Apa yang terlintas di benak Sobat Dikom saat mendengar kata “pasar tradisional”? Murah? Ramai? Kurang higienis? Kotor? Ya, beberapa kata tersebut seringkali distigmakan pada pasar tradisional. Hal inilah yang membuat tiga pembicara di Ngopi #4 (Minggu, 5 Juli 2020) berinisiatif untuk melakukan re-branding pasar tradisional menjadi pasar rakyat. Mengapa demikian?
Pasar tradisional, selain mendapatkan stigma dari masyarakat, juga harus menghadapi banyak problem mendasar. Beberapa di antaranya adalah kurangnya kualitas SDM, keberadaannya yang tergeser oleh ekspansi pusat perbelanjaan dan toko modern, revitalisasi yang ternyata hanya sekadar renovasi, hingga kurang terlibatnya pedagang untuk menghidupkan kelembagaan pasar. Rebranding “pasar tradisional” menjadi “pasar rakyat” diharapkan mampu menghadirkan kebaruan image di masyarakat, yang tentu saja harus diiringi dengan inovasi baik dari segi transaksi jual beli maupun kelembagaan. Selain itu, adanya pandemi Covid-19 semakin membuat problem yang dimiliki oleh “pasar tradisional” bertambah, yakni dengan besarnya potensi penyebaran dan kasus positif Covid-19 yang muncul di pasar. Namun, Mas Hempri Suyatna (dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan/PSdK UGM) justru melihat beberapa potensi, tantangan, dan peluang yang muncul karena adanya pandemi. Pasar rakyat, sebagai sumber kebutuhan pangan sehari-hari yang harganya murah, tentu tetap mampu bertahan bila berinovasi dan beradaptasi dengan kondisi. Sistem belanja daring (online) maupun perombakan aktivitas dengan protokol kesehatan, merupakan dua model inovasi yang paling layak untuk diterapkan.
Mbak Rindu Sanubari Mashita Firdaus (peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM) turut menambahkan bahwa pelembagaan pasar juga perlu dibangun seiring dengan rebranding menjadi pasar rakyat. Pelembagaan yang dimaksud adalah pelibatan pedagang pasar untuk membuat keputusan, termasuk dalam pengelolaan fasilitas dan keuangan pasar. Koperasi juga akan kembali dihidupkan sebagai pengelola keuangannya. Pelembagaan pasar menjadi sangat penting bagi kekuatan pasar, sebab selama ini pedagang cenderung hanya “manut” pada arahan pemerintah, yang belum tentu menguntungkan bagi pasar dan para pedagang. Cara paling tepat untuk mengetahui sistem pelembagaan yang baik adalah dengan melakukan observasi, apakah ada early-adopter sistem pelembagaan yang bisa dicontoh atau tidak.
Pemaparan terakhir datang dari Mbak Acniah Damayanti (dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM) yang menceritakan tentang inovasi Pasar Sambilegi yang beliau inisiasi bersama dua pembicara Ngopi lainnya. Inovasi yang dibuat adalah digitalisasi pasar rakyat ke dalam bentuk aplikasi. Keunggulannya, selain meningkatkan efisiensi proses transaksi, juga memberdayakan pedagang dan menghidupkan kembali paguyuban. Upaya-upaya komunikasi pun dilakukan untuk mencapai target market, yang harapannya dapat meluas ke kaum muda yang lebih banyak berada di ranah digital, untuk turut berbelanja dan memberdayakan pedagang Pasar Rakyat Sambilegi. Inisiatif yang sangat impactful ya, Sobat Dikom!
Aplikasi Pasar Sambilegi masih akan terus dibenahi dan diperbaharui demi meningkatkan kualitas layanan dan kemudahan aksesnya. Ke depannya, semoga semakin banyak aplikasi serupa ya, Sobat Dikom. Sampai jumpa di diskusi Ngopi berikutnya!