• Tentang UGM
  • FISIPOL UGM
  • Pusat IT
  • Perpustakaan
  • Riset
  • Webmail
  • DigiLib Center
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Departemen Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
  • Tentang DIKOM
    • Sekapur Sirih
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Struktur Departemen
    • Staf
      • Dosen
      • Administrasi
      • Laboran
    • Fasilitas
  • Program Studi
    • Program Sarjana
      • Reguler
      • Internasional
    • Program Pascasarjana
      • Magister Ilmu Komunikasi (S2)
      • Doktor Ilmu Komunikasi (S3)
  • Aktivitas
    • Pengabdian
    • Data Penelitian
    • Publikasi
    • Ikatan Alumni
  • Unit Pendukung
    • Jurnal Media dan Komunikasi
    • DECODE
    • Laboratorium DIKOM
    • Jaminan Mutu
  • Beranda
  • Berita
Arsip:

Berita

Rilis Berita “Diskusi Buku: Social Media and Politics in Southeast Asia”

Berita Jumat, 2 Mei 2025

Yogyakarta, 2 Mei 2025 – Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM kembali menggelar diskusi buku yang bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia: Membaca Ulang Demokrasi Lewat Media Sosial di Asia Tenggara”. Kegiatan ini diselenggarakan pada Rabu, 30 April 2025 mulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Bertempat di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM, acara ini diikuti oleh mahasiswa, dosen, dan akademisi lintas disiplin. Diskusi ini menjadi ruang intelektual untuk membahas perkembangan politik digital di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam konteks demokrasi.

Diskusi buku ini menghadirkan Prof. Merlyna Lim sebagai pembicara utama. Prof. Merlyna merupakan Canada Research Chair in Digital Media & Global Network Society serta Professor of Communication & Media Studies. Dalam pemaparannya, Prof. Merlyna membahas bagaimana media sosial telah menjadi arena baru bagi praktik politik dan demokrasi di Asia Tenggara. Beliau juga menyoroti dinamika relasi kekuasaan, budaya digital, dan partisipasi publik di era teknologi digital yang terus berkembang.

Selain Prof. Merlyna, diskusi ini turut menghadirkan Prof. Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.I.P., M.Si. sebagai pembahas. Prof. Hermin adalah Dosen Ilmu Komunikasi UGM sekaligus Profesor di bidang Sistem Komunikasi. Dalam kesempatan ini, Prof. Hermin memberikan respons kritis dan analisis terhadap isi buku serta relevansinya terhadap situasi sosial politik di Indonesia. Kehadiran Prof. Hermin menambah sudut pandang lokal yang memperkaya diskusi mengenai praktik politik digital di berbagai negara Asia Tenggara.

Diskusi berjalan interaktif dengan dipandu oleh Mashita Phitaloka Fandia P., S.I.P., M.A. selaku moderator. Mashita yang juga Dosen Ilmu Komunikasi UGM memfasilitasi jalannya acara serta sesi tanya jawab dari peserta. Para peserta terlihat antusias menyampaikan pendapat dan pertanyaan seputar peran media sosial dalam membentuk opini publik dan memengaruhi proses demokrasi. Berbagai isu aktual, mulai dari kampanye politik digital hingga penyebaran disinformasi, turut dibahas dalam forum tersebut.

Dalam penyampaiannya, Prof. Merlyna Lim menekankan bahwa media sosial telah menjadi platform strategis bagi aktor politik di Asia Tenggara. Ia menjelaskan bahwa meskipun media sosial membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas, platform ini juga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang manipulatif. Demokrasi digital di kawasan Asia Tenggara menghadapi tantangan besar berupa polarisasi, ujaran kebencian, dan penyebaran hoaks yang masif. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai pihak, termasuk akademisi dan masyarakat sipil, untuk terus mengawal demokrasi digital yang sehat.

Sementara itu, Prof. Hermin Indah Wahyuni dalam tanggapannya menyoroti pentingnya peran media digital sebagai ruang publik alternatif. Menurutnya, media sosial di Indonesia telah menggeser peran media konvensional dalam membentuk wacana politik dan opini publik. Prof. Hermin juga mengingatkan pentingnya literasi digital di kalangan masyarakat agar tidak mudah terjebak dalam arus informasi yang belum tentu benar. Ia menilai buku karya Prof. Merlyna Lim ini relevan sebagai bahan kajian akademik dan diskusi publik di tengah era digitalisasi politik.

Sebagai penutup, moderator menyimpulkan bahwa diskusi ini berhasil membuka perspektif baru tentang peran media sosial dalam dinamika demokrasi di Asia Tenggara. Mashita Phitaloka Fandia P. menilai bahwa paparan dan diskusi yang berlangsung memberikan gambaran nyata tentang peluang dan tantangan demokrasi digital saat ini. Ia berharap diskusi semacam ini dapat rutin diselenggarakan sebagai bagian dari kontribusi akademik FISIPOL UGM dalam kajian media dan politik. Acara pun diakhiri dengan sesi foto bersama dan ramah tamah antar peserta dan narasumber.

Penulis : Anathalia Meyskina Pangestu



Rilis Berita “Departemen Ilmu Komunikasi UGM Gelar Pelatihan AI untuk Akademisi dalam Menghadapi Era Disinformasi Digital”

Berita Jumat, 18 April 2025

Yogyakarta, 18 April 2025 – Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyelenggarakan pelatihan bertajuk “Artificial Intelligence (AI) untuk Akademisi.” Acara ini dilaksanakan pada Rabu, 16 April 2025, bertempat di ruang BA 207 FISIPOL UGM. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari partisipasi Dr. Novi Kurnia dalam Training of Trainers (ToT) Literasi Media dan Misinformasi untuk Akademisi. Pelatihan tersebut diselenggarakan AJI pada Februari 2024 lalu di Bogor.

Pelatihan ini diikuti oleh 17 peserta yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dosen tamu, dan tim media. Para peserta berasal dari berbagai institusi yang memiliki kepedulian terhadap isu AI dan literasi digital. Kegiatan ini bertujuan membekali akademisi dengan pemahaman mendalam tentang penggunaan AI secara kritis dan etis. Fokus utamanya adalah penerapan AI dalam riset, publikasi, dan pengajaran di lingkungan akademik.

Dr. Novi Kurnia, Ph.D., selaku ketua pelaksana menyampaikan pentingnya memahami sisi teknis dan etis dari penggunaan AI. Menurutnya, AI adalah alat bantu potensial yang harus digunakan secara bertanggung jawab. Pelatihan ini diharapkan mampu menumbuhkan sikap kritis dan etis dalam memanfaatkan teknologi AI. Hal ini menjadi penting di tengah masifnya penyebaran informasi dan disinformasi di era digital.

Materi pelatihan mencakup beberapa topik utama yang relevan dengan kebutuhan akademisi. Topik tersebut meliputi penggunaan AI dalam riset dan penulisan, produksi konten digital, serta deteksi disinformasi. Para peserta juga mempelajari etika penggunaan AI serta keamanan digital. Seluruh materi disampaikan secara interaktif dan aplikatif agar mudah dipahami.

Narasumber yang hadir berasal dari latar belakang akademik dan praktisi media yang kompeten di bidangnya. Mereka adalah Dr. Novi Kurnia, Ph.D (UGM), Dr. Fatma Dian Pratiwi (UIN Sunan Kalijaga), Samantha Elisabeth Claudya (Unika Soegijapranata), dan Inggried Dwi Wedhaswary (Kompas/AJI). Para narasumber membagikan pengalaman dan praktik terbaik dalam penggunaan AI di dunia akademik dan jurnalistik. Mereka juga menyoroti pentingnya integritas dan literasi digital dalam menghadapi tantangan teknologi.

Metode pelatihan yang digunakan melibatkan diskusi kelompok, permainan, dan praktik langsung menggunakan tools AI. Peserta mencoba berbagai platform dan aplikasi AI untuk menunjang kegiatan akademik dan cek fakta. Kegiatan ini dirancang agar partisipatif dan menyenangkan tanpa mengurangi substansi materi. Peserta juga diajak merefleksikan tantangan dan potensi dari penggunaan AI di bidang masing-masing.

Beberapa peserta merasa pelatihan satu hari sudah cukup, namun ada pula yang mengusulkan waktu tambahan khusus untuk praktik riset dan publikasi. Berdasarkan profil peserta, rencana tindak lanjut meliputi pelatihan tematik seperti AI untuk publikasi akademik dan literasi digital. Kegiatan pengajaran AI di berbagai level program studi juga diusulkan, termasuk penyusunan panduan praktis penggunaan AI bagi mahasiswa. Selain itu, pelibatan AI dalam program pengabdian masyarakat dan riset kolaboratif menjadi agenda penting ke depan.

Melalui pelatihan ini, Departemen Ilmu Komunikasi UGM menunjukkan komitmennya dalam memajukan literasi digital di lingkungan kampus. Kegiatan ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas akademisi dalam menghadapi era digital yang sarat tantangan. Selain itu, pelatihan ini menjadi ruang kolaborasi antar institusi dalam membangun ekosistem akademik yang adaptif terhadap teknologi. Kedepannya, pelatihan serupa akan terus dikembangkan guna menjawab kebutuhan zaman.

 

Penulis : Anathalia Meyskina Pangestu



Rilis Berita “SIARAN PERS DISKOMA EDISI KE-20”

Berita Kamis, 27 Maret 2025

Yogyakarta, 27 Maret 2025 – Isu kebebasan berekspresi dalam dunia seni Indonesia kembali menjadi sorotan dalam Diskoma edisi ke-20 bertajuk “Garis Batas Kreativitas: Penyensoran dan Kebebasan Ekspresi Seni di Indonesia”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA) Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini menghadirkan dua narasumber, yakni Irham Nur Anshari (Dosen FISIPOL UGM) dan Hernandes Saranela (Seniman Yogyakarta), serta dimoderatori oleh Syifa Maulida Hajiri (Mahasiswa S2 UGM).

Dalam forum daring ini, kedua narasumber mengupas tuntas bagaimana seni dan sensor saling berkelindan dalam dinamika sosial-politik Indonesia. Hernandes Saranela mengungkap bahwa dalam sejarahnya sensor terhadap seni sudah ada sejak lama, sebagaimana tercermin dalam karya-karya seni dari tokoh seperti Iwan Fals, Pramoedya Ananta Toer, hingga R.A. Kartini. Menurutnya, sensor bukan semata-mata ancaman, melainkan bisa menjadi filter yang mempertajam ide. Dalam menghadapi proses sensor saat ini, ia melihat bahwa seni abstrak dan simbolis menjadi alat perlawanan pada seniman. “Mereka tidak langsung menunjukkannya secara gamblang. Karya-karya seni mereka dirumuskan dalam bentuk metafora sehingga menjadi lebih menarik,” ujarnya. Hernandes menegaskan bahwa seniman idealnya memiliki kesadaran diri terhadap karya dan dampaknya, serta mampu mengemas pesan seni secara baik untuk menghindari pembredelan tanpa kehilangan substansi.

Irham Nur Anshari memaparkan adanya pergeseran mekanisme sensor di era digital. Ia menjelaskan fenomena techno-surveillance, yakni praktik pengawasan konten publik melalui teknologi digital. Salah satu bentuknya adalah penggunaan algoritma mesin yang menyaring bahasa atau konten yang dianggap sensitif. Selain itu, Irham menyoroti bagaimana sensor saat ini tidak hanya dilakukan oleh institusi pemerintah (sensor vertikal), tetapi juga oleh tekanan kelompok sipil atau masyarakat (sensor horizontal), yang justru memainkan peran lebih dominan. Irham menambahkan, “sensor vertikal dan horizontal ini terkadang bisa bermesraan atau, sebaliknya, saling bertentangan.” Ia juga menekankan bahwa fenomena self-censorship menjadi tantangan besar ketika seniman, kurator, hingga sponsor secara halus mulai mengatur batas-batas kreativitas.

Diskusi juga menyinggung peran relasi komunitas seni lokal dan global, media, hingga festival sebagai ruang alternatif yang memperkuat solidaritas antar-seniman dan menjaga kebebasan berekspresi. Seniman tidak pernah benar-benar bebas dalam berkreasi seni karena terikat norma dan etika. Strategi kolaborasi antara seniman, media, dan komunitas bisa menjadi jalan keluar dalam menyiasati atau melawan sensor. 

Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube Dikom UGM ini memberikan ruang dialog yang hangat mengenai bagaimana seni tetap bisa hidup di tengah arus sensor dan tekanan sosial. Para peserta diajak merenungkan ulang peran etika, norma, serta kesadaran diri dalam menciptakan karya yang jujur dan bermakna. Diskoma ke-20 ini menegaskan bahwa seni, di tengah berbagai bentuk kontrol, selalu menemukan jalannya untuk berbicara.

 

-SELESAI-

 

Siaran lebih lengkap dapat diakses melalui YouTube Dikom UGM

Hendy Nabil Rais – 082136362624 

 

Rilis Berita “Ramah Tamah Mahasiswa Baru dan Pemaparan Kurikulum S1 Ilmu Komunikasi”

Berita Selasa, 13 Agustus 2024

Yogyakarta, 13 Agustus 2024 – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) melalui Program Studi S1 Departemen Ilmu Komunikasi telah menyelenggarakan acara “Ramah Tamah Mahasiswa Baru dan Pemaparan Kurikulum” pada hari Rabu, 7 Agustus 2024, pukul 15.30 hingga 17.00 WIB. Acara yang diadakan di Seminar Timur, FISIPOL UGM ini merupakan rangkaian kegiatan dalam menyambut dimulainya perkuliahan Semester Gasal Tahun Akademik 2024/2025.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pemahaman terkait kurikulum yang akan ditempuh oleh mahasiswa baru Program Studi Ilmu Komunikasi selama menjalani pendidikan S1, serta sebagai wadah bagi mahasiswa baru untuk berinteraksi dan berkenalan dengan dosen, tenaga kependidikan, serta sesama mahasiswa. Sebanyak 26 dosen, 16 tenaga kependidikan, dan 126 mahasiswa baru juga diundang untuk hadir dalam acara tersebut.

Rangkaian acara dimulai dengan perkenalan dari seluruh dosen yang hadir, di mana masing-masing dosen membagikan kutipan inspiratif. Dr. Widodo Agus Setianto, M.Si., yang lebih dikenal sebagai Mas Wid, menyampaikan bahwa untuk meninggalkan kesan yang mendalam, seseorang perlu menjadi pendengar yang baik, bersikap ramah dan autentik, memberikan dukungan kepada sesama, konsisten dalam membangun jaringan pertemanan, serta mempertahankan sikap positif.

Selanjutnya, mahasiswa reguler S1 Departemen Ilmu Komunikasi diperkenalkan dengan fasilitas laboratorium yang ada. Fasilitas laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi meliputi ruang DECODE, ruang green screen, dan ruang komputer. Adapun peta kurikulum 2024 terbagi menjadi empat tahap, yakni tahun pertama yang fokus pada pondasi ilmu komunikasi, tahun kedua yang mencakup berbagai arena dan spesialisasi bidang komunikasi, tahun ketiga yang menitikberatkan pada praktik komunikasi di tengah masyarakat, serta tahun keempat yang didedikasikan untuk tugas akhir.

Struktur kurikulum mencakup total 144 SKS, dengan semester 1 dan 2 masing-masing berisi 20 SKS, sementara semester 3 hingga 7 memuat 24 SKS per semesternya. Mata kuliah yang ditawarkan meliputi mata kuliah yang diselenggarakan oleh fakultas dan mata kuliah khusus departemen. Pada semester 4, mahasiswa S1 Departemen Ilmu Komunikasi dapat memilih mata kuliah pilihan, dan pada semester 5, mereka memiliki opsi untuk mengambil mata kuliah lintas departemen maupun fakultas. Selain itu, pada semester 6, mahasiswa dapat memilih program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) baik internal maupun eksternal. Terakhir, pada semester 7, mahasiswa diarahkan untuk fokus pada skripsi, Kuliah Kerja Nyata (KKN), seminar proposal, serta MBKM eksternal.

Selain pemaparan kurikulum, sosialisasi kali ini juga mencakup penjelasan mengenai penilaian hasil belajar yang disampaikan oleh dosen. Penilaian ini meliputi akumulasi nilai ujian, partisipasi aktif di kelas, tugas, serta aspek kedisiplinan dan integritas akademik. Penentuan bobot untuk setiap komponen penilaian diserahkan kepada dosen pengampu mata kuliah masing-masing. Hasil akhir mahasiswa akan dinyatakan dalam bentuk nilai huruf dan angka. Wisnu Martha Adiputra, yang dikenal dengan sapaan Mas Wisnu, menutup sosialisasi dengan menyampaikan ajakan, “Mari belajar dan bertualang bersama di DIKOM.”

Penulis: Anathalia Meyskina Pangestu

Rilis Berita “PIONIR SOCIETY 2024, Lentera Aurora: Kolaborasi Rona Melukis Karsa”

Berita Senin, 12 Agustus 2024

Yogyakarta, 12 Agustus 2024 – PIONIR Society 2024 merupakan kegiatan resmi orientasi tingkat fakultas bagi mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada. Kata “Society” dalam PIONIR Society 2024 adalah akronim dari “Social Politics in Epic Community”, yang mencerminkan lingkungan FISIPOL. Selain itu, penggunaan kata “Society” didasarkan pada istilah bahasa Inggris yang berarti “masyarakat”. Melalui penamaan ini, mahasiswa baru diharapkan dapat memahami nilai-nilai FISIPOL sebagai bagian dari masyarakat dan memiliki tanggung jawab untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Tujuan utama dari program PIONIR Society 2024 adalah untuk memperkenalkan kondisi lingkungan sosial dan politik kontemporer kepada mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada. Melalui serangkaian kegiatan yang telah dirancang, para mahasiswa baru akan dihadapkan pada simulasi sederhana terkait esensi peran mahasiswa dalam konteks sosial kemasyarakatan.

PIONIR Society 2024 mengusung tema besar “Lentera Aurora: Kolaborasi Rona Melukis Karsa”. Tema ini merupakan interpretasi dari sinergi antara Gamada dan PIONIR Society 2024. Kata “lentera” mencerminkan bagaimana PIONIR Society 2024 berperan sebagai media yang bertujuan untuk memberikan penyambutan secara hangat dan antusias kepada Gamada. Sementara itu, Gamada sendiri digambarkan sebagai “aurora” yang membawa cahaya dan keindahan melalui interaksi serta kesatuan mereka di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada.

Selain itu, tagline “Kolaborasi Rona, Melukis Karsa” dalam tema PIONIR Society 2024 menggambarkan Gamada sebagai warna-warna yang saling berkolaborasi untuk terus mengembangkan karya dan potensi diri selama menjalani dunia perkuliahan, serta untuk menciptakan daya dorong bagi Gamada untuk terus berkarya dan mengeksplorasi berbagai hal yang dapat mengembangkan potensi diri mereka selama menjalani dunia perkuliahan. Hal ini sejalan dengan nilai adaptif yang diharapkan, yaitu agar Gamada mampu beradaptasi dengan lingkungan baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada melalui PIONIR Society 2024.

Pada hari pertama pelaksanaan PIONIR Society 2024, dihadiri pula Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., M.P.A., serta Koordinator Umum PIONIR Society 2024, Hazel Haikal, bersama jajaran dekanat, pengurus departemen, dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Mereka telah menemani lebih dari 500 Gamada dalam menjalani rangkaian acara PIONIR Society 2024. 

Setelah serangkaian kegiatan dilaksanakan pada hari pertama dan kedua, para Gamada juga telah dibekali dengan berbagai wawasan melalui beragam kegiatan. Pihak penyelenggara mengapresiasi antusiasme Gamada yang telah mengikuti sesi pembukaan, Gelar Wicara, dan berbagai kegiatan lainnya hingga Aksi. Rangkaian acara PIONIR Society 2024 akan dilanjutkan dengan agenda penutup, yaitu Inaugurasi, yang merupakan kegiatan puncak dalam menyambut secara resmi Gamada sebagai bagian dari keluarga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada.

Penulis: Anathalia Meyskina Pangestu

Rilis Berita “Pentingnya Membangun Kepercayaan Berkelanjutan di Ruang Komunikasi Disruptif, Magister Ilmu Komunikasi Gelar 2nd Graduate Student Symposium on Communication”

Berita Kamis, 7 Desember 2023

Yogyakarta 29 November 2023 

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan kembali “2nd Graduate Student Symposium on Communication” (GSSC) 2023. Acara yang diselenggarakan di University Club (UC) Hotel UGM ini mengusung tema, yaitu “Building Sustainable Trust in Disruptive Communication Sphere”.

Disrupsi teknologi, perkembangan media digital, ditambah dengan situasi pasca pandemi Covid-19 membawa perubahan signifikan di ruang publik kita. Tidak hanya pada ruang berinteraksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, namun juga pada bagaimana kepercayaan antar berbagai entitas di dalam ruang komunikasi yang terdisrupsi. Melalui latar belakang tersebut, GSSC 2023 bermaksud menjadi ruang yang mempertemukan banyak pemikiran dan diseminasi ilmu pengetahuan mengenai “trust” dan keberlanjutannya pada ruang komunikasi yang bertransformasi.

Prof. Jack Qiu Linchan dari Wee Kim Wee School of Communication and Information, Nanyang Technological University, sebagai pembicara kunci dalam simposium ini menguraikan tentang bagaimana membangun kepercayaan melalui dekolonialisasi yang bergerak di pasar teknologi serta refleksi pada transisi tersebut. Jack Qiu menyampaikan, “Teknologi memberikan tantangan baru, tetapi juga peluang untuk membangun kepercayaan dalam era komunikasi yang penuh dengan dinamika. Sustainable trust harus selaras dengan bisnis yang berkelanjutan dan lingkungan yang berkelanjutan.

Pemberian Apresiasi kepada Prof. Jack Linchuan Qiu oleh Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi, Dr. Rajiyem, M.Si.

Sementara itu, Indri D. Saptaningrum, PhD, Staf Ahli Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, membahas peran penting kebijakan dan regulasi media dalam membentuk kepercayaan yang berkelanjutan di Indonesia. Melalui sudut pandang pengambil kebijakan, ia menyampaikan dinamika yang terjadi dalam kerangka regulasi untuk mengatasi kompleksitas ranah komunikasi digital di Indonesia yang telah bertransformasi karena perkembangan teknologi dan bagaimana regulasi menjadi jembatan untuk membangun kepercayaan di antara berbagai pemangku kepentingan. 

Tantangan atas lingkungan komunikasi digital yang telah terdisrupsi juga menjadi perhatian Dr. Dian Arymami, staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Menggunakan judul “Reassembling Trust in The Digital Era”, Dr. Dian Arymami menjelaskan bagaimana membangun kembali kepercayaan di era digital di tengah perubahan di sisi teknologi maupun masyarakat.Ia juga menyinggung bahwa masalah kepercayaan tidak terletak pada teknologinya, melainkan pada budayanya. 

Perubahan lanskap komunikasi dan kondisi paradoksal atas kepercayaan ini turut pula disinggung oleh Janoe Arijanto, Ketua Asosiasi Periklanan Indonesia sekaligus Vice President Dentsu Indonesia. Melalui pemaparannya, Janoe Arianto menguraikan bahwa, “Di dunia piksel dan data, kepercayaan yang tulus adalah hubungan yang paling manusiawi.” Oleh karenanya, ia merekomendasikan lima poin yang perlu dilakukan oleh ekosistem dan korporasi yaitu membangun kepercayaan melalui value, peran dari social engagement, kebutuhan atas transparansi, regulasi, dan edukasi kepada user.

Sesi Panelis Dimoderatori oleh Syaifa Tania, M.A., bersama Indriaswati Dyah Saptaningrum, Ph.D. (Staf Ahli Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia), Dr. Dian Arymami, S.I.P., M.Hum. (Dosen Ilmu Komunikasi UGM), dan Janoe Arijanto (Senior Vice President Dentsu Indonesia dan Ketua P3I)

Secara lebih lanjut, pembahasan mengenai trust dan sustainability ini dibahas melalui sesi diskusi paralel yang dihelat di hari pertama dan hari kedua simposium. Melalui sesi paralel ini para pembelajar dan pengkaji komunikasi saling berbagi gagasan untuk menyikapi kondisi kepercayaan dan perkembangan digital media di Indonesia. GSSC 2023 menyediakan 10 sesi paralel yang mengurai beragam judul terkait manajemen komunikasi, media dan kajian budaya, serta media dan komunikasi digital. Sesi ini tidak hanya menjadi forum bagi akademisi, peneliti, dan praktisi komunikasi di Indonesia untuk saling berbagi gagasan maupun hasil penelitiannya terkait kepercayaan di ruang digital, namun menjadi ruang untuk mencari solusi bagi ekosistem digital di Indonesia yang lebih baik. 

–SELESAI–

Rilis Berita FGD Dikom UGM bersama KPI “Membangun Ekosistem Penyiaran Digital Pasca ASO”

Berita Sabtu, 21 Oktober 2023

Dokumentasi FGD Dikom UGM bersama KPI “Membangun Ekosistem Penyiaran Digital Pasca ASO”

Yogyakarta, 5 Oktober 2023 – Pada November lalu, pemerintah resmi melakukan proses Analog Switch Off (ASO), yaitu migrasi siaran dari sistem siaran analog menuju sistem siaran digital secara bertahap. Menyikapi hal tersebut, Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM berkolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan tema “Membangun Ekosistem Penyiaran Digital Pasca ASO” pada Kamis (5/10) secara luring di Fisipol UGM. FGD ini merupakan langkah awal untuk membangun diskusi dan kajian ilmiah sebagai basis dari peta jalan atau roadmap mengenai penyiaran digital. “Kita akan membawa roadmap ini menjadi suatu kerja sama kita, dari aspek inisiasi hingga implementasi,” ujar Amin Shabana, Komisioner KPI Pusat. Untuk memperkaya diskusi, hadir berbagai pihak terkait seperti kalangan akademisi, pelaku industri penyiaran televisi, pemerintah dan instansi terkait, pemerhati media, hingga mahasiswa sebagai peserta FGD.

Digitalisasi penyiaran memiliki berbagai dampak, salah satunya adalah semakin meningkatnya kualitas gambar serta audio yang disiarkan. Namun, arti penting ASO lebih dari itu. “ASO bukan hanya persoalan pengalihan teknologi, tetapi juga mencakup hak-hak masyarakat. Hak dalam mendapat kesempatan berkarya dan peluang ekonomi serta kesempatan mendapat konten siaran yg lebih baik,” tukas Astri Kusuma Mayasari, Direktur Politik dan Komunikasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), ketika memberi sambutan.

Menyambung perkataan Astri, Gilang Desti Parahita, Dosen Dikom selaku moderator FGD, menambahkan bahwa persoalan ASO juga harus dilihat dari sisi konsumen. Persoalan tersebut meliputi ketersediaan konten, aksesibilitas bagi masyarakat Daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T), serta keterjangkauan dari segi pembiayaan. Selain itu, regulasi juga menjadi aspek persoalan ASO yang penting untuk dibahas dalam FGD. Namun, untuk mengawali sesi pertama dari FGD, Gilang meminta para peserta FGD untuk merefleksikan mengenai dampak yang diberi oleh ASO.

Mario Antonius Birowo, Dosen Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, yang telah lama terlibat dalam kajian dan diskusi mengenai demokratisasi penyiaran melihat ASO sebagai lembaran baru. Menurutnya, demokratisasi penyiaran serta aspek lokalitas yang menjadi cita-cita dari Undang-undang Penyiaran hingga saat ini belum terwujudkan. Dirinya berharap bahwa aspek lokalitas serta keberagaman konten dan kepemilikan dapat muncul dalam sistem baru ini. 

Dari sisi pelaku industri penyiaran televisi, Satriya Dewi, Direktur Utama Jogja TV, berpendapat bahwa ASO sudah sangat terlambat dilakukan mengingat masyarakat Indonesia sudah terpenetrasi Internet sejak lama. Dirinya juga mengaku bahwa tidak banyak perubahan yang dibawa oleh ASO, hanya dalam aspek teknologi saja. “Kami menemukan bahwa pengeluaran kami tambah besar dari biaya sewa perangkat multiplexing (MUX) sebesar 30 juta per bulannya,” jelas Dewi. 

Indonesia Masih Butuh Data Mengenai Viewership 

Bagi I Gustri Ngurah Putra, Dosen Dikom UGM, aspek penting mengenai digitalisasi sistem penyiaran berkaitan erat dengan pasar. Penting untuk mengetahui kecenderungan serta pola masyarakat dalam mengkonsumsi siaran televisi. Namun, dirinya menyayangkan tidak adanya lembaga Indonesia yang memiliki data tersebut. Saat ini, industri penyiaran televisi di Indonesia masih merujuk pada lembaga Nielsen, sebuah perusahaan multinasional yang mengukur rating televisi.  “Bagaimana nantinya apabila kita sudah repot-repot membuat peta jalan, tetapi pasarnya tidak ada?” tanya Ngurah. Pertanyaan Ngurah semakin relevan ketika perwakilan Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO), Muhammad Nadif Fajar Ramadhan, mengatakan bahwa mayoritas anak muda, termasuk dirinya. sudah jarang sekali mengkonsumsi televisi. 

Satriya Dewi, menyetujui pendapat Ngurah terkait perlunya data mengenai viewership. “KPI perlu memiliki lembaga seperti Nielsen yang memiliki data mengenai penonton dan pola menonton. Apabila KPI mau melihat mengenai bagaimana potensi daerah itu keluar di media, maka harus melihat ke arah sana. Perlu juga meneliti soal kesesuaian program-program TV di daerah, ” tukas Dewi. 

Aspek Regulasi Penyiaran Perlu Jadi Perhatian

Kehadiran ASO yang menumbuhkan banyak lembaga penyiaran baru serta peningkatan kualitas gambar serta audio harus dibarengi dengan peningkatan kualitas konten agar berdampak positif. Untuk mewujudkan hal tersebut, terdapat berbagai hal yang harus diperhatikan dari sisi regulasi. Berbicara mengenai topik tersebut, Ana Nadhya Abrar, Guru Besar Dikom UGM, mengatakan bahwa regulasi yang mengatur mengenai penyiaran, yaitu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, sudah sangat usang. 

Sejalan dengan pendapat Abrar, Dewi Nurhasanah, Ketua KPID DIY, menegaskan bahwa Revisi Undang-undang Penyiaran harus didorong agar segera disahkan. “Kita tidak bisa membendung perkembangan teknologi. Oleh karena itu, regulasinya harus menyesuaikan,” tukas Dewi. Meskipun wewenang KPI hanya sebatas mendorong, Dewi menyampaikan bahwa masih terdapat peluang melalui revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk dapat mengakomodir persoalan-persoalan yang belum diatur, misalnya mengenai pengawasan yang kini harus lebih tersegmentasi akibat program televisi yang juga tersegmentasi. 

Mengenai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang menjadi landasan pelaksanaan ASO, Abrar memiliki berbagai tanggapan. “Nanti akan ada kemudahan dalam mengurus izin penyiaran. Saya tidak tahu persis seperti apa kemudahan yang akan diberikan, tetapi saya mengira tidak akan sulit untuk memperoleh izin,” tukas Abrar. Selain itu, pihak asing juga dapat masuk ke Indonesia untuk mengurus media penyiaran. Menurutnya, kedua hal tersebut akan secara terbuka mengarahkan industri penyiaran pada persaingan bebas. Dirinya mempertanyakan kesiapan pelaku industri penyiaran televisi dalam menghadapi hal tersebut.

Penulis: Septania Rizki Mahisi

Rilis Berita Sidang Terbuka Promosi Doktor Senja Yustitia

Berita Kamis, 12 Oktober 2023

Dokumentasi Sidang Terbuka Promosi Doktor Senja Yustitia

Yogyakarta, 26 September 2023 – Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Senja Yustitia pada Selasa (26/9) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM. Sebelumnya, Senja sudah menamatkan jenjang sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Negeri Veteran Yogyakarta dan jenjang magister pada Program Studi Ilmu Politik Universitas Diponegoro. Hadir dalam sidang tersebut sebagai ketua sidang yaitu Wawan Mas’udi, Dekan FISIPOL UGM, bersama jajaran Guru Besar serta Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM; Nunung Prajarto selaku Promotor; Budi Irawanto selaku Ko-Promotor; Rahayu, Nyarwi Ahmad, dan Hermin Indah Wahyuni selaku Penilai; serta Wisnu Martha dan Rajiem selaku penguji sidang.

Dalam sidang terbuka, Senja mempertahankan disertasinya yang berjudul “Sistem Komunikasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Studi Pembingkaian Isu HAM Sipil Politik pada Kompas dan Koran Tempo dalam Perspektif Sistem Komunikasi Tahun 1998 – 2019”. Melalui pengamatannya, Senja menemukan bahwa terdapat ruang kosong yang tidak pernah diisi oleh media mengenai isu HAM. Terlebih, dalam iklim media yang mementingkan aspek-aspek sensasional, kontroversial, dan viralitas, ada kecenderungan untuk mereduksi isu HAM menjadi setting atau latar peristiwa semata dalam media. Padahal, realitas yang ditampilkan oleh media merupakan salah satu cara yang digunakan oleh publik untuk memahami apa yang sedang terjadi.

Senja berpendapat bahwa kultur Indonesia yang tidak memberikan ruang diskusi bebas untuk berbicara mengenai isu HAM merupakan kondisi yang cukup berbahaya. Kultur tersebut turut memengaruhi wacana media mengenai isu HAM “Wacana yang muncul mengetengahkan bahwa HAM itu harus diimbangi dengan tanggung jawab, toleransi, dan harmonisasi. Padahal, wacana tersebut membuat orang yang kritis, secara tidak langsung, menjadi terpolarisasi,” ungkap Senja. Menyikapi hal tersebut, Senja berpendapat bahwa media seharusnya dapat memberi wacana yang lebih berimbang. 

Wacana media yang berimbang akan menghidupkan suatu isu sehingga menjadi hal penting dalam kehidupan publik. Ketika hal tersebut terjadi, publik akan merasakan adanya kebutuhan akan informasi mengenai isu tersebut. Kemudian, hal tersebut secara tidak langsung akan menjadi tuntutan bagi media untuk memenuhi kebutuhan informasi. “Itulah sebetulnya fungsi dari media. Ruang kritis itu yang seharusnya dihidupkan kembali. Bukan hanya wacana harmonis tanpa ada diskusi lanjutan,” kata Senja. 

Disertasi Senja menjelaskan bahwa iklim Indonesia mengenai perkembangan isu HAM sedang tidak baik-baik saja. “Ya, Indonesia tengah mengalami entropi terhadap komunikasi tentang HAM,” tegas Senja ketika ditanya oleh Hermin mengenai kondisi komunikasi HAM di Indonesia. Dalam salah satu temuannya, Senja menjelaskan bahwa terdapat keusangan mengenai isu HAM di Indonesia. Sebagai contoh, HAM kerap dibingkai oleh media sebagai salah satu agenda reformasi. Bingkai tersebut tentunya tidak lagi relevan dengan masyarakat Indonesia yang kini didominasi oleh kaum muda dan tidak mengalami era Reformasi. Kondisi tersebut jelas menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami stagnasi terkait perkembangan isu HAM di media. 

Apabila situasi tidak berubah, Indonesia akan terus mengalami stagnasi hingga seterusnya. Ketika stagnasi tersebut terjadi, artinya tidak ada keragaman bingkai dan kompleksitas makna dalam menyampaikan isu HAM. Hal tersebut akan membuat publik merasa bahwa tidak ada suatu kebaruan mengenai isu HAM. Maka, publik tidak akan merasa membutuhkan informasi baru sehingga tidak muncul kegelisahan. Padahal, media seharusnya memiliki kemampuan untuk menciptakan iritabilitas dan kegelisahan dalam publik. 

Lebih lanjut, Senja juga berbicara soal dua media yang menjadi subjek disertasinya, yaitu Koran Tempo dan Kompas. Kecenderungan media dalam memberitakan isu HAM tidak lepas dari nilai-nilai yang sudah terinternalisasi sejak media tersebut lahir. Dengan menggunakan teori sistem, Senja dapat menarik kesimpulan mengenai dua nilai yang secara umum terinternalisasi dalam media, terutama Kompas, yaitu nilai keIndonesiaan dan kemanusiaan. Nilai keindonesiaan yang menekankan pada aspek kesatuan dan keharmonisan justru melimitasi ruang gerak Kompas untuk menyampaikan isu HAM secara lebih “nakal” dan radikal. 

Media masih memiliki PR besar dalam menyampaikan isu-isu HAM. Senja mengakui bahwa tidak mudah mengkonstruksikan isu HAM dalam media. Terlebih, situasi dan kultur sosial politik di Indonesia tidak mendukung munculnya wacana-wacana HAM yang lebih bervariasi. Oleh karenanya, diperlukan adanya diskursus lebih lanjut mengenai tantangan-tantangan yang dihadapi media. Disertasi ini diharapkan dapat menjadi benchmark dan memberi perspektif baru mengenai sistem media. 

Penulis: Septania Rizki Mahisi

Rilis Berita Seminar Dies Natalis ke-68 FISIPOL UGM “Hadapi Pemilu 2024, Guru Besar DIKOM UGM Tekankan Pentingnya Rasionalitas Pemilih”

Berita Rabu, 11 Oktober 2023

Dokumentasi Seminar Dies Natalis ke-68 FISIPOL UGM

Yogyakarta, 19 September 2023 – Tahun ini, Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada berkesempatan menjadi tuan rumah dalam rangkaian acara Dies Natalis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang ke-68. Untuk membuka rangkaian acara tersebut, diselenggarakan Pidato dan Seminar Pembukaan bertajuk “Pemilih Cerdas untuk Pemimpin Indonesia Masa Depan”. Acara tersebut diselenggarakan secara luring pada Selasa (19/9) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Hadir sebagai pembicara dalam sesi talkshow yaitu Rizal Mallarangeng, Founder Freedom Institute; Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit & Media Kernels Indonesia; serta Hermin Indah Wahyuni, Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi (DIKOM) Universitas Gadjah Mada dan dimoderatori oleh Nyarwi Ahmad, Dosen DIKOM UGM.

Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, masyarakat sebagai pemilih memiliki peran yang penting karena merekalah yang menjadi penentu dalam pemilu. Para pembicara setuju bahwa kecerdasan pemilih merupakan hal yang mutlak. Terlebih, sebentar lagi kita akan disambut dengan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 nanti.

Menurut Hermin, terdapat beberapa hal penting yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemilih cerdas. Pertama, informasi. Informasi merupakan hal yang sentral dalam pemilu karena ekosistemnya dapat menentukan kualitas pemilu. “Saat ini, yang terjadi dalam ekosistem informasi kita adalah misinformation dan missed information,” jelas Hermin. Misinformation merujuk pada konotasi intensional, sedangkan missed information merupakan informasi yang tidak sengaja terlewat. Lebih lanjut, Hermin juga menjelaskan bahwa di tengah-tengah keriuhan informasi yang ada saat ini, terjadi pula too many resonance sekaligus too little resonance. “Ada hal-hal penting yang seharusnya beresonansi, tetapi tidak kita respons,” tambah Hermin. 

Kedua, rasionalitas. Setelah hiruk-pikuk dalam ekosistem informasi, kita membutuhkan adanya rasionalitas. Bagi Hermin, pemilih cerdas adalah pemilih yang memahami makna dari memilih. Namun, tidak cukup sampai disitu saja, kita juga harus mengaktivasi keagensian yang kita miliki. “Setiap dari kita adalah agen, tetapi tidak setiap dari kita memutuskan untuk datang dan memilih yang kira-kira paling tepat,” ungkap Hermin. Lebih lanjut, kita juga harus memiliki rasionalitas akan alasan memilih calon tertentu. Hal tersebut berarti para pemilih membutuhkan kecerdasan dalam mengkontekskan hal esensial yang dibutuhkan negara ini. 

Lantas, bagaimana kita dapat menjaga rasionalitas publik? Hermin merujuk pada filsuf asal Jerman, Jurgen Habermas, bahwa salah satu cara untuk menjaga rasionalitas adalah dengan menata ulang kembali struktur komunikasi publik yang ada. “Saat ini terjadi reduksi refeodalisasi public sphere, apa betul media sosial merupakan ciri public sphere yang sehat?” kata Hermin. Menurut Habermas, yang merusak struktur komunikasi publik adalah kapitalisme yang digerakkan oleh pasar dan opini publik yang dimanipulasi dan rekayasa sosial yang makin masif melalui media baru. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya fenomena-fenomena buzzer serta influencer yang muncul dengan semakin berkembangnya media baru. “Mari kita jaga komunikasi publik, karena dengan (komunikasi publik) yang robust dan kuat, kita bisa berdiskusi dengan lincah mengenai apa yang kita butuhkan tanpa intervensi-intervensi,” tegas Hermin. 

Selain informasi dan rasionalitas, dua hal yang juga penting untuk dipertimbangkan yaitu teknologi digital dan literasi digital. 

Penulis: Septania Rizki Mahisi

Rilis Berita Kuliah Tamu “Dr. Camilo Caicedo Berikan Kuliah Tamu Mengenai Bercerita di Era Konvergensi Media di Departemen Ilmu Komunikasi UGM”

Berita Rabu, 11 Oktober 2023

Dokumentasi Kuliah Umum “Storytelling in The Age of Media Convergence”

Yogyakarta, 13 September 2023 – Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mendatangkan Dr. Camilo Sol Inti Soler Caicedo sebagai dosen tamu dalam kelas bertajuk “Storytelling in the Age of Media Convergence”. Camilo sendiri merupakan dosen yang fokus pada budaya, media, dan industri kreatif di King’s College London sekaligus seorang antropolog dan penari. Kelas tersebut diselenggarakan pada Rabu (13/9) secara luring di FISIPOL UGM dan dipandu oleh Gilang Desti Parahita, Dosen DIKOM UGM.

Saat membuka kelas, Camilo memperlihatkan sebuah video berisi kumpulan bentuk, seperti lingkaran dan segitiga serta beberapa garis, yang saling bergerak tanpa pola yang beraturan. Dari video sederhana tersebut, muncul berbagai interpretasi di benak para peserta kelas. “Luar biasa bagaimana kita bisa menebak apa yang terjadi hanya dengan melihat beberapa garis bergerak. Kita melihat perilaku, yaitu berupa garis yang bergerak, dan kita mengasumsikan bahwa mereka memiliki maksud tertentu,” jelas Camilo. Melalui video tersebut dan asumsi yang tercipta, kita dapat melihat bagaimana hal-hal kecil yang bisa jadi tidak memiliki arti tertentu dapat membentuk sebuah cerita. Menurut Camilo, memang sudah menjadi kecenderungan manusia untuk mengasumsikan bahwa terdapat karakter dengan tujuan atau maksud tertentu yang pada akhirnya mengkreasikan sebuah cerita. 

Camilo menyampaikan bahwa terdapat tiga elemen dalam bercerita. Pertama, cerita dan bagaimana cerita itu disampaikan. Antropolog telah lama mencari jawaban atas ada atau tidaknya cara-cara universal dalam bercerita. Untuk menjelaskan hal tersebut, Camilo juga memperkenalkan pentingnya mitos dalam sebuah cerita. “Mitos memiliki kecenderungan untuk mempertunjukkan kejadian-kejadian luar biasa. Kejadian luar biasa tersebut biasanya merupakan call-to-action yang bagus karena berhubungan dengan pengalaman-pengalaman personal,” jelas Camilo. Hal tersebutlah yang menyebabkan audiens, penonton, maupun pembaca dapat merasa terhubung dengan cerita-cerita di media. 

Kedua, karakter serta bagaimana mengkreasikan sebuah karakter. Terdapat dua pendekatan dalam menyusun karakter, yaitu dengan mendesain archetypes dan dengan mendesain persona. “Carl Jung memiliki gagasan bahwa terdapat cara-cara subconscious dalam melihat karakter,” jelas Camilo. Gagasan Jung kemudian menjadi basis dari pendekatan pertama yang bersifat teoritis. Sedangkan, mengkreasikan karakter dengan mendesain persona bersifat lebih empiris karena dibuat berdasarkan riset atau survei. 

Terakhir, maksud atau tujuan serta bagaimana mereka bekerja. “Intention bekerja seperti sihir,” ungkap Camilo. Camilo menjelaskan bahwa kejadian-kejadian yang sulit dipercaya dalam kehidupan kita dapat dijelaskan melalui asumsi akan adanya agensi yang bersifat intensional. Misalnya, ketika kita sedang mengobservasi sebuah karya seni, kita cenderung memikirkan mengenai makna dibaliknya. “Hal tersebut berarti kita mengasumsikan bahwa seseorang mencoba membuatnya memiliki maksud tertentu,” jelas Camilo. Hal yang sama juga berlaku dengan bercerita. Karya yang baik memiliki kemampuan untuk memicu asumsi kita akan adanya intensi, maksud, atau tujuan tertentu. 

Penulis: Septania Rizki Mahisi

123…6

PROGRAM STUDI

   SARJANA REGULER

   SARJANA IUP

   MAGISTER

   DOKTORAL

Mei 2025
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031  
« Apr    
Universitas Gadjah Mada

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Sosio Yustisia No.1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
E: fisipol@ugm.ac.id
P: +62(274) 563362
F: +62(274) 551753

TENTANG DIKOM

Sekapur Sirih Visi dan Misi Sejarah Struktur Departemen Staff

PROGRAM STUDI

Reguler IUP Magister Doktoral

AKTIVITAS

Karya Mahasiswa Korps Mahasiswa BSO Ajisaka

UNIT PENDUKUNG

Laboratorium Pusat Kajian Decode JMKI Jaminan Mutu

© 2020 | DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI - UGM

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY