Disabilitas merupakan isu yang kurang disorot dalam sinema dan layar kaca Indonesia. Dalam penyorotannya, seringkali terjadi representasi yang keliru sehingga menciptakan stereotip mengenai penyandang disabilitas atau difabel. Porsi penyorotan dan stereotip ini menentukan cara pandang masyarakat tentang penyandang disabilitas.
Difabel sebenarnya telah disorot sebagai hiburan sebelum populernya media digital, tepatnya di acara hiburan seperti pertunjukan orang aneh (freak show). Freak show sendiri merupakan pertunjukan atau pameran manusia yang memiliki kelainan atau disabilitas fisik (Bogdan, 1990 : 267). Kelainan dan disabilitas ini meliputi manusia kerdil, gigantisme, progressive muscular atrophy, dan albinisme.
Salah satu pameran manusia aneh digelar di The American Museum oleh Phineas Taylor Barnum yang kemudian dimodifikasi menjadi sirkus keliling. Dalam pameran tersebut, Barnum melibatkan para penyandang disabilitas seperti manusia kerdil (Tom Thumb), manusia gigantik (Anna Swan), manusia tengkorak atau living skeleton (Isaac Sprague), serta keluarga albino (The Lucasies). Pameran manusia aneh ini turut berperan dalam meningkatkan popularitas The American Museum yang terus dimodifikasi hingga dikenal dengan The Greatest Show on Earth (Saxon, 1989). Dapat dikatakan bahwa pameran tersebut merupakan bentuk eksploitasi penyandang disabilitas dalam dunia hiburan dan berperan dalam menciptakan stereotip bagi para difabel, yaitu sebagai manusia aneh.
Sementara pada program hiburan jam tayang utama di Amerika Serikat, Henderson & Heinz-Knowles pada 2003 (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) menemukan bahwa hanya 0,6% dari karakter tokoh di televisi yang merupakan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan kurangnya porsi representasi penyandang disabilitas di layar kaca.
Representasi penyandang disabilitas juga terdapat dalam media hiburan Indonesia. Representasi ini dapat ditemukan dalam beberapa film seperti “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” (2011), “Hafalan Shalat Delisa” (2011), “Rumah Tanpa Kaca” (2011), dan “Pengabdi Setan” (2017). Selain itu, representasi difabel juga ditemukan dalam beberapa program televisi seperti sinetron “Si Cecep” (2004), acara situasi komedi “Opera Van Java” (2008), dan acara gelar wicara komedi “Ini Talkshow” (2014).
Representasi dalam media hiburan layar kaca berperan dalam konstruksi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap disabilitas serta penyandangnya. Representasi inilah yang akhirnya menciptakan stereotip karena sifatnya yang cenderung memarginalkan penyandang disabilitas.
Longmore (dikutip oleh Saito & Ishiyama, 2005) mendeskripsikan marginal penyandang disabilitas atau difabel dalam televisi dan sinema dalami lima potret utama. Yang pertama adalah potret penyandang disabilitas sebagai orang jahat atau kriminal. Potret ini dapat ditemukan dalam film “Gundala” (2019) yang direpresentasikan oleh tokoh Pengkor (Bront Palarae). Tokoh Pengkor menggambarkan sosok mafia dengan luka bakar di bagian kanan tubuhnya dan kaki yang pincang. Sosok Pengkor sendiri merupakan tokoh antagonis yang berseberangan dengan Gundala—tokoh pahlawan di film ini.
Yang selanjutnya adalah potret penyandang disabilitas sebagai monster atau sosok yang menakutkan. Potret ini ditemukan dalam sinetron “Tuyul dan Mbak Yul” (1997) yang direpresentasikan tokoh tuyul bernama Ucil. Selain itu, Ucil juga diperankan oleh Ony Syahrial yang sebenarnya memiliki disabilitas berupa kondisi tubuh lebih kecil daripada umumnya atau biasa dikenal dengan sebutan manusia kerdil. Walaupun Ucil memiliki karakter yang humoris, masyarakat tetap mengidentikkan tuyul dengan hal-hal mistis yang menakutkan.
Karakter Azis Gagap dalam “Opera Van Java” (2008) merupakan potret difabel sebagai manusia yang tidak dapat menyesuaikan diri (maladjusted) dengan lingkungannya. Tokoh Azis Gagap merepresentasikan disabilitas berbicara (gagap). Potret maladjusted ini terlihat dalam skenario perundungan terhadap tokoh Azis Gagap yang didasarkan pada disabilitas yang dimiliki tokohnya. Tokoh Azis Gagap kerap terlihat kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawan bermainnya yang biasanya dalam jumlah banyak.
Difabel juga kerap direpresentasikan sebagai pahlawan dan memiliki kekuatan super. Contohnya adalah tokoh Ceking dalam sinetron “Ronaldowati” (2008). Tokoh Ceking menggambarkan seorang anak dengan tubuh yang kurus kering. Tubuh Ceking membuatnya dapat berlari cepat sehingga ia turut berperan dalam memenangkan beberapa pertandingan sepak bola dalam sinetron tersebut.
Yang terakhir adalah potret penyandang disabilitas sebagai manusia dengan penyimpangan seksual. Potret ini jarang disorot oleh media Indonesia, mengetahui sensitivitas Indonesia terhadap isu penyimpangan seksual. Namun, potret penyimpangan seksual dapat ditemukan pada tokoh Cecep dalam sinetron “Wah Cantiknya” (2001). Tokoh Cecep menggambarkan seorang laki-laki dengan keterbelakangan mental yang kerap asyik dalam dunianya. Hal ini menyebabkan Cecep cenderung tidak memiliki ketertarikan seksual kepada tokoh-tokoh wanita yang jatuh hati padanya.
Masyarakat cenderung meyakini stereotip difabel yang diberikan oleh media. Stereotip yang diyakini masyarakat ini juga menentukan interaksi masyarakat dengan difabel. Penelitian Paul Hunt (dikutip oleh Pirsl & Popovska, 2013) menunjukkan sepuluh stereotip mengenai difabel dalam media yang diyakini masyarakat. Stereotip ini meliputi difabel sebagai komunitas yang harus dikasihani; sebagai objek rasa penasaran atau kekerasan; sebagai komunitas yang bersifat kejam atau jahat; diidentikkan dengan pincang; sebagai pusat perhatian; sebagai bahan tertawaan; sebagai musuh; sebagai beban; sebagai manusia non seksual; dan diidentikkan dengan kesulitan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari.
Stereotip ini merugikan bagi penyandang disabilitas. Hal ini dikarenakan media membingkai karakter mereka menjadi bagian-bagian kecil sederhana. Bahkan bingkai sederhana tersebut cenderung mengarah ke citra negatif. Pada kenyataannya, difabel merupakan manusia yang lebih kompleks dan beragam (Ross, 1997).
Media sebagai penentu pandangan masyarakat (Zhang, 2010) semestinya memberikan porsi penyorotan difabel yang cukup dengan representasi bervariasi seperti difabel dalam dunia nyata. Dengan harapan masyarakat dapat mendapat gambaran yang lebih realistis mengenai penyandang disabilitas. Dengan begitu, difabel tidak lagi diidentikkan dengan konotasi negatif dan dapat dipandang seperti manusia pada umumnya.
Referensi
Bogdan, R. (1990). Conclusion: Freak Encounter. Notes on the Sociology of Deviance and Disability. In Freak Show: Presenting Human Oddities for Amusement and Profit (p. 267). The University of Chicago Press.
Pirsl, D., & Popovska, S. (2013). Media Mediated Disability : How to Avoid Stereotypes. International Journal of Scientific Engineering and Research (IJSER), 1(4), 42-45.
Ross, K. (1997). But where’s me in it? Disability, broadcasting and the audience. Media, Culture and Society. https://doi.org/10.1177/016344397019004009
Saito, S., & Ishiyama, R. (2005). The invisible minority: Under-representation of people with disabilities in prime-time TV dramas in Japan. Disability and Society. https://doi.org/10.1080/09687590500086591
Saxon, A. H. (1989). P. T. Barnum and the American Museum. The Wilson Quarterly, 13(4), 130–139. https://doi.org/10.2307/40257964
Zhang, Q. (2010). Asian americans beyond the model minority stereotype: The nerdy and the left out. Journal of International and Intercultural Communication. https://doi.org/10.1080/17513050903428109
Penulis: Annisa Gissena | Mahasiswa S1 Reguler-Angkatan 2020