Banyak orang sulit membedakan profesi PR dengan profesi lainnya, misalnya marketing, atau dengan percabangannya, publisitas. Selain sulit dibedakan, banyak juga yang masih menganggap PR atau humas bukanlah suatu profesi, melainkan pekerjaan, yang artinya personilnya tidak harus memiliki latar belakang akademisi ilmu komunikasi atau akademisi kehumasan. Fenomena jabatan humas yang diisi oleh yang bukan profesional masih banyak terjadi di Indonesia. Tetapi, syarat apa saja, sih, yang membuat suatu pekerjaan menjadi profesi? Artikel ini akan membedah karakteristik pengkategorian tersebut dan bagaimana pengaplikasiannya dalam public relations.
- Edukasi
Di Indonesia, edukasi kehumasan atau public relations sudah ada sejak 1950, yakni pertama kali di Jurusan Ilmu Komunikasi (saat ini Departemen Ilmu Komunikasi), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Pada saat itu, mahasiswa Ilmu Komunikasi dipersiapkan untuk mengisi jabatan di Kementerian Penerangan (saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika). Namun seiring berjalannya waktu, cabang Ilmu Komunikasi menjadi lebih banyak sehingga telah meluluskan banyak profesional di berbagai bidang.
- Asosiasi Profesi
Asosiasi profesi memainkan peran yang cukup penting dalam meningkatkan status pekerjaan menjadi sebuah profesi. Sebagai contoh, Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) adalah asosiasi kehumasan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 1972. Pendirian Perhumas didorong oleh kebutuhan akan adanya sebuah forum profesi kehumasan untuk bertukar pengalaman demi peningkatan kualitas praktik kehumasan di Indonesia. Peningkatan kualitas praktik diciptakan dengan dibuatnya Kode Etik Perhumas sebagai acuan profesi humas di Indonesia. Selain itu, Perhumas juga membuat program akreditasi bagi praktisi kehumasan di Indonesia. Selain Perhumas, terdapat Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) yang didirikan pada 1987 oleh beberapa tokoh PR di Indonesia yang memiliki perusahaan PR diantaranya yaitu Inke Maris, Maria Wongsonagoro, Miranty Abidin, Edowati Sudjono, Srikandi Hakim, Sayono, Ida Sudoyo
- Kode Etik
Sager (dalam Sha, 2011), menyatakan bahwa “Tidak ada penyimpangan dalam pengetahuan tentang berperilaku etis, juga tidak ada alasan mengapa seorang profesional terdidik gagal membedakan antara apa yang benar dan apa yang salah”. Maka dari itu, setiap profesi harus menciptakan standar untuk menciptakan batas-batas profesionalitas, yakni dengan menciptakan kode etik. Di Indonesia sendiri, terdapat Kode Etik Perhumas dan Kode Etik APPRI yang diciptakan oleh asosiasi profesi dan juga Kode Etik Humas Pemerintahan yang diciptakan oleh negara melalui Keputusan Menteri Kominfo.Keduanya memiliki kode etik yang 11:12, yang membedakannya hanya sejarah dan subjek yang diatur.
- Akuntabilitas dan Pengakuan oleh Publik
Beberapa orang meragukan keabsahan standar bagi pekerjaan untuk menjadi sebuah profesi tanpa adanya pengakuan publik walaupun sudah terdapat asosiasi profesi dan kode etik. PR atau humas seringkali dibingkai secara negatif di dalam media, yakni untuk memberikan citra positif dengan menutupi sisi negatif perusahaan. Tetapi, realita cukup berbicara dan sangat disayangkan tidak banyak sisi strategis dari Humas yang dibincangkan. Satu solusi untuk meningkatkan akuntabilitas praktisi humas adalah dengan adanya akreditasi atau lisensi.
- Akreditasi dan Sertifikasi Profesi
Di Amerika Serikat, akreditasi humas sudah ada secara resmi sejak 1998 dengan penyelenggaraan Badan Akreditasi Universal (UAB), yang menyatukan beberapa asosiasi profesi kehumasan, yang beberapa di antaranya sudah memiliki program akreditasinya sendiri. Organisasi yang berpartisipasi di UAB setuju untuk melepaskan program akreditasi terpisah mereka untuk mendukung proses akreditasi yang universal, yang sepenuhnya terbentuk pada tahun 2003.
Di Indonesia, program akreditasi humas baru ada di Perhumas. Dibutuhkan pengalaman bekerja 3-5 tahun sebagai humas untuk mendapatkan akreditasi profesi. Sementara itu, sertifikasi kehumasan sudah banyak dibuat di asosiasi-asosiasi berbeda, seperti APPRI, hingga London School of Public Relations (LSPR), bahkan terdapat satu lembaga khusus, yakni Lembaga Sertifikasi Profesi Public Relations Indonesia (LSPPRI).
Referensi:
Sha, B.-L. (2011). Accredited vs. non-accredited: The polarization of practitioners in the public relations profession. Public Relations Review, 37(2), 121–128. doi:10.1016/j.pubrev.2011.02.003
Penulis: Rizqy Kartini Mayasari | Mahasiswi S1 Reguler Ilmu Komunikasi angkatan 2018