engineering and Research (IJSER), 1(4), 42-45.

Ross, K. (1997). But where’s me in it? Disability, broadcasting and the audience. Media, Culture and Society. https://doi.org/10.1177/016344397019004009

Saito, S., & Ishiyama, R. (2005). The invisible minority: Under-representation of people with disabilities in prime-time TV dramas in Japan. Disability and Society. https://doi.org/10.1080/09687590500086591

Saxon, A. H. (1989). P. T. Barnum and the American Museum. The Wilson Quarterly, 13(4), 130–139. https://doi.org/10.2307/40257964

Zhang, Q. (2010). Asian americans beyond the model minority stereotype: The nerdy and the left out. Journal of International and Intercultural Communication. https://doi.org/10.1080/17513050903428109

 

Penulis: Annisa Gissena | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Penawaran Menggiurkan Mobile Advertising

Perspektif Senin, 30 November 2020

Seiring dengan kemajuan zaman, teknologi komunikasi juga mengalami perkembangan pesat. Terutama pada teknologi komunikasi bergerak atau mobile technology. Mobile technology merupakan bagian dari teknologi yang melibatkan pergerakan (Mau & Thein, 2009). Teknologi ini telah berkembang pesat pada beberapa tahun terakhir. Kehadirannya memudahkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Mobilitas manusia yang semakin banyak berdampak pada meningkatnya kebutuhan manusia akan teknologi bergerak (seluler). Dalam presentasi yang berjudul “Mobile is Eating The World” oleh Benedic Evans di Tech Summit 2014, ditunjukkan data bahwa pembelian smartphone hampir mencapai 50 persen dari konsumsi dunia dalam industri elektronik (Columbus, 2014). Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan yang besar dari manusia terhadap teknologi seluler.

Ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi seluler disebabkan oleh adanya sifat personalisasi. Sifat personalisasi menjadikan telepon seluler selalu dibawa kemanapun dan kapanpun oleh pemiliknya. Dengan adanya personalisasi ini, akan tercipta peluang besar bagi perusahaan untuk dapat melakukan komunikasi one on one kepada konsumen (Iskandar, 2014). Komunikasi one on one merupakan peluang yang dimanfaatkan oleh praktisi pemasaran. Berkaitan dengan hal itu, praktisi pemasaran perlu bekerja sama dengan operator seluler. Kerja sama antara praktisi pemasaran dengan operator seluler membuat teknologi seluler menjadi target pasar media periklanan.

Periklanan dalam teknologi seluler atau biasa disebut mobile advertising memang belum menjadi primadona. Menurut data IAB (2017), belanja iklan terbesar berada di industri televisi dengan jumlah 60 persen. Sisanya berada di media cetak dengan jumlah 18,9 persen dan media digital sejumlah 17 persen (Partawidjaja, 2017). Data tersebut menunjukkan bahwa periklanan dalam teknologi seluler atau media digital masih kurang diminati, padahal mobile advertising mempunyai banyak kelebihan yang ditawarkan.

Periklanan di televisi memang masih mendominasi. Hal tersebut dikarenakan media televisi merupakan media yang digandrungi sebelum masuknya teknologi seluler. Orang-orang memilih melihat televisi karena memiliki gambar bergerak sehingga menarik. Namun, tentu saja hal itu mulai tergantikan oleh perkembangan teknologi. Bentuk televisi yang terlalu besar membuatnya tidak bisa dibawa kemana-mana dan tidak mendukung mobilitas manusia, sehingga orang-orang hanya menonton televisi pada saat tertentu. Selain itu, biaya yang relatif mahal menjadi kekurangan industri periklanan dalam televisi. Penonton juga sangat mudah mengganti channel pada saat iklan diputar (Suroto, 2016). Semua kekurangan itu dapat dijawab oleh keunggulan yang ada pada mobile advertising.

Mobile advertising akan sangat membantu perusahaan untuk dapat bergerak maju. Cakupan target konsumen yang luas dengan harga yang belum terlalu mahal menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, keberagaman model iklan yang dapat digunakan juga menambah poin plus mobile advertising. Selain iklan berbentuk gambar dan video, telah ditemukan sebuah inovasi iklan berbentuk game. Iklan ini seperti trial game sehingga calon konsumen diberi kesempatan untuk menjajal satu level dari game tersebut (Partawidjaja, 2017). Oleh karena itu, mobile advertising mampu menjadi sebuah media yang strategis.

Efisiensi dari mobile advertising juga baik karena di dalamnya terdapat sebuah fitur yang bernama targeting capability. Sistem kerja mobile advertising akan memberikan data yang didapatkan dari para konsumen untuk membuat fitur targeting capability dapat bekerja. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dari historical data dan user profile-nya. Analisis tersebut akan menghasilkan data tentang kebiasaan atau ketertarikan seorang konsumen (Partawidjaja, 2017). Lebih lanjut, iklan yang diluncurkan akan disesuaikan dengan data tersebut sehingga diharapkan dapat tepat sasaran. Dengan begitu perusahaan akan lebih tertarik menggunakan media mobile advertising untuk mempromosikan produknya.

Semua keunggulan yang ditawarkan mobile advertisement memanglah sangat menjanjikan. Namun, mobile advertising masih belum menjadi media utama dalam industri periklanan. Hal itu dikarenakan jaringan internet belum merata. Selain itu, banyaknya aspek yang harus diperhatikan dalam mobile advertising menyulitkan perusahaan yang belum terbiasa dengan teknologi terkini.  Oleh karena itu, mobile advertising masih memerlukan beberapa perbaikan dan pembaruan strategi.

Penyedia jasa mobile advertising perlu serius dalam mengerjakan perbaikan sistem, meningkat potensinya yang besar di Indonesia. Indonesia yang termasuk dalam 10 besar konsumen teknologi seluler menjadikannya sebuah pasar yang menjanjikan bagi mobile advertising. Selain itu, menurut penelitian yang ditulis PwC, jumlah pendapatan mobile advertising di indonesia meningkat empat kali lipat di tahun 2018 (Eka, 2017). Namun, potensi tersebut masih belum optimal, karena menurut We Are Social pada Januari 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia baru mencapai 64 persen dari total penduduk (Haryanto, 2020). Jika internet sudah bisa diakses oleh seluruh warga Indonesia itu akan menjadikan potensi mobile advertising optimal.

Mobile advertising di Indonesia akan membawa dampak yang baik. Pemanfaatan mobile advertising akan membawa dampak bagi banyak sektor. Jika Indonesia dapat melakukan optimalisasi pemerataan internet dan UMKM serta perusahaan sadar akan seberapa menguntungkannya mobile advertising maka Indonesia akan memilki pendapatan besar dari sektor ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya optimalisasi oleh pemerintah untuk membantu perkembangan mobile advertising di Indonesia.

Kesempatan emas ini harus dapat dimanfaatkan Indonesia dengan baik. Di masa medatang pengembangan usaha dalam negeri atau penanaman investor luar akan semakin gencar. Dengan begitu, hal ini dapat membukakan jalan menuju lapangan kerja yang luas. Adanya lapangan kerja yang luas akan mengurangi jumlah pengangguran dan menambah pendapatan perkapita negara.

 

Referensi

Columbus, L. (2014, November 9). Mobile is Eating The World. Forbes. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/louiscolumbus/2014/11/09/mobile-is-eating-the-world/#18453bfe647d

Eka, R. (2017, Mei 26). Memahami Potensi dan Tantangan “Mobile Advertising” di Indonesia. Dailysocial. Diakses dari https://dailysocial.id/post/memahami-potensi-dan-tantangan-mobile-advertising-di-indonesia

Haryanto, A. T. (2020, Februari 20). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia. Detik. Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-indonesia

Iskandar, D. (2014). Analisa Pengaruh Mobile Advertising Pada Industri Telekomunikasi. IncomTech, Jurnal Telekomunikasi dan Komputer , 106.

Mau, S. Y., & Thein, N. L. (2009). Multi-Agent Mobile Tourism System. Di Information Science and Technology (pp. 2722-2728). Pennsylvania: IGI Global.

Partawidjaja, D. (2017, November 28). Selamat datang di Era Mobile Advertising. Kontan. Diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/selamat-datang-di-era-mobile-advertising?

Suroto, H. L. (2016, Juli 9). Kelebihan dan Kelemahan Iklan Televisi Sebagai Media Periklanan. gomarketingstrategic. Diakses dari https://www.gomarketingstrategic.com/kelebihan-dan-kelemahan-iklan-televisi-sebagai-media-periklanan/

 

Penulis: Alfin Zain | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Pengaruh Stereotip dalam Film terhadap Karakter Anak

Perspektif Senin, 30 November 2020

Menonton film merupakan kegiatan yang menyenangkan untuk anak-anak. Adegan-adegan yang ditampilkan dalam sebuah film dapat memberikan gejolak emosi bagi mereka. Tak jarang kemudian anak-anak dibuat terpukau dan terinspirasi oleh perilaku tokoh di dalam film tersebut. Ada yang berimajinasi menjadi tokoh pahlawan super, peri dan kurcaci, atau seorang kesatria dan putri kerajaan.

Berbicara mengenai film anak-anak tentu tidak bisa lepas dari eksistensi Disney. Perusahaan konglomerat asal Amerika ini menghasilkan banyak film untuk anak-anak sejak didirikan pada 16 Oktober 1923. Namun dalam perkembangannya, film-film garapan Disney sering mendapat kritik karena adanya stereotip terhadap gender dan budaya di dalamnya.

Manstead dan Hewstone (dikutip oleh Murdianto, 2018) dalam The Blackweel Encyclopedia of Social Psychology, mendefinisikan stereotip sebagai: …societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true of social groups and their members. Keyakinan-keyakinan tentang karakteristik seseorang (ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai suatu kebenaran kelompok sosial.

Karakter Disney biasanya dikutip dalam literatur psikologi sosial sebagai bukti stereotip yang dikenal sebagai “apa yang indah itu baik” (Dion, Berscheid, & Walster, 1972). Sebagai contoh, Eagly, Ashmore, Makhijani, dan Longo (1991) mengusulkan bahwa contoh stereotip tercermin dalam buku anak-anak dan televisi di mana pangeran heroik dan putri berbudi luhur itu menarik, tetapi penyihir jahat dan raksasa jahat itu jelek. Lebih khusus lagi, Myers (2002) menegaskan, “Anak-anak mempelajari stereotip cukup dini. Putri Salju dan Cinderella itu cantik dan baik hati. Penyihir dan saudara tirinya jelek dan jahat.” (Bazzini D. dkk, 2010)

Penggambaran yang begitu jelas mengenai perbedaan sifat ini menjadi salah satu stereotip yang meresahkan. Anak-anak akan terbiasa mengaitkan orang jahat dengan buruk rupa dan orang baik dengan kecantikan. Padahal sebenarnya rupa seseorang tidak dapat dijadikan tolak ukur sifat asli orang tersebut. Untuk mengetahui sifat orang lain, tentu seseorang harus memulai interaksi antara satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang anak membuka diri jika mereka sudah terlebih dahulu memberikan stereotip tertentu terhadap orang lain?

Selain stereotip terhadap penampilan, stereotip lain yang juga dominan dalam industri perfilman Disney adalah stereotip terhadap karakter perempuan. Dilansir dari bbc.com, Gray (2019) mengatakan bahwa karakter wanita seperti Snow White, Sleeping Beauty dan Cinderella digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya beres-beres dan butuh diselamatkan oleh laki-laki. Hal ini menjadi salah satu bentuk penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam mengatasi permasalahannya sendiri.

Stereotip ini sempat dipatahkan dengan diluncurkannya film Brave pada tahun 2012 yang menjadi hasil kerjasama Walt Disney dan Pixar Animation Studios. Dalam film tersebut tokoh utama diceritakan sebagai seorang putri yang memiliki karakter bebas dan kuat. Sayangnya, ketidakberdayaan perempuan muncul kembali di saat Merida—sang tokoh utama—terpaksa menjalani perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya.  

Hal ini terjadi pula pada karakter Ariel di The Little Mermaid, Putri Jasmine di Aladdin, dan Pocahontas. Ketiganya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memiliki keinginan kuat untuk bebas dan melepaskan diri dari tradisi yang menjerat mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya tetap saja tokoh laki-laki dalam film tersebut berperan jauh lebih dominan. Bahkan para putri ini dibuat rela melakukan apapun untuk sang tokoh lelaki.

Berbeda dengan serial Disney Princess lainnya, kisah Mulan digambarkan dengan lebih sedikit porsi stereotip di dalamnya. Walaupun begitu, tetap ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa stereotip tersebut tidak benar-benar hilang. Jaber dalam artikelnya Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan, mengatakan pendapatnya tentang film Mulan: …the film makes great strides in the corporation’s portrayal of the typical Disney princess and sends a message of female empowerment, individuality, and independence to its audience. Film ini membuat langkah besar dalam penggambaran perusahaan tentang putri Disney yang khas dan mengirimkan pesan tentang pemberdayaan, individualitas, dan kemandirian wanita kepada pemirsanya.

Kisah tentang Mulan berasal dari sebuah puisi berjudul The Ballad of Mulan (Ode of Mulan). Asia for Educators (n.d.) menjelaskan bahwa puisi ini disusun pada abad kelima atau keenam M. Dalam kisah Disney, Mulan diceritakan sebagai seorang perempuan yang pergi ke kemah pelatihan untuk bertarung menggantikan ayahnya yang sakit. Mulan terpaksa menyembunyikan identitas aslinya sebagai perempuan dan menyamar sebagai seorang laki-laki bernama Ping (Hua Jun dalam versi live action 2020). Ia pergi secara diam-diam dari rumah dengan kuda, pedang, serta baju zirah milik ayahnya.

Selama berada di kemah pelatihan, Mulan diceritakan mengalami banyak kesulitan. Fisiknya yang digambarkan lebih kecil dibanding rekan-rekannya membuat ia harus berusaha lebih keras dalam berlatih bela diri. Ia juga diceritakan sering terjatuh saat angkat beban karena ia tidak sekuat rekannya yang lain. Penggambaran kelemahan Mulan ini kembali menunjukkan stereotip terhadap ketidakberdayaan perempuan dalam serial Disney.

Namun, di sisi lain, keberhasilan Mulan dalam menghadapi rintangan-rintangan ini justru menjadi salah satu perombak stereotip tersebut. Keberhasilannya menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya memiliki peluang yang sama selama mereka berusaha. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa Mulan adalah sosok yang membuat pasukannya memenangkan pertarungan dengan kaum Hun.

Dibanding versi kartunnya di tahun 1998, versi live action yang dirilis pada Maret 2020 ini lebih berfokus untuk menunjukkan kekuatan perempuan. Sosok Mulan dalam versi baru diceritakan memiliki kemampuan chi yang luar biasa yang memudahkannya selama pelatihan. Mulan tidak lagi diceritakan kesulitan dalam latihan bela diri ataupun sering terjatuh saat angkat beban. Bahkan terdapat salah satu adegan bertarung antara Mulan dan Honghui yang semakin menunjukkan kekuatan chi yang Mulan miliki. Dalam versi ini juga tidak terdapat adegan ketika penyamaran Mulan terungkap, justru Mulan sendirilah yang mengakui dirinya perempuan di hadapan komandan dan rekan-rekannya.

Walaupun stereotip terhadap perempuan dalam film Mulan belum sepenuhnya hilang, cerita ini membawa gebrakan baru bagi industri perfilman. Penghapusan stereotip terhadap suatu kelompok dalam cerita, terutama cerita yang dibuat untuk anak-anak, akan menguatkan karakter para penontonnya. Terlebih lagi, karakter yang dibentuk saat anak-anak akan menjadi karakter yang dominan ketika dewasa nanti. Dengan adanya penghapusan ini, mereka tidak akan lagi menilai orang dari tampilan luarnya saja melainkan mulai mencoba mengenali orang tersebut. Selain itu, kesetaraan gender di dalam masyarakat juga akan semakin dihormati karena karakter kuat yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

 

Referensi

Asia for Educators. n.d. “THE BALLAD OF MULAN (ODE OF MULAN)”.  http://afe.easia.columbia.edu/ps/china/mulan.pdf. Diakses pada 15 Oktober 2020 pukul 10.08 WIB.

Bazzini, D., Curtin, L., Joslin, S., Regan, S., & Martz, D. (2010). Do Animated Disney Characters Portray and Promote the Beauty-Goodness Stereotype? Journal of Applied Social Psychology, 40(10), 2687–2709. https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2010.00676.x

Gray, R. 2019. Bagaimana Film-Film Disney Membentuk Cara Pandang Penontonnya. Diunggah pada 3 Oktober 2019. Terarsip pada https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-49908186

Jaber, H. Dissecting Stereotypes: Disney’s Mulan. Terarsip pada https://heatherjay.wordpress.com/ml-4-dissecting-stereotypes-disneys-mulan/. Diakses 15 Oktober 2020 pukul 08.38 WIB.

 Murdianto. 2018. Stereotipe, Prasangka dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia), Vol. 10, No. 2, halaman 141.

 

Penulis: Charisma | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Jurnalisme Membentuk Masyarakat Siaga Bencana

Perspektif Senin, 30 November 2020

Jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Hasil dari kegiatan jurnalisme adalah berita.  Berita merupakan sebuah informasi yang berisi fakta mengenai peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Berita disampaikan melalui perantara berupa media cetak ataupun elektronik. informasi yang disampaikan mengenal urutan waktu atau biasa disebut kronologis. Peristiwa disampaikan dari bagaimana hal itu berawal dan bagaimana dampaknya. Jurnalisme diharapkan menjadi pembuka wawasan setiap masyarakat mengetahui dunia yang luas ini. Dengan terbukanya pemikiran manusia melalui informasi yang didapatkan,tidak ada lagi terjadi yang terjadi akibat kesalahpahaman.

Jurnalisme memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan hidup masyarakat. Pemberitaan yang sudah dilakukan sangat mempengaruhi apa yang akan dilakukan oleh masyarakat. Salah satu informasi yang penting disampaikan oleh  jurnalisme adalah berita mengenai bencana. Bencana merupakan salah satu peristiwa yang sangat merugikan bagi orang yang terdampak. Kerugian materi dan korban jiwa bukan hal yang biasa ketika bencana datang. Di Indonesia, peristiwa bencana sering termuat di dalam pemberitaan media massa baik media konvensional maupun media online.

Media sebagai instrumen jurnalisme diharapkan mengambil peran yang kuat untuk memberi informasi tentang bencana. Media terutama media massa harus menjadi penghubung antara semua pihak seperti pemerintah, badan yang berkepentingan, masyarakat yang terdampak,dan masyarakat yang tidak terdampak. Semua pihak tersebut sangat membutuhkan media untuk menyampaikan dan menerima arahan.

Bencana jelas akan merugikan masyarakat yang mengalami Kerugian yang sangat berat adalah ketika masyarakat harus kehilangan nyawanya. Dilihat dari lingkup keluarga,jika terdapat salah satu orang terdekat meninggal akibat bencana akan menyebabkan dampak ekonomi dan psikis. Contohnya ketika seorang ayah sebagai tulang punggung keluarga harus meregang nyawa,kemiskinan akan timbul jika istri dan anaknya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut ada kaitannya dengan munculnya kasus kemiskinan. Selain itu,dampak psikis yang akan dialami adalah adanya trauma yang kemudian menimbulkan stress oleh korban bencana.

Untuk mencegah kerugian yang semakin banyak, jurnalisme harus membentuk masyarakat yang siaga bencana. Rattien (1990) dalam jurnal Sanusi (2018) menjelaskan media massa bisa berperan lebih jauh dalam mengedukasi khalayak tentang kebencanaan, meningkatkan kesadaran publik melalui isu mitigasi bencana, bagaimana menghadapi bencana dan melakukan evakuasi, termasuk berkontribusi dalam proses rekonstruksi pasca-bencana.

Mitigasi bencana bisa di kampanyekan melalui media massa. Mitigasi bencana sendiri merupakan kegiatan untuk mengurangi risiko bencana. Melalui media massa,lembaga pemerintah maupun nonpemerinah bisa memberi himbauan dan pelatihan kepada masyarakat. himbauan yang bisa dilakukan adalah dengan memberi data hasil penelitan dan pengawasan suatu daerah. Salah satu contohnya adalah memberikan peta daerah rawan longsor kepada masyarakat sehingga tidak ada masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Adapun pelatihan yang dapat di kampanyekan seperti cara melindungi diri saat terjadi gempa.

Selain siaga dari kerugian materi,pentingnya siaga dalam aspek mental tidak kalah penting. Kebanyakan hasil penelitian menunjukkan pola pemberitaan media-media mainstream dalam meliput bencana cenderung mengikuti pola-pola yang sudah umum yakni memberikan fokus lebih besar pada dampak peristiwa bencana. Dampak tersebut menggunakan perspektif korban seperti berapa banyak korban tewas dan luka, seberapa besar kerusakan materi yang ditimbulkan dan seterusnya (Houston, 2012; Pantti, 2012) dalam jurnal Sanusi (2018).  Fokus yang lebih mengarah banyaknya korban daripada penyebab bencana menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Memberitakan penyebab dan solusi lebih menenangkan masyarakat. Tidak hanya itu,masyarakat akan lebih kreatif dalam melakukan perubahan.

Pranuju (2018) mengatakan bahwa khalayak informasi tidak sekadar menempatkan pemberitaan sebagai sumber informasi tentang peristiwa, namun juga sebagai pedoman penyusunan agenda. Hal ini sesuai dengan fungsi utama jurnalisme bencana, yaitu membantu masyarakat dan pihak lain dalam penanggulangan bencana. Jurnalisme harus benar-benar bisa mempengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan baik yang berhubungan dengan alam. Selain itu,rencana jangka panjang bisa dibuat oleh pemerintah dengan memperhitungkan media sebagai tempat aspirasi dari masyarakat sampai kaum intelektual.

Jurnalisme dapat berperan sebagai kontrol dengan memberi sanksi sosial. Beberapa bencana disebabkan oleh tangan manusia seperti pembakaran hutan. Pelaku yang membuat bencana tersebut perlu disorot sehingga diketahui oleh publik. Cara seperti itu akan membuat semua pihak lebih berhati-hati dalam bertindak, terlebih berhubungan dengan alam.

Dengan demikian, jurnalisme tidak hanya mengenai mencari dan menyampaikan informasi. Lebih luas daripada itu, jurnalisme dapat membentuk pikiran masyarakat kepada suatu tujuan positif. Berhubungan dengan bencana, masyarakat dapat lebih siaga menghadapi fenomena tersebut. Kesiagaan bisa didapatkan melalui instrumen jurnalisme yaitu media. Kesiagaan masyarakat tentu sangat berpengaruh terhadap kerugian ketika terjadi bencana. Masyarakat yang siaga akan meminimalisir kerugian materi dan korban jiwa.

 

Referensi

Abrar, A. N. 2008. “Memberdayakan masyarakat lewat penyiaran berita bencana alam.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 11(3), 379-396. https://www.neliti.com/publications diakses pada 17 Oktober 2020

Panuju, R. 2018. “Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan Gunung Agung di Portal Berita Balipost. com.”. Jurnal Ilmu Komunikasi. https://www.researchgate.net/ diakses pada 17 Oktober 2020.

Sanusi, H. 2018. “JURNALISME DAN BENCANA: Refleksi Peran Jurnalis dalam Liputan Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi Palu-Donggala”. Jurnal Jurnalisa: Jurnal Jurusan Jurnalistik, 4(2). http://journal.uin-alauddin.ac.id/ diakses pada 17 Oktober 2020

 

Penulis: Firdaus Damai Rusadi | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020

Meninjau Ulang Kebiasaan Bermedia Sosial Melalui Serial Black Mirror: “Nosedive”

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Dunia ini panggung sandiwara — paling tidak, begitu kata Shakespeare dan Nicky Astria. Terlebih di zaman serba instan dan digital seperti sekarang ini. Apa-apa yang tampak di layar gawai kita, semua terlihat indah dan berbahagia. Tapi, apa benar begitu adanya?

 

Pertanyaan tersebut dijawab secara satir oleh serial Black Mirror dari Netflix, dalam salah satu episodenya yang berjudul Nosedive. Serial Black Mirror, secara keseluruhan, memang mengangkat isu tentang kejamnya dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat modern. Dalam episode Nosedive, isu tersebut kemudian mengerucut pada “betapa dunia ini penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan” – yang semakin terfasilitasi dengan hadirnya media sosial.

 

Sang tokoh utama, Lacie Pound, tampak selalu menyunggingkan senyum dan tawa manisnya yang palsu, serta berbasa-basi dan memberi skor sosial tinggi pada orang lain, hanya supaya orang tersebut juga melakukan hal yang sama padanya. “Skor sosial” di sini, menurut saya, adalah penggambaran impresi, strata, dan citra seseorang di dunia maya maupun nyata – semacam personal branding dan jumlah followers di media sosial, serta bagaimana kesan orang lain terhadap seseorang tersebut ketika mereka saling bertemu di kenyataan.

 

Lacie semakin gencar mengejar skor setelah mengetahui banyaknya “kenikmatan” yang bisa ia dapatkan jika memiliki skor di atas rata-rata. Diskon untuk membeli rumah di komplek mewah, akses ke bandara dan persewaan taksi, serta yang paling penting adalah akses untuk hadir ke pernikahan teman kecilnya yang berisikan tamu-tamu undangan dari kalangan atas – mereka-mereka yang memiliki skor tinggi dan nyaris sempurna.

 

Segala tuntutan untuk menjadi impresif dan manis telah Lacie lakukan. Namun, apa daya, pada akhirnya dia menyerah pada kefanaan dunia dan memilih untuk menjadi dirinya sendiri meski dengan skor rendah.

 

Apa yang dikisahkan dalam Nosedive tentu sangat lekat dengan keseharian kita. Sebagian dari kita mungkin melakukan, mengorbankan, dan bahkan menutup-nutupi banyak hal hanya demi terlihat manis dan bahagia di mata dunia. Sebagai insan Komunikasi, relevansi kisah dalam film Nosedive dengan kehidupan sehari-hari ini tentu sangat menarik untuk di-ulik.

 

Hasil survei dari Hootsuite melaporkan bahwa ada 3.800 milyar pengguna aktif media sosial di dunia. Indonesia menyumbang 160 juta pengguna, dengan akses ke media sosial rata-rata 3 jam 26 menit, setiap harinya. Begitu banyak orang yang langsung terjun untuk menggunakan media sosial dengan alasan yang beragam. Bersosial, jelas. Namun tak jarang, haluannya berubah menjadi ajang pamer status sosial, yang ujung-ujungnya malah menciptakan segregasi dan konflik sosial.

 

Tak hanya itu, konflik pun dapat terjadi pada batin diri sendiri. Tujuan awal bersosial dengan mencari tahu keberadaan dan menanyakan kabar pada kawan lama, kadang justru membawa seseorang pada kompetisi yang tercipta oleh pikirannya sendiri. “Wah, dia cakep banget ya. Skincare-nya pasti mahal”, “Wah, keren banget deh, seumuran tapi dia udah S2”, “Wah, promosi jabatan di usia 25?!”, dan masih banyak “wah-wah” lainnya. Kompetisi membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, merupakan salah satu dampak psikologis yang muncul karena adanya media sosial.

 

Jan, Soomro, dan Ahmad (2017) dalam penelitian mereka yang berjudul Impact of Social Media on Self-Esteem menyebutkan bahwa media sosial memiliki dampak yang sangat penting terhadap harga atau kepercayaan diri seseorang (self-esteem). Meski utamanya media sosial digunakan untuk mencari informasi serta menjalin komunikasi dan hubungan, namun sebagian besar penggunanya akan – secara tidak langsung – membandingkan dirinya terhadap orang lain, baik “ke atas” maupun “ke bawah”. Perbandingan ke atas berarti melihat orang yang dirasa “lebih baik” dan “lebih berhasil” dibanding dirinya, sementara perbandingan ke bawah berarti melihat mereka yang dianggap “kurang” atau “tidak selevel” dengan dirinya.

 

Hal serupa juga dikemukakan oleh Julia T. Wood dalam bukunya, Communication Mosaics, pada bab yang mengulas tentang Controversies about Personal and Social Media. Bahkan, tak hanya soal membanding-bandingkan diri Beberapa hal lain yang diulas dalam buku ini sangat relevan dengan kejadian dalam film Nosedive dan keseharian kita.

 

Pertama, dinyatakan bahwa kehadiran teknologi telah mengubah cara seseorang berpikir. Salah satunya, dengan membuat kita terbiasa bereaksi terhadap sesuatu dari eksternal atau visualnya – alias dari luarnya saja, bahkan sebelum mengerti atau paham tentang apa yang kita lihat. Jelas, karena semua serba instan dan dapat dengan cepat muncul di hadapan kita, sehingga “judging a book by its cover” menjadi sesuatu yang biasa.

 

Kedua, media sosial dan hubungan yang kita jalin di dalamnya mampu menimbulkan krisis identitas dan kepercayaan diri. Banyaknya figur yang kita lihat, serta banyaknya fitur yang bisa kita gunakan, tentu telah memberi kita kebebasan untuk menjadi persona yang berbeda dari siapa kita sebenarnya – entah sebagai bentuk personal branding atau eskapisme dari dunia nyata. Namun, apabila kemudian kita justru menampilkan dua kepribadian yang bertolak belakang, justru akan berbahaya bagi diri sendiri dan orang sekitar.

 

Melihat betapa dekatnya fenomena dalam film Nosedive dengan kehidupan, ada baiknya kita melakukan refleksi dan “menata ulang” perilaku kita di media sosial, supaya fananya dunia maya tidak membuat kita terlena. Beberapa cara seperti mematikan notifikasi, mengunci aplikasi, membatasi waktu penggunaan, serta mencari distraksi baru, dianggap efektif untuk mengurangi – bahkan menghilangkan – adiksi terhadap media sosial.

Cara lain adalah dengan melakukan Dopamine Detox, yakni melatih otak kita supaya “terprogram ulang” untuk menyukai hal-hal yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi intensitas konsumsi hiburan – terutama bermain ponsel dan media sosial. Saya pun masih berusaha untuk bisa terlepas dari adiksi media sosial. Tentunya tanpa perlu melewati pengalaman pahit seperti Lacie. Kalau Sobat Dikom mengalami hal yang sama, yuk kita bangun ulang kebiasaan yang lebih baik, selagi masih bisa.

 

Daftar Pustaka

https://today.line.me/id/article/Daya+Pikat+Black+Mirror+Kisah+Satire+tentang+Manusia+dan+Teknologi-r09Lr8

https://www.businessinsider.com/psychology-black-mirror-nosedive-social-media-2016-10?r=US&IR=T

‘Black Mirror’s Nosedive’: Media Sosial dan Tuntutan Hidup Masa Kini

https://medium.com/@galihkenyoasti/review-series-nosedive-black-mirror-13e3c6f5729b

https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-42679432

Jan, M., Soomro, S. A., & Ahmad, N. (2017). Impact of Social Media on Self-Esteem. European Scientific Journal , 13 (23), 329-341.

Wood, J. T. (2010). Communication Mosaics : An Introduction to the Field of Communication, Sixth Edition. Boston, USA: Wadsworth Publishing.

https://www.bustle.com/articles/144893-7-ways-to-stop-your-social-media-addiction

https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2018/05/02/five-steps-to-break-your-social-media-addiction/#2d051faa38be

How I Tricked My Brain To Like Doing Hard Things (dopamine detox) by Better Than Yesterday: https://www.youtube.com/watch?v=9QiE-M1LrZk

DOPAMINE DETOX – RESET OTAK – HALAU MALAS by Rianto Astono: https://www.youtube.com/watch?v=kO622GyHa28

Puasa Hiburan, Reset Otak Agar Produktif (Mengenal Dopamine Detox) by Satu Persen – Indonesian Life School: https://www.youtube.com/watch?v=nydaG-kL-w0

 

Penulis: Rosehasna Wirastomo (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

Bagaimana PR atau Marketing Communication di Berbagai Perusahaan Beradaptasi di Masa Pandemi dan Sejarah di Baliknya

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Jika saat ini dunia berjalan normal dan pandemi belum menyerang, mungkin sudah banyak acara yang dihelat sebagai bagian dari kampanye kehumasan. Tetapi, pandemi mendesak kita semua untuk berhenti sejenak dan memikirkan jalan-jalan baru. Brand Activation Agency, sebagai cabang industri pemasaran tercatat sebagai segmen industri yang terdampak pandemi paling besar (Wiranatakusumah, 2020). Bagaimana tidak? Aktivasi merek berkaitan erat dengan penghimpunan massa dan pemanfaatan venue, yang mana dilarang selama pandemi. Namun, semua itu ternyata tidak menghalangi pelaku industri pemasaran dan pekerja pemasaran untuk tetap terhubung dengan konsumen. Pemanfaatan media daring menjadi opsi nomor satu dalam meningkatkan engagement dengan pasar.

Adaptasi di Tengah Pandemi

Banyak jenama yang sudah beradaptasi dengan cepat dengan memanfaatkan platfotm daring untuk menjaga brand awareness. Berbagai kegiatan diadakan seperti  gelar wicara, webinar, maupun Kulwap (Kuliah Whatsapp). Contohnya seperti yang dilakukan oleh Dancow yang mengadakan rangkaian acara “Festival Dongeng Aku dan Kau” melalui berbagai platform daring. Selain itu, ada Shopee yang menghadirkan “BincangShopee 9.9 Super Beauty Day: Kreativitas Industri Kecantikan di tengah Pandemi” (Sihombing, 2020) yang juga diadakan secara daring melalui fitur ShopeeLive miliknya.

Baru-baru ini, Facebook telah mempublikasikan hasil risetnya yang memperhatikan tren penggunaan media digital yang berevolusi di tengah masa pandemi. Hasil riset tersebut didasarkan pada kombinasi wawasan data internal dari Facebook, wawasan survei yang ditugaskan, dan penelitian pihak ketiga. Secara total, menggabungkan respon dari lebih dari 34.000 konsumen. Ada lima poin yang mereka sorot dan cukup relevan untuk para pemasar digital di seluruh dunia (Hutchinson, 2020):

  • Safer Shopping – Berkaitan dengan peraturan-peraturan berbelanja yang baru untuk mencegah penyebaran Covid-19 dan pergeseran ke arah
  • Mindful Wellness – Banyak orang mulai sadar akan pentingnya aktivitas rekreasi untuk meredakan tekanan dari situasi yang ada.
  • Glocal Community – Pandemi telah merekatkan silaturahmi antar warga, yang mana akan berujung pada meningkatnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
  • Gen Z’s Regeneration – Pandemi telah memperkuat dukungan Gen Z dalam melawan penyebab-penyebab isu sosial dan lingkungan.
  • Connected Convenience – Banyak pesan agar tetap terhubung satu sama lain, termasuk dengan jenama.

Kelima poin tersebut dapat kita rasakan sekarang. Kini berbelanja seakan membutuhkan proposal pengajuan dana matriks karena banyak hal yang perlu dipertimbangkan, entah sanitasi, datang langsung atau pesan antar, dan banyak hal subjektif lainnya. Tetapi banyak jenama yang sudah tanggap dengan keadaan ini dan menjaga pelayanan pelanggan dengan memperhatikan kesehatan, contohnya seperti Gojek dengan strategi contactless delivery-nya. Selain itu, banyak jenama di sekitar kita juga telah mencanangkan strategi berdasarkan hasil riset di atas. Berbagai korporat teknologi digital mengupayakan untuk mendukung bisnis-bisnis lokal, misalnya dengan pengeluaran stiker “Support Small Business” pada fitur Story di Instagram. Dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa walaupun dunia ekonomi mendapat banyak perubahan, selalu ada banyak cara agar dapat bertahan. Seperti peribahasa dari Perancis, plus ça change, plus c’est la même chose, yang artinya semakin banyak hal berubah, semakin banyak hal yang tetap sama. Perubahan memberikan kita sebuah tahap untuk berevolusi. Sebagaimana Public Relations berevolusi dari 1.0 ke 4.0.

Sejarah singkat PR dari 1.0 menuju 4.0 dan Relevansinya dengan Kondisi Sekarang

Public Relations modern lahir pada awal tahun 1900an, meski sejarah praktiknya sudah ada sejak abad ke-17. Penggunaan brosur dan pamflet sebagai alat publisitas kemungkinan tercatat pertama kali digunakan pada tahun 1641 untuk menarik penggalangan dana. Istilah Public Relations sendiri didokumentasikan pertama oleh presiden Amerika Thomas Jefferson pada Kongres tahun 1807. Sebelum PD I, industri PR baru mulai terlihat dan menunjukkan evolusi PR sebagai profesi resmi. Sejak saat itu PR mulai berevolusi dimulai sebagai badan publisitas, kemudian bergerak sinergis dengan badan pemasaran.

Fase PR 2.0 ditandai dengan keterbukaan akses bagi praktisi PR untuk berkomunikasi langsung dengan audiens atau pembelinya, yang mana sebelumnya harus melalui media. PR 2.0 ditandai dengan meningkatnya kesadaran untuk membangun relasi dan mengelola citra positif serta paparan merek, salah satunya melalui media daring. Hal ini sudah dapat kita lihat dengan diletakkannya divisi Humas atau Pemasaran di setiap organisasi. Tujuannya adalah agar perusahaan/organisasi dapat berkomunikasi langsung dengan audiensnya.

PR terus berkembang beradaptasi dengan zaman. Di fase 3.0, PR memusatkan objektif pada social customer relationship management (SCRM). Untuk menerapkannya, perusahaan/organisasi harus bergeser dari yang mulanya hanya transaksional menjadi maksimalisasi hubungan jangka panjang dengan konsumen. Daripada memperlakukan konsumen sebagai target pemasaran produk, perlakukan konsumen sebagai manusia seutuhnya dengan seperangkat naluri, opini, dan jiwa. Oleh karena itu, di fase 3.0, PR perusahaan/organisasi berupaya memberikan nilai tambah (added value) ke dalam praktiknya untuk membedakan karakternya dengan perusahaan lain. Maka, mereka tidak hanya menargetkan pemenuhan fungsional dan emosional, tetapi juga pemenuhan kepuasan jiwa manusia ke dalam produk dan layanannya. Sebagai tambahan, fase ini juga menciptakan strategi baru, yakni brand activism.

Fase terakhir merupakan evolusi yang sedang marak berkembang dan erat kaitannya dengan teknologi kecerdasan buatan. PR 4.0 mengembangkan konektivitas machine-to-machine dan artificial intelligence dalam rangka mendongkrak produktivitas perusahaan. Strategi ini kemungkinan akan banyak sekali kita lihat ke depannya. Kini, teknologi ini dapat kita lihat contohnya pada fitur customer service di berbagai aplikasi di telepon genggam kita. Walaupun demikian, campur tangan manusia tetap dibutuhkan untuk meningkatkan customer engagement.

Melalui berbagai fase tersebut, PR selalu dapat berevolusi dan menciptakan dobrakan ide yang baru. Jika rajin mengulik, fenomenanya pun banyak dapat kita temui di sekitar kita dan di dunia maya. Misalnya dengan brand activism yang banyak kita saksikan pada masa maraknya gerakan Black Lives Matter. Banyak jenama menunjukkan dukungannya dengan memaparkan image bertemakan selaras dengan gerakannya. Dari perspektif pemasaran, strategi ini disebut sebagai positioning. Kini, merek atau jenama didorong agar menjadi lebih sensitif terhadap isu sosial dan lingkungan—yang menjadi concern para millenial dan Gen Z saat ini. Hal ini diamplifikasi oleh hasil riset Facebook yang menyatakan bahwa pandemi membuat Gen Z menjadi lebih tertarik pada aktivisme dan kegiatan sosial.

Jadi, banyak nilai yang harus diperhatikan oleh PR atau Marketing Communication agar dapat beradaptasi dengan pandemi. Pengelolaan citra positif, pemberian nilai tambah, pemenuhan kepuasan jiwa manusia, dan pemanfaatan teknologi digital adalah fondasi yang penting. Sejarah juga dapat banyak memberi pelajaran bagi praktisi PR. Ada banyak fenomena yang dikaji dari perspektif PR dan pemasaran yang dapat dijadikan batu loncatan untuk membuat terobosan baru. Dengan kata lain riset menjadi tahap terpenting dalam perencanaan strategis kehumasan, sebagaimana ketika datang ke negara baru, perlu kita mencari tahu bahasa dan budayanya dahulu.

 

Referensi

Hutchinson, A. (2020, 24 Agustus). Facebook Evolving Trends Research: Glocal Community. Social Media Today. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://www.socialmediatoday.com/news/facebook-evolving-trends-research-glocal-community-infographic/583977/

Sihombing, I. (2020, 20 Mei). Industri Kecantikan Butuh Kreativitas di Tengah Pandemi Covid-19. Media Indonesia. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mediaindonesia.com/read/detail/314825-industri-kecantikan-butuh-kreativitas-di-tengah-pandemi-covid-19

Wiranatakusumah, M. R. (2020, 24 Juli). Pandemi, Pilih Vacuum atau “Stay Connected”?. MIX Interactive. Diakses pada 28 Agustus 2020 dari https://mix.co.id/mix-interactive/column/pandemi-pilih-vacuum-atau-stay-connected/.

 

Penulis: Rizqy Kartini Mayasari (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

 

CECR dan Media Selection: Strategi Menghadapi Krisis

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Ketika menghadapi krisis, praktisi humas baik di pemerintahan maupun lembaga dituntut untuk dapat mengatasinya melalui komunikasi yang efektif dan pemanfaatan media yang tepat. Begitupun dengan Covid-19 yang terjadi saat ini menjelma menjadi krisis kesehatan publik. Komunikasi yang efektif dapat mengurangi kompleksitas informasi yang beredar di masyarakat dan dapat menyelamatkan hidup banyak orang. Artikel ini akan membahas mengenai CECR yang dapat menjadi pedoman komunikasi krisis oleh praktisi humas dan pemilihan medianya.  

Apa Itu CECR?

Crisis and Emergency Risk Communication  atau CECR merupakan kerangka komunikasi yang dibuat oleh CDC (Centers for Disease Control) yang bertujuan untuk membantu organisasi dalam merespons krisis yang berkaitan dengan darurat kesehatan yang mengancam nyawa banyak orang. Barbara R, Penasihat Komunikasi Krisis CDC mengatakan bahwa CERC menjadi sangat penting karena penyampaian pesan pada waktu yang tepat oleh orang yang tepat dapat menyelamatkan nyawa banyak orang (CERC Introduction, 2018). Kerangka CERC dan enam prinsipnya dapat membantu organisasi ketika menyampaikan informasi kepada publik dalam mempersiapkan, merespons, dan pemulihan pasca tanggap darurat kesehatan. Keenam prinsip CERC adalah:

  1. Be first: menjadi sumber utama dan pertama mengenai informasi
  2. Be right: informasi yang diberikan akurat
  3. Be credible: memberikan informasi yang jujur tanpa menutupi fakta
  4. Express empathy: mengekspresikan empati kepada stakeholders terdampak
  5. Promote action: memberikan informasi instruksi untuk stakeholders
  6. Show respect: Menghargai stakeholders yang terdampak

Integrasi dari keenam prinsip CERC membantu memastikan bahwa sumber daya yang terbatas dapat dikelola dengan baik dan organisasi dapat melakukan yang terbaik pada setiap fase tanggap darurat. 

Media Selection

Proses pemilihan media dalam komunikasi strategis bersifat multidimensional dan bergantung pada beberapa faktor. Proses multidimensi dalam pemilihan media berarti terjadi saat Humas ingin memilih saluran komunikasi maka ia perlu berpikir secara bersamaan mengenai tingkat efisiensi yang diinginkan dalam komunikasi dan pengalaman sebelumnya dengan kanal komunikasi, mitra, dan juga topik (Klyueva, 2009).  

Terdapat tiga teori utama dalam pemilihan media yaitu rich media, channel expansion theory, dan integrated model. Daft dan Lengel (1984) berteori bahwa rich media dibutuhkan untuk memproses informasi mengenai topik yang kompleks atau samar-samar. Oleh karena itu untuk menghindari kesalahan penafsiran pesan,  humas akan memilih media yang “kaya”. Karakteristik dari rich media yaitu: dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan. Carlson dan Zmud (1999) mencetuskan channel expansion theory mengatakan bahwa “kaya” atau tidaknya suatu media tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik media tersebut. Pengalaman individu terhadap kanal, orang yang diajak berkomunikasi, dan topik yang justru akan mempengaruhi persepsi individu atas media tersebut. Integrated model datang menjadi penengah bagi keduanya, Klyueva (2009) mengatakan bahwa jikas seorang humas ingin menghindari ambiguitas dan menciptakan komunikasi yang efektif maka pemilihan media harus didasarkan pada seberapa baik ia mengenal media tersebut, pihak yang diajak berkomunikasi, dan topik yang dibicarakan. 

Lalu bagaimana implementasinya? 

Memasuki era digital dengan banyaknya pilihan platform, sangat membantu praktisi humas dalam menyampaikan pesan. Implementasi CECR dapat dilakukan melalui media konvensional maupun media baru. Namun, salah satu prinsip CECR yaitu be first yang mengharuskan praktisi humas untuk menjadi sumber yang pertama dan utama mendorong perpindahan dari media konvensional ke media baru karena kecepatannya. Selain itu, tingginya tingkat penetrasi internet di Indonesia yang mencapai 64,8% menjadi faktor praktisi humas untuk menggabungkan media konvensional dengan media baru (Annur, 2019). Apalagi kehadiran media baru seperti media sosial dan website dengan fiturnya yang dapat mengirimkan banyak bentuk pesan (teks, suara, gambar), dapat memberikan umpan balik secara langsung, mendukung penggunaan variasi bahasa, dan memungkinkan personalisasi pesan mampu mengurangi kompleksitas informasi yang ada. Media konvensional tetap dibutuhkan oleh praktisi humas karena tidak semua audiensnya memiliki akses internet. Meskipun kita telah memasuki era digital, perpaduan antara media konvensional dan media baru atau integrated model masih relevan hingga saat ini. Integrated model memungkinkan praktisi humas untuk menjangkau lebih luas audiensnya dan mengurangi kompleksitas informasi sehingga tepat diterapkan dalam menghadapi krisis seperti pandemi Covid-19 ini. 

 

Referensi

Annur, C.M. (2019, 16 Mei). Survei APJII: Penetrasi Pengguna Internet di Indonesia Capai 64,8%. Diakses tanggal 28 Agustus, 2020, dari https://katadata.co.id/sortatobing/digital/5e9a51915cd3b/survei-apjii-penetrasi-pengguna-internet-di-indonesia-capai-648.

Carlson, J.R., & Zmud, R.W. 1999. Channel expansion theory and the experiental nature of media richness perceptions. Academy of Management Journal, 42, 153-170

CERC Introduction. 2018. U.S Department of Health and Human Services Center fror Disease Control and Prevention

Daft, R.L., Lengel,R.H. 1984. Information richness: A new approach to managerial behavior and organization design. Research in Organizational Behavior, 6, 191-233

Klyueva, Anna V. 2009. An Integrated Model of Media Selection in Strategic Communication Campaigns. Oklahoma University

 

 

Penulis: Rizky Wibawa (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)

 

Woke Hollywood: Membaca Fenomena “Woke Culture” di Dunia Film Amerika Serikat

Perspektif Rabu, 30 September 2020

zz

Sumber: IndieWire.com

Jika anda merupakan seorang penggemar franchise Star Wars, pasti tak asing dengan kontroversi film Star Wars: The Last Jedi (2017) dan Star Wars: The Rise of Skywalker (2019) yang dianggap memiliki agenda politik terselubung terutama untuk menyebarkan propaganda feminis radikal (Sammons, 2018). Tidak hanya masalah feminis, Disney sebagai perusahaan yang turut terlibat dalam penulisan dan produksi 3 film terakhir Star Wars, juga mengedepankan inklusivitas dalam film ini, dengan misalnya menghadirkan karakter Rose Tico sebagai representasi masyarakat Asia, atau Finn sebagai representasi Afrika-Amerika. Walaupun di sisi lain plot dan penggambaran karakter dari masing-masing tokoh ini justru dianggap “melecehkan” bagi beberapa pihak (Daubney, 2017).  

Tragedi yang menimpa film franchise terlaris di dunia ini, diyakini oleh penggemar sebagai dampak dari budaya the woke (Firdaus, 2020) yang sedang tren di industri hiburan Hollywood. Tidak hanya Star Wars, beberapa film Hollywood terutama film-film yang merupakan remake, spin-off, atau sequel dari film klasik juga tak ketinggalan ikut ‘mencoba’ woke culture dengan gaya masing-masing.

Misalnya, Ocean’s 8 (2019) yang merupakan “spin-off” dari Ocean’s Eleven (2001), memilih untuk membentuk kelompok penjahat perempuan sebagai generasi penerus Ocean’s Eleven yang sebelumnya hanya beranggotakan laki-laki (Kozak, 2019).

Tidak hanya film klasik, seri orisinil Netflix The Kissing Booth 2 (2020) juga tak ketinggalan mencoba tren ini. Setelah sebelumnya mendapat banyak kritikan karena dianggap “kurang inklusif”, The Kissing Booth 2 (2020) menambahkan plot cerita romantis siswa gay yang sayangnya tak berdampak apapun pada plot utama (McLaughlin, 2020) selain digunakan untuk menunjukkan bahwa kini sutradara dan penulis The Kissing Booth 2 (2020) menyadari bahwa heteroseksual bukan satu-satunya orientasi seksual yang ada di bumi.

Istilah the woke atau woke culture ini kemudian menjadi popular setelah Todd Philips (sutradara film Joker (2019)) menyindir para social-justice warrior sebagai penghalang terbesar bagi sutradara film komedi untuk membuat film bertema komedi di era saat ini (Erbland, 2019). The woke atau yang sering disebut sebagai woke culture sendiri merupakan istilah slang yang diambil dari bahasa Afrika untuk term the awaken progresif. Istilah ini juga biasa ditujukkan untuk mengidentifikasi salah satu ciri khas dari kelompok Social Justice Warior (SJW) atau pejuang keadilan sosial (Firdaus, 2020). 

Selama lebih dari 200 tahun, eksistensi film dalam industri media hiburan, tak lagi sekedar dianggap sebagai media komunikasi yang mewadahi imajinasi penulis dan sutradara semata. Di era kemudahan akses informasi seiring dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan manusia, film dapat menjadi alat yang berguna bagi pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan political stand, ideologi, dan propaganda tertentu. Misalnya seperti yang dilakukan oleh sutradara film BlacKkKlansman (2018) dan Do the Right Thing (1989), Spike Lee. Melalui film-film buatannya ia memainkan peran ganda sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan keadilan masyarakat ras kulit hitam dan juga sutradara yang memiliki integritas sehingga menyadari betul betapa pentingnya menyelaraskan kepentingan politik dan kekuatan storytelling sebagai penyampaian pesan aktivisme yang sesungguhnya (Urbain, 2018).

Kemunculan isu agenda politik dan tindakan aktivisme berkembang menjadi isu sensitif dan kemudian diangkat ke diskusi publik sejalan dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan forum daring para pecinta film. Di YouTube sendiri, saat ini tren video esai kritik film pun mulai menjamur bahkan sampai menyentuh ranah ilmu pengetahuan spesifik seperti fenomena kritik sosial film Parasite (2019) yang banyak dianalisis melalui perspektif ilmu sosiologi. 

Tujuan untuk membangkitkan kesadaran akan inklusivitas dan melawan streotip kemudian menimbulkan rasa jengkel ketika film seolah “hanya” dibuat untuk kepentingan agenda semata. Alih-alih membentuk cerita yang mampu membawa pesan untuk membangkitkan kesadaran dan melawan ketidakadilan, woke culture dunia film era sekarang justru membawa “bumbu” inklusivitas dan agenda politik atau political correctness sebagai strategi pemasaran.

John Semley (2017) dalam artikelnya menyebutkan, bahwa masalah film-film yang sarat akan woke culture saat ini adalah rasa bangga mereka dalam menunjukkan bahwa mereka memiliki kesadaran tentang isu-isu sosial tertentu seperti minoritas dan feminisme. Karakter yang dibuat untuk kepentingan alur cerita pun tak lagi menjadi prioritas, selama bentuk fisik dari aktor atau aktris yang memerankan suatu tokoh dirasa cukup untuk merepresentasikan suatu kelompok masyarakat yang relevan dengan isu sosial yang berkembang, maka kualitas cerita tak lagi menjadi masalah (Semley, 2017).

Semley juga menjelaskan bahwa film di era woke culture saat ini justru mengurangi nilai dari aktivisme dan tujuan representasi sebenarnya dalam film:

“Kita menjadi begitu puas diri dalam menghargai tanda-tanda seni yang baik, terjaga, mulia, dan liberal sehingga kita berisiko membutakan diri kita sendiri terhadap realitas ketidakadilan sosial dan politik yang terus berubah. Alih-alih terlibat, kita bisa menonton film seperti The Shape of Water, merasa cukup sadar, dan salah mengira perasaan itu sebenarnya sedang bertunangan. Alih-alih gelisah, bangun dengan ketakutan, kita kembali tidur nyenyak, dan memimpikan mimpi terbangun.” (Semley, 2017)

Sebagai media komunikasi massa, film memikul tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Di era arus informasi saat ini, media massa membuat pikiran masyarakat jauh lebih ideologis. Mereka tidak membiarkan orang memiliki persepsi mereka sendiri tentang dunia, melainkan membuat publik memahami apa yang mereka pikirkan (Jowett & Linton, 2010). Dibandingkan media massa lainnya, film dapat dikatakan sebagai media penyampaian pesan yang paling kuat dan memiliki pengaruh baik kepada masyarakat sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial (Symeou, Bantimaroudis, dan Zyglidopoulos, 2013). Pembentukan persepsi publik ini, sejalan dengan salah satu misi dari film sebagai media massa seperti yang disebutkan dalam teori agenda setting media (McCombs, 2004). 

Namun alih-alih menjalankan misi agenda setting, woke culture atau “wokeness” dalam film masa kini, lebih enak dipandang dari sudut pandang komunikasi pemasaran. Sebagai fenomena yang muncul di era media sosial, kesadaran akan inklusivitas dan isu-isu sosial kini menjadi nilai jual yang mumpuni (Shaw, 2020). 

Film-film dengan esensi “woke culture” tidak terlalu menggunakan alur cerita sebagai “senjata” promosi. Cukup dengan mengunggah poster film ke media sosial atau platform online lainnya dan menyebutkan ada representasi kelompok atau isu sosial apa yang diangkat dalam film tersebut, calon penonton diharapkan untuk merespon karya mereka dengan positif tanpa harus menghiraukan kualitas cerita (Clair, Fox, dan Bezek, 2009). Kritik yang ditujukkan untuk film tersebut pun sekarang bisa dianggap sebagai pendapat yang menyerang kelompok tertentu, tanpa pula harus memikirkan apakah kritik tersebut bisa diterima logika atau tidak.

 

Referensi

Clair, R. P., Fox, R., & Bezek, J. L. (2009). Viewing Film from a Communication Perspective: Film as Public Relations, Product Placement, and Rhetorical Advocacy in the College Classroom. Communication and Theater Association of Minnesota Journal, 70-87.

Daimond, J. (2020, February 10). The Failure of the Woke Movie Remake Industry. Retrieved August 27, 2020, from The Burkean: https://www.theburkean.co.uk/the-failure-of-the-woke-movie-remake-industry/

Daubney, M. (2017, December 27). Liberal identity politics has ruined Star Wars for the fanboys. Retrieved August 27, 2020, from Telegraph: telegraph.co.uk/men/thinking-man/liberal-identity-politics-has-ruined-star-wars-fanboys/

Erbland, K. (2019, October 1). Todd Phillips Left Comedy to Make ‘Joker’ Because ‘Woke Culture’ Ruined the Genre. Retrieved August 27, 2020, from IndieWire: https://www.indiewire.com/2019/10/todd-phillips-left-comedy-joker-woke-culture-1202177886/

Firdaus, A. (2020). SJW, Horseshoe Theory dan the Woke Culture. Retrieved August 27, 2020, from AMF Life: https://ahmadmfirdaus.com/2019/10/15/sjw-horseshoe-theory-dan-the-woke-culture/

Francis, N. (2020, January 10). WHY IS VIDEO SUCH A POWERFUL COMMUNICATIONS TOOL? Retrieved August 27, 2020, from Casual Films: https://www.casualfilms.com/blog/emotional-power-of-video#:~:text=One%20hundred%20years%20on%2C%20film,emotion%20in%20a%20dispersed%20audience.&text=It’s%20when%20it’s%20combined%20with,communication%20tool%20available%20to%20humanity.

Jowett, G., & Linton, J. M. (2010). Movies as Mass Communication. Michigan: SAGE Publication.

Kozak, O. E. (2019, May 22). Hollywood’s Gender-Swapped Remakes/Reboots of the Late 2010s. Retrieved August 27, 2020, from Paste: https://www.pastemagazine.com/movies/gender-swap/hollywoods-gender-swapped-remakesreboots-of-the-20/

McCombs, M. (2004). Setting the agenda: The mass media and public. Cambridge, UK: Blackwell Pub.

McCombs, M. E. (1972). The Agenda-Setting Function of Mass Media. The Public Opinion Quarterly, Vol. 36, No. 2, 176-187.

McLaughlin, K. (2020, July 28). The Kissing Booth 2’s Gay Subplot Is a Frustrating Example of Performative Activism. Retrieved from Pop Sugar: https://www.popsugar.com/entertainment/why-kissing-booth-2-gay-subplot-is-problematic-47643859

Salmon, C. (2020, January 16). Does anyone outside of Twitter really care about films being woke? Retrieved August 27, 2020, from Dazed: https://www.dazeddigital.com/film-tv/article/47484/1/does-anyone-outside-of-twitter-really-care-about-films-being-woke

Sammons, T. (2018, March 11). Kathleen Kennedy Is Ruining Star Wars With Her Feminist Agenda. Retrieved August 27, 2020, from Odyssey: theodysseyonline.com/kathleen-kennedy-ruining-star-wars-feminist-agenda

Semley, J. (2017, December 5). The problem with ‘The Shape of Water’ and other ‘woke’ films. Retrieved August 27, 2020, from Maclean’s: https://www.macleans.ca/opinion/the-problem-with-woke-cinema/

Shaw, L. (2020, July 13). Hollywood Decides Being Woke Is Good for Business. For Now. Retrieved August 27, 2020, from Bloomberg: https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2020-07-12/hollywood-decides-being-woke-is-good-for-business-for-now

Symeou, P., Bantimaroudis, P., & Zyglidopoulos, S. (2013). Cultural Agenda Setting and the Role of Critics: An Empirical Examination in the Market for Art-house Films. In S. Zyglidopoulos, Cambridge Judge Business School Working Papers (pp. 3-7). Cambridge: Cambridge Judge Business School, University of Cambridge.

Urbain, T. (2018, May 14). Spike Lee’s signature: Entertainment, activism, rage. Retrieved August 27, 2020, from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/life/2018/05/14/spike-lees-signature-entertainment-activism-rage.html

 

Penulis: Nadia Utama (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2016)

Masa Pandemi Jadi Momentum Pembuktian Kreativitas Pelaku Industri Periklanan (Studi Kasus pada Iklan IM3 Ooredoo)

Perspektif Rabu, 30 September 2020

Pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama tahun 2020 ini telah mengubah tatanan kehidupan manusia di semua bidang, termasuk dalam hal pemasaran dan periklanan. Para pelaku industri tersebut dituntut untuk dapat beradaptasi dengan cepat dan harus bisa lebih kreatif dalam menentukan langkah-langkah ketika akan melakukan pemasaran suatu produk atau brand. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana kemampuan mayoritas brand multinasional dan perusahaan besar di Indonesia yang dapat cepat dan tanggap dalam beradaptasi dengan keadaan. Dalam hal ini, saya akan mengambil contoh kasus pada brand IM3 Ooredoo yang dapat dikatakan aktif melakukan pemasaran selama pandemi ini.

Pembahasan tentang pemasaran yang telah dilakukan IM3 Ooredoo akan dikerucutkan pada satu waktu saja, yaitu pada bulan Ramadan. Bulan Ramadan tahun ini terasa berbeda, adanya himbauan #dirumahaja, social distancing, hingga larangan mudik. Akan tetapi, kita tau bahwa pada saat yang sama, iklan bertebara dimana-mana, ada di TV, Youtube, billboard, dan berbagai media lainnya. Menyikapi momen bulan Ramadan dan lebaran, IM3 Ooredoo ingin mengambil momen ini dengan berusaha untuk menginspirasi dan memberi semangat kepada para pengguna produk mereka karena saat ini, banyak orang yang sedang “jatuh” secara finansial, fisik, dan juga mental (IM3 Ooredoo, 2020).

Alhasil, mereka pun memproduksi sebuah iklan berjudul “Silaturahmi Setiap Hari” dan diunggah pada lama Youtube IM3 Ooredoo. Sejak 17 April 2020, video tersebut telah dinikmati dan disaksikan oleh 92,5 juta orang (IM3 Ooredoo, 2020). Dari sini, kita perlu mempertanyakan perihal sebab mengapa iklan yang ditayangkan pada masa pandemi ini bisa mencapai jumlah views sebanyak itu. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, berbagai brand lain juga melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang membuat IM3 Ooredoo dapat mendapatkan jumlah views tersebut di masa yang penuh keterbatasan dan tak tentu ini.

Dalam hal ini, kemampuan konsep dan kreativitas adalah salah satu solusi menghadapi keterbatasan yang disebabkan oleh pandemi dan kondisi dimana semua hal harus dilaksanakan secara “online”. IM3 Ooredoo sebagai salah satu brand provider yang sangat dibutuhkan pada masa pandemi ini kaitannya dalam penyediaan jaringan internet berusaha untuk salah satunya yaitu menguatkan brand awareness mereka. Menurut Durianto (2001) brand awareness merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen brand lainnya. Jadi apabila kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa kepercayaan terhadap mereknya juga rendah (Durianto, 2001). Lalu apa yang mereka lakukan? 

Dalam Behind the Scene-nya dikatakan bahwa mereka berusaha untuk menghadirkan salah satu esensi dari bulan Ramadan yaitu silaturahmi. Akan tetapi, adanya pandemi membuat semuanya harus dijalani dengan cara yang berbeda. Menggandeng beberapa musisi untuk mengisi lagu pengiring, iklan yang menceritakan tentang bagaimana kondisi silaturahmi pada masa pandemi ini dapat mengena di hati para penonton. Mengutip beberapa komentar di unggahan video klip lirik salah satu musisinya, dikatakan bahwa,

“Tumben dengerin lagu iklan sampai segini gininya.. ❤️”

“Lagu ini Bakal mengingatkan kita kalo kita pernah ada di masa2 ngga nyaman”

“Gatau lagi harus nangis atau gimana.. semenjak karantina udah gak bisa ketemu ibu.. cuma bisa vcall, telpon sambil nangis.. aku gak takut bu meski di karantina disini.. aku cuma takut saat terakhir ku ga ketemu kalian.. kaka sayang ibu sama adek”, (Hindia, 2020).

Dari beberapa komentar ini terdapat semacam pola yang sama, yaitu bahwa iklan ini memiliki kedekatan emosional yang kuat. Dalam iklan, penggunaan kedekatan emosional termasuk ke dalam salah satu daya tarik iklan. Menurut (Clow & Baack, 2001) penggunaan kedekatan emosional dalam iklan dan pemasaran didasarkan atas tiga pemikiran. Diantaranya adalah konsumen memiliki kecenderungan mengabaikan hampir semua iklan, pemasaran secara langsung biasanya cenderung kurang diperhatikan kecuali jika memang sedang dibutuhkan konsumen, dan iklan dengan daya tarik emosional dapat lebih menarik perhatian audiens serta dapat membangun kedekatan antara konsumen dan brand (Clow & Baack, 2001).

Tidak hanya pada konsepnya saja, kreativitas mereka pun diuji pada hal proses produksi. Dengan kondisi yang tidak biasa, mereka dituntut untuk mencoba hal baru. Bagaimana? yaitu dengan proses perekaman bergilir dengan set kamera yang sama. Dengan talent yang merupakan kru mereka sendiri, proses produksi dilakukan di rumah masing-masing. Secara bergantian, mereka dipinjamkan satu set kamera untuk melakukan rekaman sendiri di rumah, begitupula dengan proses pembuatan lagu pengiring yang juga dilakukan individu di rumah masing-masing. Seluruh koordinasi yang dilakukan dalam proses produksi pun juga dilakukan secara online (IM3 Ooredoo, 2020).

Melihat contoh kasus yang dialami IM3 Ooredoo, masa pandemi sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghambat dan jadi “kambing hitam”. Hal ini juga dapat dikuatkan dengan banyaknya iklan suatu brand yang mendapatkan jumlah views puluhan juta saat masa pandemi. Beberapa diantaranya adalah iklan Go-Pay “Pevita Ditembak, JoTa Bertindak” (37 juta views), Telkomsel “Terus Jalankan Kebaikan” (19 juta views), hingga iklan terbaru IM3 Ooredoo berjudul “#TeruskanPerjuanganmu untuk Tetap Merdeka” yang sudah mendapatkan 67 juta views hanya dalam waktu kurang dari satu bulan. Kondisi seperti ini malah seakan menjadi ajang kompetisi bagi semua brand untuk menunjukkan segala kemampuan konsep dan kreativitas mereka sehingga juga bisa menjadi pembuktian bahwa mereka akan selalu siap untuk memberikan solusi yang tepat dan dapat beradaptasi dalam kondisi apapun.

 

Referensi

Clow, K.E., & Baack, D. (2001). Integrated Advertising, Promotion, and Marketing Communications. Upper Saddle River, N.J: Pearson Education, Inc.

Durianto. (2001). Strategi Menaklukan Pasar melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hindia. (2020, April). Hindia – Ramai Sepi Bersama (Official Lyric Video) [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=tVj5jUW4LvI

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk

IM3 Ooredoo. (2020, April). Silaturahmi Setiap Hari [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=dxDkK2nr2k4

IM3 Ooredoo. (2020, April). “Silaturahmi Setiap Hari” Behind The Scene [Video]. Diakses pada 28 Agustus dari https://www.youtube.com/watch?v=iQavDfhZbdk 

 

Penulis: Khairi Muhammad Zuhdi (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi UGM angkatan 2018) 

123

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Mei 2025
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  
« Apr    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY