Yogyakarta, 5 Oktober 2023 – Pada November lalu, pemerintah resmi melakukan proses Analog Switch Off (ASO), yaitu migrasi siaran dari sistem siaran analog menuju sistem siaran digital secara bertahap. Menyikapi hal tersebut, Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM berkolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Membangun Ekosistem Penyiaran Digital Pasca ASO” pada Kamis (5/10) secara luring di Fisipol UGM. FGD ini merupakan langkah awal untuk membangun diskusi dan kajian ilmiah sebagai basis dari peta jalan atau roadmap mengenai penyiaran digital. “Kita akan membawa roadmap ini menjadi suatu kerja sama kita, dari aspek inisiasi hingga implementasi,” ujar Amin Shabana, Komisioner KPI Pusat. Untuk memperkaya diskusi, hadir berbagai pihak terkait seperti kalangan akademisi, pelaku industri penyiaran televisi, pemerintah dan instansi terkait, pemerhati media, hingga mahasiswa sebagai peserta FGD.
Digitalisasi penyiaran memiliki berbagai dampak, salah satunya adalah semakin meningkatnya kualitas gambar serta audio yang disiarkan. Namun, arti penting ASO lebih dari itu. “ASO bukan hanya persoalan pengalihan teknologi, tetapi juga mencakup hak-hak masyarakat. Hak dalam mendapat kesempatan berkarya dan peluang ekonomi serta kesempatan mendapat konten siaran yg lebih baik,” tukas Astri Kusuma Mayasari, Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ketika memberi sambutan.
Menyambung perkataan Astri, Gilang Desti Parahita, Dosen Dikom selaku moderator FGD, menambahkan bahwa persoalan ASO juga harus dilihat dari sisi konsumen. Persoalan tersebut meliputi ketersediaan konten, aksesibilitas bagi masyarakat Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), serta keterjangkauan dari segi pembiayaan. Selain itu, regulasi juga menjadi aspek persoalan ASO yang penting untuk dibahas dalam FGD. Namun, untuk mengawali sesi pertama dari FGD, Gilang meminta para peserta FGD untuk merefleksikan mengenai dampak yang diberi oleh ASO.
Mario Antonius Birowo, Dosen Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang telah lama terlibat dalam kajian dan diskusi mengenai demokratisasi penyiaran melihat ASO sebagai lembaran baru. Menurutnya, demokratisasi penyiaran serta aspek lokalitas yang menjadi cita-cita dari Undang-undang Penyiaran hingga saat ini belum terwujudkan. Dirinya berharap bahwa aspek lokalitas serta keberagaman konten dan kepemilikan dapat muncul dalam sistem baru ini.
Dari sisi pelaku industri penyiaran televisi, Satriya Dewi, Direktur Utama Jogja TV, berpendapat bahwa ASO sudah sangat terlambat dilakukan mengingat masyarakat Indonesia sudah terpenetrasi Internet sejak lama. Dirinya juga mengaku bahwa tidak banyak perubahan yang dibawa oleh ASO, hanya dalam aspek teknologi saja. “Kami menemukan bahwa pengeluaran kami tambah besar dari biaya sewa perangkat multiplexing (MUX) sebesar 30 juta per bulannya,” jelas Dewi.
Indonesia Masih Butuh Data Mengenai Viewership
Bagi I Gustri Ngurah Putra, Dosen Dikom UGM, aspek penting mengenai digitalisasi sistem penyiaran berkaitan erat dengan pasar. Penting untuk mengetahui kecenderungan serta pola masyarakat dalam mengkonsumsi siaran televisi. Namun, dirinya menyayangkan tidak adanya lembaga Indonesia yang memiliki data tersebut. Saat ini, industri penyiaran televisi di Indonesia masih merujuk pada lembaga Nielsen, sebuah perusahaan multinasional yang mengukur rating televisi. “Bagaimana nantinya apabila kita sudah repot-repot membuat peta jalan, tetapi pasarnya tidak ada?” tanya Ngurah. Pertanyaan Ngurah semakin relevan ketika perwakilan Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO), Muhammad Nadif Fajar Ramadhan, mengatakan bahwa mayoritas anak muda, termasuk dirinya. sudah jarang sekali mengkonsumsi televisi.
Satriya Dewi, menyetujui pendapat Ngurah terkait perlunya data mengenai viewership. “KPI perlu memiliki lembaga seperti Nielsen yang memiliki data mengenai penonton dan pola menonton. Apabila KPI mau melihat mengenai bagaimana potensi daerah itu keluar di media, maka harus melihat ke arah sana. Perlu juga meneliti soal kesesuaian program-program TV di daerah, ” tukas Dewi.
Aspek Regulasi Penyiaran Perlu Jadi Perhatian
Kehadiran ASO yang menumbuhkan banyak lembaga penyiaran baru serta peningkatan kualitas gambar serta audio harus dibarengi dengan peningkatan kualitas konten agar berdampak positif. Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan dari sisi regulasi. Berbicara mengenai topik tersebut, Ana Nadhya Abrar, Guru Besar Dikom UGM, mengatakan bahwa regulasi yang mengatur mengenai penyiaran, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, sudah sangat usang.
Sejalan dengan pendapat Abrar, Dewi Nurhasanah, Ketua KPID DIY, menegaskan bahwa Revisi Undang-undang Penyiaran harus didorong agar segera disahkan. “Kita tidak bisa membendung perkembangan teknologi. Oleh karena itu, regulasinya harus menyesuaikan,” tukas Dewi. Meskipun wewenang KPI hanya sebatas mendorong, Dewi menyampaikan bahwa masih terdapat peluang melalui revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang belum diatur, misalnya mengenai pengawasan yang kini harus lebih tersegmentasi akibat program televisi yang juga tersegmentasi.
Mengenai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menjadi landasan pelaksanaan ASO, Abrar memiliki berbagai tanggapan. “Nanti akan ada kemudahan dalam mengurus izin penyiaran. Saya tidak tahu persis seperti apa kemudahan yang akan diberikan, tetapi saya mengira tidak akan sulit untuk memperoleh izin,” tukas Abrar. Selain itu, pihak asing juga dapat masuk ke Indonesia untuk mengurus media penyiaran. Menurutnya, kedua hal tersebut akan secara terbuka mengarahkan industri penyiaran pada persaingan bebas. Dirinya mempertanyakan kesiapan pelaku industri penyiaran televisi dalam menghadapi hal tersebut.
Penulis: Septania Rizki Mahisi