Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM memulai rangkaian webinar Hilirisasi Riset Departemen dengan sesi pertama yang mengangkat topik “Jurnalisme dan Kebijakan Komunikasi” pada 9 Desember 2021, pukul 09.00-11.00 WIB. Program Hilirisasi Riset ini merupakan bagian penutup dari rangkaian skema Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) oleh Dikom UGM. Program ini juga merupakan tradisi tahunan di Dikom UGM yang bertujuan untuk menciptakan roadmap atau peta jalan untuk skema PPM ke depannya.
Narasumber sesi pertama ini adalah Dr. Ana Nadhya Abrar, Zainuddin Muda Z. Monggilo, Dr. Nyarwi Ahmad, dan Gilang Desti Parahita, yang menyampaikan hasil riset mereka seputar “Jurnalisme dan Kebijakan Komunikasi”. Berperan sebagai moderator dala sesi ini adalah Dr. Muhamad Sulhan.
Pada kesempatannya, Dr. Ana Nadhya Abrar sebagai narasumber pertama menyampaikan perjalanan riset kolaborasinya dengan mahasiswa Dikom UGM yang mempersoalkan tentang posisi content creator di Tribun Jogja dengan judul penelitian “Suara Tentang Idealisme Wartawan”.
“Kenapa saya mempersoalkan itu? Karena yang selama ini kita tahu, content creator itu bukan untuk pers, [melainkan] untuk media sosial. Yang kedua, di dalam [aturan] Tribun Jogja itu nggak pernah tertulis content creator, yang ada wartawan, [seperti] reporter, pemimpin redaksi, kemudian redaktur, sama sekali nggak ada sebutan content creator, tapi di kalangan mereka ada,” jelas Abrar.
Abrar melihat bahwa posisi content creator di media berita patut dipertanyakan karena tidak menghasilkan berita, tetapi artikel. Content creator juga disebutkan mampu memotong posisi pemimpin redaksi dan mengarahkan reporter untuk mencari berita. Secara garis besar, Abrar ingin mempertanyakan apakah kondisi seperti ini yang menyebabkan krisis jurnalisme di Indonesia.
Selanjutnya, Zainuddin Muda Z. Monggilo, atau kerap disapa Zam, menyampaikan hasil riset kolaborasinya dengan dua mahasiswi Dikom UGM yang berjudul “Praktik Cek Fakta di Indonesia: Studi Kasus pada Tirto.id, Liputan6.com, Tempo.co, Mafindo, Kompas.com, dan Suara.com di Masa Pandemi COVID-19”.
Pertanyaan risetnya adalah bagaimana institusi media yang bersertifikasi International Fact-Checking Network (IFCN) mengimplementasikan cek-fakta dalam melawan kekacauan informasi (mis/mal/disinformasi) yang muncul di tengah pandemi Covid-19. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengeksplorasi praktik cek-fakta yang dijalankan oleh keenam institusi media Indonesia tersebut dalam membendung gempuran kekacauan informasi yang beredar selama masa krisis
“Saya [melihat] kualitas jurnalisme bukan saja soal bagaimana berita itu harus objektif, bagaimana berita itu harus cover both sides atau bahkan multiple sides in some cases, atau bagaimana berita itu harus ditulis dengan rapi dan seterusnya, tidak saja sebagai kualitas yang parsial, tetapi kualitas as a whole package,” ucap Zam.
Menurut Zam, peluang dan tantangan media berita pada 2015-2016 jika dikaitkan dengan maraknya kekacauan informasi akan menjadi sangat mengkhawatirkan jika, celakanya, jurnalis menggunakan mal/mis/disinformasi yang ada sebagai informasi di media tanpa adanya verifikasi yang berlapis. Zam menambahkan, fenomena ini tidak dapat ditangani hanya dari sisi wartawan atau institusi media, tetapi juga akademisi serta masyarakat. Maka dari itu, pada penelitiannya, Zam juga ingin menyampaikan pesan-pesan literasi media.
Dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Dr. Nyarwi Ahmad, tentang risetnya yang berjudul “Persepsi Publik Atas Kemampuan Personal Dan Ketangguhan Kepemimpinan Presiden Joko Widodo Dalam Mengatasi Wabah Pandemi Covid-19 Pasca Kebijakan New Normal: Identifikasi Faktor-Faktor Penentu (Kelas Sosial/Tingkat Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Preferensi Politik Dan Jenis Akses Media”.
Riset ini secara spesifik ditujukan untuk mengeksplorasi keragaman persepsi publik terkait kemampuan personal dan ketangguhan kepemimpinan presiden Joko Widodo dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan sejauh mana preferensi politik publik terhadap Parpol dalam Pemilu Legislatif 2019 lalu. Penelitian kuantitatif ini mengadaptasi empat jenis konsep berikut, yaitu kepemimpinan presiden, kapasitas personal, ketangguhan kepemimpinan, dan preferensi politik.
“Di situ ada 12 pertanyaan yang saya tanyakan di balik pertanyaan besar [saya], yang pertama misalnya kemampuan [presiden] mendeteksi dan mengantisipasi ancaman serta bahaya virus Covid-19, termasuk kemampuan dalam memberikan penjelasan kepada publik,” ucap Nyarwi. Beberapa variabel yang diteliti yakni status ekonomi sosial, pilihan parpol, persepsi akan media arus utama, dan pilihan media sosial.
Selanjutnya, Gilang Desti Parahita melanjutkan diskusi dengan memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Partisipasi Audiens dan Monetisasi pada Portal Berita Online Only dan Konglomerasi Indonesia” melalui rekaman video.
Gilang menyampaikan kekhawatirannya melalui hasil risetnya tentang sumber pendapatan industri-industri media Indonesia yang berasal dari over the top companies seperti Google melalui adsense. Gilang melakukan pengamatan terhadap 26 media digital di Indonesia untuk mengidentifikasi perbedaan antara media yang dimiliki oleh konglomerasi dan media startup dari segi sumber pendapatannya. Selain itu, wawancara juga dilakukan pada 8 pengelola media digital di Indonesia.
“Dari dua metode tersebut setidaknya kita mendapatkan gambaran bahwa media digital di Indonesia masih mengandalkan situs web sebagai platform untuk mendistribusikan konten. Hal ini terutama dilakukan oleh media berita digital yang dimiliki oleh konglomerasi,” ucap Gilang.
Dengan kebergantungan media konglomerasi terhadap penghasilan dari jumlah klik di situs web, kualitas jurnalisme pun akan dikendalikan oleh sistem pengiklanan tersebut. Sedangkan, media startup lebih dapat memanfaatkan kanal-kanal yang dimilikinya untuk memperoleh sumber penghasilan dan mampu mengeksplorasi model pendistribusian beritanya di masing-masing kanal.
Acara hilirisasi ini selengkapnya dapat disaksikan melalui kanal Youtube Departemen Ilmu Komunikasi UGM.
Penulis: Rizqy K. Mayasari