Dunia ini panggung sandiwara — paling tidak, begitu kata Shakespeare dan Nicky Astria. Terlebih di zaman serba instan dan digital seperti sekarang ini. Apa-apa yang tampak di layar gawai kita, semua terlihat indah dan berbahagia. Tapi, apa benar begitu adanya?
Pertanyaan tersebut dijawab secara satir oleh serial Black Mirror dari Netflix, dalam salah satu episodenya yang berjudul Nosedive. Serial Black Mirror, secara keseluruhan, memang mengangkat isu tentang kejamnya dampak teknologi terhadap kehidupan masyarakat modern. Dalam episode Nosedive, isu tersebut kemudian mengerucut pada “betapa dunia ini penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan” – yang semakin terfasilitasi dengan hadirnya media sosial.
Sang tokoh utama, Lacie Pound, tampak selalu menyunggingkan senyum dan tawa manisnya yang palsu, serta berbasa-basi dan memberi skor sosial tinggi pada orang lain, hanya supaya orang tersebut juga melakukan hal yang sama padanya. “Skor sosial” di sini, menurut saya, adalah penggambaran impresi, strata, dan citra seseorang di dunia maya maupun nyata – semacam personal branding dan jumlah followers di media sosial, serta bagaimana kesan orang lain terhadap seseorang tersebut ketika mereka saling bertemu di kenyataan.
Lacie semakin gencar mengejar skor setelah mengetahui banyaknya “kenikmatan” yang bisa ia dapatkan jika memiliki skor di atas rata-rata. Diskon untuk membeli rumah di komplek mewah, akses ke bandara dan persewaan taksi, serta yang paling penting adalah akses untuk hadir ke pernikahan teman kecilnya yang berisikan tamu-tamu undangan dari kalangan atas – mereka-mereka yang memiliki skor tinggi dan nyaris sempurna.
Segala tuntutan untuk menjadi impresif dan manis telah Lacie lakukan. Namun, apa daya, pada akhirnya dia menyerah pada kefanaan dunia dan memilih untuk menjadi dirinya sendiri meski dengan skor rendah.
Apa yang dikisahkan dalam Nosedive tentu sangat lekat dengan keseharian kita. Sebagian dari kita mungkin melakukan, mengorbankan, dan bahkan menutup-nutupi banyak hal hanya demi terlihat manis dan bahagia di mata dunia. Sebagai insan Komunikasi, relevansi kisah dalam film Nosedive dengan kehidupan sehari-hari ini tentu sangat menarik untuk di-ulik.
Hasil survei dari Hootsuite melaporkan bahwa ada 3.800 milyar pengguna aktif media sosial di dunia. Indonesia menyumbang 160 juta pengguna, dengan akses ke media sosial rata-rata 3 jam 26 menit, setiap harinya. Begitu banyak orang yang langsung terjun untuk menggunakan media sosial dengan alasan yang beragam. Bersosial, jelas. Namun tak jarang, haluannya berubah menjadi ajang pamer status sosial, yang ujung-ujungnya malah menciptakan segregasi dan konflik sosial.
Tak hanya itu, konflik pun dapat terjadi pada batin diri sendiri. Tujuan awal bersosial dengan mencari tahu keberadaan dan menanyakan kabar pada kawan lama, kadang justru membawa seseorang pada kompetisi yang tercipta oleh pikirannya sendiri. “Wah, dia cakep banget ya. Skincare-nya pasti mahal”, “Wah, keren banget deh, seumuran tapi dia udah S2”, “Wah, promosi jabatan di usia 25?!”, dan masih banyak “wah-wah” lainnya. Kompetisi membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain, merupakan salah satu dampak psikologis yang muncul karena adanya media sosial.
Jan, Soomro, dan Ahmad (2017) dalam penelitian mereka yang berjudul Impact of Social Media on Self-Esteem menyebutkan bahwa media sosial memiliki dampak yang sangat penting terhadap harga atau kepercayaan diri seseorang (self-esteem). Meski utamanya media sosial digunakan untuk mencari informasi serta menjalin komunikasi dan hubungan, namun sebagian besar penggunanya akan – secara tidak langsung – membandingkan dirinya terhadap orang lain, baik “ke atas” maupun “ke bawah”. Perbandingan ke atas berarti melihat orang yang dirasa “lebih baik” dan “lebih berhasil” dibanding dirinya, sementara perbandingan ke bawah berarti melihat mereka yang dianggap “kurang” atau “tidak selevel” dengan dirinya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Julia T. Wood dalam bukunya, Communication Mosaics, pada bab yang mengulas tentang Controversies about Personal and Social Media. Bahkan, tak hanya soal membanding-bandingkan diri Beberapa hal lain yang diulas dalam buku ini sangat relevan dengan kejadian dalam film Nosedive dan keseharian kita.
Pertama, dinyatakan bahwa kehadiran teknologi telah mengubah cara seseorang berpikir. Salah satunya, dengan membuat kita terbiasa bereaksi terhadap sesuatu dari eksternal atau visualnya – alias dari luarnya saja, bahkan sebelum mengerti atau paham tentang apa yang kita lihat. Jelas, karena semua serba instan dan dapat dengan cepat muncul di hadapan kita, sehingga “judging a book by its cover” menjadi sesuatu yang biasa.
Kedua, media sosial dan hubungan yang kita jalin di dalamnya mampu menimbulkan krisis identitas dan kepercayaan diri. Banyaknya figur yang kita lihat, serta banyaknya fitur yang bisa kita gunakan, tentu telah memberi kita kebebasan untuk menjadi persona yang berbeda dari siapa kita sebenarnya – entah sebagai bentuk personal branding atau eskapisme dari dunia nyata. Namun, apabila kemudian kita justru menampilkan dua kepribadian yang bertolak belakang, justru akan berbahaya bagi diri sendiri dan orang sekitar.
Melihat betapa dekatnya fenomena dalam film Nosedive dengan kehidupan, ada baiknya kita melakukan refleksi dan “menata ulang” perilaku kita di media sosial, supaya fananya dunia maya tidak membuat kita terlena. Beberapa cara seperti mematikan notifikasi, mengunci aplikasi, membatasi waktu penggunaan, serta mencari distraksi baru, dianggap efektif untuk mengurangi – bahkan menghilangkan – adiksi terhadap media sosial.
Cara lain adalah dengan melakukan Dopamine Detox, yakni melatih otak kita supaya “terprogram ulang” untuk menyukai hal-hal yang dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi intensitas konsumsi hiburan – terutama bermain ponsel dan media sosial. Saya pun masih berusaha untuk bisa terlepas dari adiksi media sosial. Tentunya tanpa perlu melewati pengalaman pahit seperti Lacie. Kalau Sobat Dikom mengalami hal yang sama, yuk kita bangun ulang kebiasaan yang lebih baik, selagi masih bisa.
Daftar Pustaka
https://today.line.me/id/article/Daya+Pikat+Black+Mirror+Kisah+Satire+tentang+Manusia+dan+Teknologi-r09Lr8
https://www.businessinsider.com/psychology-black-mirror-nosedive-social-media-2016-10?r=US&IR=T
‘Black Mirror’s Nosedive’: Media Sosial dan Tuntutan Hidup Masa Kini
https://medium.com/@galihkenyoasti/review-series-nosedive-black-mirror-13e3c6f5729b
https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-42679432
Jan, M., Soomro, S. A., & Ahmad, N. (2017). Impact of Social Media on Self-Esteem. European Scientific Journal , 13 (23), 329-341.
Wood, J. T. (2010). Communication Mosaics : An Introduction to the Field of Communication, Sixth Edition. Boston, USA: Wadsworth Publishing.
https://www.bustle.com/articles/144893-7-ways-to-stop-your-social-media-addiction
https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2018/05/02/five-steps-to-break-your-social-media-addiction/#2d051faa38be
How I Tricked My Brain To Like Doing Hard Things (dopamine detox) by Better Than Yesterday: https://www.youtube.com/watch?v=9QiE-M1LrZk
DOPAMINE DETOX – RESET OTAK – HALAU MALAS by Rianto Astono: https://www.youtube.com/watch?v=kO622GyHa28
Puasa Hiburan, Reset Otak Agar Produktif (Mengenal Dopamine Detox) by Satu Persen – Indonesian Life School: https://www.youtube.com/watch?v=nydaG-kL-w0
Penulis: Rosehasna Wirastomo (Mahasiswa S1-Reguler Ilmu Komunikasi Fisipol UGM angkatan 2018)