Pantaskah kita mencurigai para penyebar kabar bohong (hoax) pada media sosial? Bukankah mereka mengulas sebuah kejadian atau ide sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka melalui sarana komunikasi yang legal? Bukankah mereka hanya menyampaikan pendapatnya?
Bila dilihat lebih jauh, tidak ada pasal dalam undang-undang yang melarang warga negara menyampaikan pendapatnya. Pasal 14 butir 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahkan, mendorong warga negara untuk mengumpulkan dan menyampaikan pendapat. Berikut bunyi persis butir itu: Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Bagaimana kalau muatan isi hoax itu tidak sesuai dengan kenyataan alias tidak benar? Apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus khawatir dan berimajinasi bahwa penulisnya merupakan bagian dari kekuatan besar untuk menyerang pikiran pengakses media sosial? Atau kita rileks saja sembari berkata, “Ah, dia latah saja. Menyebarkan begitu saja informasi yang sampai kepadanya”.
Apapun sikap kita, tentu saja sah. Namun, yang sah belum tentu proporsional. Lalu, seperti apa sikap yang proporsional menghadapi hoax? Yang perlu kita identifikasi sejak awal adalah ekspresi yang disampaikan penulis hoax. Ekspresi itu tentu saja bisa bermacam-macam: kebencian, kesenangan, kegembiraan, kepedihan, dan kepedulian. Dalam menyampaikan ekspresi, penulis punya kadar. Ada yang tinggi, ada yang sedang, dan ada pula yang rendah. Tegasnya, ada yang memperlihatkan ekspresi sangat benci, sangat senang, agak peduli, sangat tidak sayang, dan sebagainya.
Nah, kadar ekspresi hoax ini bisa kita pakai untuk mengidentifikasi posisi penulisnya. Kalau kadarnya tinggi, kita bisa menilai dia menafikan pikirannya. Didorong rasa bencinya yang berlebihan terhadap seorang tokoh, dia menyebarkan hoax seperti itu. Demi melampiaskan rasa benci itu, dia lupakan posisi dia sebagai manusia terdidik. Demi mendukung seorang tokoh agar menang dalam sebuah pemilihan umum, dia lupakan bahwa sesungguhnya berbohong itu merupakan perbuatan tercela. Kalau sudah begini, kiya lupakan saja hoax itu.
Lalu, bagaimana kalau kadar ekspresi hoax itu hanya biasa-biasa saja? Kita perlu mewaspadainya. Soalnya, dalam praktik berkomunikasi, informasi yang selintas bisa mengandung pengaruh yang dalam. Artinya, dengan kadar ekspersi hoax yang biasa-biasa itu, jangan-jangan penulisnya memang ingin menguasai pikiran kita. Untuk itu, kita harus mengembarakan pikiran tentang informasi itu. Kalau perlu, kita melakukan cek dan ricek untuk membuktikan kebenarannya.
Hasil konfirmasi ini bisa negatif dan bisa pula positif. Kalau ternyata hasilnya negatif, kita jangan buru-buru menghapus informasi itu dari gadget. Sampaikan informasi yang benar ke semua jaringan yang dimiliki. Bila anggota jaringan itu juga menerima hoax yang sama, tentu akan terjadi perang wacana. Kita sudah menerapkan prinsip interaktivitas: meluruskan informasi. Pada saat yang sama, sebenarnya kita sudah berperang melawan hoax.
Lantas, bagaimana dengan kadar ekspresi hoax yang rendah? Sebaiknya lupakan saja informasinya. Segeralah hapus dari gadget. Jangan buang energi untuk memikirkannya.
Agar bisa melihat kadar ekspresi hoax, jangan tersihir oleh ekspresi itu. Jangan terlalu senang atau terlalu benci dengan tokoh yang diceritakan hoax. Bersikaplah biasa- biasa saja. Secara ekstrim dikatakan, terlampau sayang dan terlampau benci akan menutup pikiran dan hati terhadap tokoh itu. Kalau kemudian kesannya, kita harus “cool” menghadapi hoax, mungkin ada benarnya. Kita tidak boleh sentimentil atau irasional.
Kalau Anda sudah “cool”, yakinlah Anda akan bisa menilai penulis hoax memang tersistematisasi atau sekadar latah saja. Penilaian ini penting, paling tidak untuk menyiapkan diri menghadapi hoax berikutnya. Bagaimanapun hoax itu akan selalu muncul dalam gadget Anda!***
Ana Nadhya Abrar
Pengajar Fisipol UGM dan biograf.