Yogyakarta, 26 September 2023 – Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Senja Yustitia pada Selasa (26/9) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Sebelumnya, Senja sudah menamatkan jenjang sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Negeri Veteran Yogyakarta dan jenjang magister pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Hadir dalam sidang tersebut sebagai ketua sidang yaitu Wawan Mas’udi, Dekan FISIPOL UGM, bersama jajaran Guru Besar serta Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM; Nunung Prajarto selaku Promotor; Budi Irawanto selaku Ko-Promotor; Rahayu, Nyarwi Ahmad, dan Hermin Indah Wahyuni selaku Penilai; serta Wisnu Martha dan Rajiem selaku penguji sidang.
Dalam sidang terbuka, Senja mempertahankan disertasinya yang berjudul “Sistem Komunikasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Studi Pembingkaian Isu HAM Sipil Politik pada Kompas dan Koran Tempo dalam Perspektif Sistem Komunikasi Tahun 1998 – 2019”. Melalui pengamatannya, Senja menemukan bahwa terdapat ruang kosong yang tidak pernah diisi oleh media mengenai isu HAM. Terlebih, dalam iklim media yang mementingkan aspek-aspek sensasional, kontroversial, dan viralitas, ada kecenderungan untuk mereduksi isu HAM menjadi setting atau latar peristiwa semata dalam media. Padahal, realitas yang ditampilkan oleh media merupakan salah satu cara yang digunakan oleh publik untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Senja berpendapat bahwa kultur Indonesia yang tidak memberikan ruang diskusi bebas untuk berbicara mengenai isu HAM merupakan kondisi yang cukup berbahaya. Kultur tersebut turut memengaruhi wacana media mengenai isu HAM “Wacana yang muncul mengetengahkan bahwa HAM itu harus diimbangi dengan tanggung jawab, toleransi, dan harmonisasi. Padahal, wacana tersebut membuat orang yang kritis, secara tidak langsung, menjadi terpolarisasi,” ungkap Senja. Menyikapi hal tersebut, Senja berpendapat bahwa media seharusnya dapat memberi wacana yang lebih berimbang.
Wacana media yang berimbang akan menghidupkan suatu isu sehingga menjadi hal penting dalam kehidupan publik. Ketika hal tersebut terjadi, publik akan merasakan adanya kebutuhan akan informasi mengenai isu tersebut. Kemudian, hal tersebut secara tidak langsung akan menjadi tuntutan bagi media untuk memenuhi kebutuhan informasi. “Itulah sebetulnya fungsi dari media. Ruang kritis itu yang seharusnya dihidupkan kembali. Bukan hanya wacana harmonis tanpa ada diskusi lanjutan,” kata Senja.
Disertasi Senja menjelaskan bahwa iklim Indonesia mengenai perkembangan isu HAM sedang tidak baik-baik saja. “Ya, Indonesia tengah mengalami entropi terhadap komunikasi tentang HAM,” tegas Senja ketika ditanya oleh Hermin mengenai kondisi komunikasi HAM di Indonesia. Dalam salah satu temuannya, Senja menjelaskan bahwa terdapat keusangan mengenai isu HAM di Indonesia. Sebagai contoh, HAM kerap dibingkai oleh media sebagai salah satu agenda reformasi. Bingkai tersebut tentunya tidak lagi relevan dengan masyarakat Indonesia yang kini didominasi oleh kaum muda dan tidak mengalami era Reformasi. Kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami stagnasi terkait perkembangan isu HAM di media.
Apabila situasi tidak berubah, Indonesia akan terus mengalami stagnasi hingga seterusnya. Ketika stagnasi tersebut terjadi, artinya tidak ada keragaman bingkai dan kompleksitas makna dalam menyampaikan isu HAM. Hal tersebut akan membuat publik merasa bahwa tidak ada suatu kebaruan mengenai isu HAM. Maka, publik tidak akan merasa membutuhkan informasi baru sehingga tidak muncul kegelisahan. Padahal, media seharusnya memiliki kemampuan untuk menciptakan iritabilitas dan kegelisahan dalam publik.
Lebih lanjut, Senja juga berbicara soal dua media yang menjadi subjek disertasinya, yaitu Koran Tempo dan Kompas. Kecenderungan media dalam memberitakan isu HAM tidak lepas dari nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sejak media tersebut lahir. Dengan menggunakan teori sistem, Senja dapat menarik kesimpulan mengenai dua nilai yang secara umum terinternalisasi dalam media, terutama Kompas, yaitu nilai keIndonesiaan dan kemanusiaan. Nilai keindonesiaan yang menekankan pada aspek kesatuan dan keharmonisan justru melimitasi ruang gerak Kompas untuk menyampaikan isu HAM secara lebih “nakal” dan radikal.
Media masih memiliki PR besar dalam menyampaikan isu-isu HAM. Senja mengakui bahwa tidak mudah mengkonstruksikan isu HAM dalam media. Terlebih, situasi dan kultur sosial politik di Indonesia tidak mendukung munculnya wacana-wacana HAM yang lebih bervariasi. Oleh karenanya, diperlukan adanya diskursus lebih lanjut mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi media. Disertasi ini diharapkan dapat menjadi benchmark dan memberi perspektif baru mengenai sistem media.
Penulis: Septania Rizki Mahisi