Selasa (14/12), Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM kembali melanjutkan rangkaian acara Hilirisasi Riset. Pada pekan kedua di sesi pertama, yakni pukul 09.30-12.00 WIB, tema besar yang dipresentasikan adalah seputar kajian Media dan Budaya. Spesifiknya, keempat peneliti yang juga merupakan dosen Dikom memaparkan topik Card Game (Permainan Kartu), Game Tourism (Jalan-Jalan Virtual melalui Game), Football Manager Game (Permainan untuk Mengelola Tim Sepak Bola secara Digital), serta membahas film The Social Dilemma. Acara kali ini dimoderatori oleh Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, S.I.P., M.A., atau Mbak Mashita.
Paparan pertama yang berjudul Konsumsi Pemain MTG Jogja disampaikan oleh Jusuf Ariz Wahyuono, S.i.P., M.A., atau biasa dipanggil Mas Ucup. Secara umum, penelitian dengan metode Studi Etnografi Komunitas yang Mas Ucup lakukan berfokus pada perilaku konsumsi penggemar permainan Magic the Gathering (MTG). MTG adalah permainan kartu yang cukup populer, sejak kisaran tahun 2008. Kini, dari 35 juta pemain aktif yang tersebar di 70 negara, beberapa di antaranya berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. MTG memiliki banyak pemain dan bahkan penggemar, sebab tiap kartunya memiliki narasi yang unik, sehingga menarik untuk dimainkan. Para pemain kerap kali tergabung secara komunal dan memiliki base di suatu game store (toko permainan) atau rental PlayStation lokal. Bahkan, tak hanya sekadar bermain, para penggemar MTG diwajibkan berkumpul untuk melakukan ritual di tiap malam Jumat (Friday Night Gathering), untuk kemudian “dipantau” dan didata oleh pihak MTG pusat. Keberadaan MTG dianggap Mas Ucup sebagai pengalaman yang tak tergantikan, sebab mampu membuat permainan berbasis komunitas di tengah gencarnya digitalisasi permainan selama masa pandemi.
Lanjut ke paparan kedua dari Dr. Adrian Indro Yuwono, S.I.P., M.A., alias Mas Dadok. Mengangkat judul Berwisata Digital: Mengunjungi Jepang Feodal, Bertualang di Wild West, dan Eksplorasi Manhattan Urban, topik spesifik yang diangkat oleh Mas Dadok adalah Gamertourist, di mana orang-orang memainkan game tidak sekadar untuk bermain saja, tapi juga sebagai sarana jalan-jalan virtual dan foto-foto. Penelitian ini berawal dari temuan Mas Dadok akan fakta bahwa penjualan game konsol justru meningkat selama pandemi. Ketika orang-orang tidak bisa jalan-jalan ke luar rumah, maka diambil lah alternatif untuk jalan-jalan virtual melalui game. Bukan sembarang foto-foto, para pemain bahkan mengatur komposisi objek foto, pencahayaan dari matahari yang ada dalam game, memilih lokasi yang memiliki pemandangan nan apik — semua dilakukan layaknya sedang mengadakan pemotretan di dunia nyata. Kualitas grafis yang tinggi, alias High Definition (HD), turut mendukung hobi para pemain untuk memotret di dalam game. Mas Dadok menyebut mereka sebagai graphic junkie atau scenery junkie (pecandu grafis atau pecandu pemandangan, dalam artian positif) yang gemar melakukan in-game photography (pemotretan di dalam game). Mas Dadok turut menyebutkan bahwa salah satu informan, yang juga merupakan aktivis media sosial, kerap mengunggah hasil in-game photography-nya ke Twitter hingga di-notice oleh para developer game-nya (perusahaan pencipta dan pengembang game). Hal tersebut jelas menjadi salah satu cara apresiasi dan interaksi langsung antara developer dan pemain, sehingga ekosistem game menjadi lebih menarik, tak hanya sekadar memainkan game-nya saja. Secara ringkas, melalui penelitiannya yang menggunakan metode Etnografi, Mas Dadok mengungkapkan pengalaman eksplorasi dunia virtual dalam game, yang didasarkan pada minat pemain di dunia luring.
Paparan dilanjutkan oleh Irham Nur Anshari, S.I.P., M.A., atau akrab disapa Mas Irham. Masih di lingkup topik yang sama, yakni permainan atau game digital, Mas Irham menyampaikan paparan terkait Pergeseran Budaya Fans Sepak Bola di Era Digital melalui keberadaan game Fantasy Premier League. Game tersebut merupakan simulasi menjadi manajer sebuah tim sepak bola, yang mengajak pengguna atau pemain untuk mengelola pemain-pemain Liga Inggris kelas teratas (English Premier League). Banyak aspek yang bisa dikelola oleh pengguna untuk mengatur susunan tim, guna menentukan apakah tim akan berpeluang jadi juara atau tidak. Dengan metode Studi Kasus, Mas Irham mampu menelusuri bahwa pengguna atau pemain FPL, yang juga merupakan fans suatu tim atau pemain sepak bola di dunia nyata, kini tak lagi berorientasi pada tim, tapi berorientasi pada kualitas pemain. Mengapa? Sebab di FPL, pengguna atau pemain diminta untuk membuat tim baru berisi pemain-pemain favorit mereka. Ringkasnya, budaya fans sepak bola di era digital mulai berubah atau bergeser berkat FPL, di mana pengguna diminta mengatur dan mengelola para pemain menjadi sebuah dream team (tim sepak bola impian).
Terakhir, ada paparan riset berjudul Dilema Sosial dalam The Social Dilemma oleh Wisnu Martha, S.I.P., M.Si., atau Mas Wisnu Martha. Berbeda dengan tiga topik riset sebelumnya, kali ini yang diteliti adalah aspek kewargaan dalam film The Social Dilemma (2020), dokumenter-drama dari Netflix yang mengulas tentang ancaman bahaya di balik candu media sosial. Di satu sisi, media sosial mampu membantu dan mempermudah hidup penggunanya, namun di sisi lain justru menyebabkan candu dan juga problem-problem lainnya — hal tersebutlah yang menjadi dilema. Film The Social Dilemma menceritakan efek dari media sosial melalui fakta-fakta dan komentar dari para pelaku industri media sosial (para eksekutif dari Google, Facebook, Twitter, Instagram, Linkedin, dan lainnya), didukung dengan ilustrasi berupa drama yang diperankan oleh aktor. The Social Dilemma menyajikan fakta melalui media hiburan. Mas Wisnu Martha membagi dilema dalam film ini menjadi 3 (tiga) babak, yakni: (1) Kecanduan media sosial; (2) Tersebarnya hoaks; dan (3) Pengaruhnya terhadap fluktuasi atau gejolak politik di suatu daerah atau negara. Candu media sosial yang terjadi pada warga negara, apabila tidak disertai kontrol diri dan kesadaran literasi yang baik, akan mengacaukan sistem politik suatu daerah atau negara — atau bahkan global — sebab dapat memunculkan polarisasi dan segregasi antarwarga melalui hoaks dan berita bohong. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh adegan dalam film, candu media sosial yang dialami sang tokoh utama (seorang remaja), mampu membawanya kepada kekacauan politik di daerahnya. Hal tersebut dapat diantisipasi dengan beberapa cara yang juga dipaparkan dalam film, oleh para pelaku (eksekutif) industri media sosial, yang diwawancara untuk membagikan pengalaman dan keresahannya. Namun, kembali lagi, apakah para eksekutif tersebut betul-betul merasa resah dan ingin melindungi warga dari bahaya media sosial? Atau hanya cover luarnya saja, sebagaimana yang dilakukan oleh para politisi yang berniat mengayomi warga, tapi nyatanya tidak? Melalui metode Analisis Naratif, Mas Wisnu Martha mengajak kita untuk merefleksikan kembali aspek-aspek yang ada di dalam film The Social Dilemma, terutama dari aspek candu media sosial dan aspek kewargaan.
Presentasi riset dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dari audiens yang ternyata sangat antusias mengikuti acara, terutama karena bahasannya yang berkisar di topik tentang game. Acara diakhiri dengan foto bersama, dan bagi Sobat Dikom yang belum berkesempatan hadir, dapat menyimak presentasi beserta diskusinya melalui kanal YouTube Departemen Ilmu Komunikasi UGM.
Penulis: Rose Wirastomo