Perkembangan teknologi komunikasi pada abad 21 memberikan pengaruh yang gigantis terhadap dinamika sistem periklanan. Telepon seluler sebagai salah satu teknologi komunikasi yang terus dikembangkan, berhasil menciptakan batas yang sangat tipis antara dunia nyata dan virtual (Rauschnabel, 2018). Dari sinilah mobile advertising atau periklanan seluler berangkat dan menjadi era baru dalam konsep komunikasi pemasaran.
Kenton (2018) memaknai periklanan seluler sebagai segala bentuk iklan yang muncul di perangkat seluler menggunakan koneksi nirkabel. Iklan berbasis telepon seluler dapat dituangkan dalam beragam bentuk seperti teks, video, maupun gambar. Di awal perkembangannya pada awal 2000-an, periklanan seluler banyak memanfaatkan SMS (Short Message Service) sebagai media utama. Strategi ini dipandang efektif karena dengan biaya yang rendah dapat secara bersamaan melakukan mass-marketing (pengiriman iklan ke banyak target sekaligus) dan one-to-one marketing (pengiriman iklan sesuai relevansi sasaran).
Seiring perkembangan mesin pencarian dan aplikasi dalam telepon seluler, sistem periklanan seluler makin melebarkan sayap. Iklan tidak sebatas disampaikan melalui SMS. Lebih jauh dari itu, periklanan seluler bahkan menciptakan industri baru: influencer. Kemunculan influencer yang secara khusus dibayar untuk mempromosikan suatu produk di berbagai media sosial merupakan salah satu buah dari perkembangan iklan seluler. Begitu pun dengan kemunculan viral marketing dan K-Pop marketing.
Dengan memanfaatkan durasi bermain gadget masyarakat Indonesia yang mencapai rata-rata 7-8 jam per hari, maka tiga contoh media iklan dalam mobile advertising di atas cukup menarik untuk diaplikasikan. K-pop marketing membawa unsur K-Pop dalam iklan guna menarik massa K-Popers yang luar biasa banyak. Viral marketing hadir dengan teknik memviralkan suatu produk secara sengaja, baik melalui penggunaan tagar maupun metode lainnya. Begitu pun influencer yang membawa pengaruh dengan tingkat persuasi yang tinggi terhadap pengikutnya.
Di Indonesia sendiri, konsep periklanan seluler menjadi ladang subur yang banyak dimanfaatkan berbagai perusahaan. Hal ini sejalan dengan pesatnya peningkatan pengguna smartphone ataupun internet di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim We Are Social dan Katadata, pada tahun 2019 pengguna smartphone di Indonesia mencapai 355 juta pengguna atau 132 persen dari total populasi yang sebanyak 268,2 juta jiwa. Sementara itu, jumlah pengguna internet pada 2019 menyentuh angka 171,7 juta jiwa. Kemudian pengguna sosial media aktif tercatat sebanyak 150 juta dan pengguna sosial media mobile aktif sejumlah 130 juta.
Mengingat smartphone dan internet adalah dua hal yang tak terpisahkan bagi manusia di era sekarang, maka kondisi tersebut menyediakan potensi yang sangat besar dalam upaya pengiklanan produk. Bahkan, pada tahun 2020 ini, belanja iklan di media online mencapai angka Rp 24,2 triliun (Djailani, 2020). Hal ini menunjukkan tingginya antusiasme perusahaan yang mengintegrasikan sistem periklanan seluler ke dalam rencana pemasaran mereka. Pertanyaan selanjutnya, seberapa efektifkah pengaplikasian metode mobile advertising dalam menggaet pelanggan? Apakah angka belanja online yang sedemikian besar menunjukkan opsi ini memang benar-benar sangat ampuh dalam meningkatkan insight dan tingkat penjualan produk?
Secara garis besar, mobile advertising dapat diturunkan menjadi dua tipe, yakni push type advertisement dan pull type advertisement. Perbedaan mendasar dari keduanya dapat dilihat dari teknik pendekatan kepada konsumen. Tipe push cenderung muncul dengan paksa tanpa kemauan konsumen. Sebab, iklan jenis ini bersifat menyampaikan dan mendatangkan merk ke pelanggan sehingga pelanggan menjadi tahu. Sementara pull type advertisement cenderung berusaha mendorong konsumen untul mendatangi merk dengan membuatnya menjadi tertarik melalui konten iklan tersebut.
Fakta menariknya, karena saat ini telepon seluler merupakan hal yang mencakup ranah pribadi, keberadaan mobile advertising, terkhusus yang hadir dalam bentuk push type, dianggap cukup mengganggu (Salem, 2018). Ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan sivitas akademika Universitas Indonesia pada tahun 2011, yang mana dijelaskan bahwa dari 52,6% responden perempuan dan 42,4% responden laki-laki, sebagian besar dari mereka atau 57,7% dari total responden merasa tidak senang dan hanya 10,6% yang merasa tidak terganggu.
Krisnamurthy (2001) mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi kesediaan konsumen terhadap penerimaan iklan: (1) Relevansi pesan (berkenaan dengan daya tarik iklan dan kesesuaiannya dengan konsumen; (2) Biaya pemrosesan (berkenaan dengan beban kognitif dalam proses menerima pesan); (3) Biaya privasi (berkaitan dengan ketidakpastian penyalahgunaan informasi).
Dari indikator di atas maka dapat dipahami bahwa iklan yang hadir dengan “memaksa” cenderung tidak dapat memenuhi indikator, terutama pada poin A dan C. Ketertarikan dan perasaan “tidak diganggu” akan sulit dicapai dengan metode tersebut. Karena itu, konten jenis ini perlu dihindari dalam mobile advertising.
Jadi, meskipun gadget dan internet adalah dua hal tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, tingkat efektivitasnya dalam membantu pemasaran suatu produk tetap bergantung pada seperti apa iklan tersebut dibingkai dan bagaimana metode penyampaiannya. Menurut Salem & Althuwaini (2018), faktor lain yang mempengaruhi tindakan konsumen pasca menerima iklan adalah relevansi pesan, nilai informasi, dan waktu pengiriman. Maka dari itu, penataan sistem pengiklanan produk yang menarik tetap diprioritaskan untuk mendorong minat konsumen. Dengan demikian, seberapa tinggi efektivitas mobile advertising terhadap peningkatan penjualan produk sangat bergantung pada bagaimana framing iklan itu sendiri.
Referensi
Chen, P., Cheng, Joe Z., dkk. Mei, 2014. Mobile Advertising Setting Analysis and Its Strategic Implications. Technology in Society, 39, 129-141. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0160791X14000530
Dailysocial.id. Mei, 2017. Eka, Randy. Memahami Potensi dan Tantangan Mobile Advertising di Indonesia. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://dailysocial.id/post/memahami- potensi-dan-tantangan-mobile-advertising-di-indonesia
Investopedia.com. Februari, 2018. Kenton, Will. Mobile Advertising. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://www.investopedia.com/terms/m/mobile-advertising.asp
Isa, Sani M., dkk. 2011. Analisis Efektivitas Pemasangan Iklan Pada Aplikasi Mobile Dan Faktor-faktor Yang Memengaruhinya. Jurnal Sistem Informasi, Vol 7, no.1, 42-54. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://media.neliti.com/media/publications/133249-ID-analisis-efektivitas-pemasangan-iklan-pa.pdf
Salem, Mohammed & Althuwaini, Sulaiman. April, 2018. Mobile Advertising and Its impact On Message Acceptance and Purchase Intention. Journal of Business and Retail Management Research, Vol 12, no. 3, 92-101. Diakses pada 12 Oktober 2020. DOI: 10.24052/JBRMR/V12IS03/ART-08
Suara.com. 2020. Djailani, Mohammad. Belanja Iklan Media Online Naik Tajam saat Pandemi Tembus Rp242 Triliun. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://www.suara.com/bisnis/2020/08/25/180809/belanja-iklan-media-online-naik-tajam-saat-pandemi-tembus-rp-242-triliun
Wearesocial.com. 2019. Indonesian Digital Report 2019. Diakses pada 13 Oktober 2020, melalui https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2019/
Penulis: Zulfa Alyza | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020